Di antara rukun iman yang wajib kita imani adalah iman kepada takdir. Iman kepada takdir merupakan perkara yang disepakati kaum muslimin, sampai akhirnya muncullah kelompok bid’ah Qadariyah yang menyempal dari akidah kaum muslimin dalam hal takdir.
Dua orang tabi’in pernah menghadap seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma. Keduanya mengadu kepada beliau tentang munculnya beberapa orang yang memiliki pemikiran bid’ah dalam masalah takdir, yakni menolak takdir.
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata:
“Jika engkau bertemu mereka, kabarkan bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Ibnu Umar bersumpah dengan-Nya, jika salah seorang memiliki emas sebesar Gunung Uhud lalu menginfakkannya, tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala akan menerimanya sampai ia beriman kepada takdir.” (Lihat Shahih Muslim no. 1)
Karena pentingnya masalah ini, para ulama pun memasukkan masalah ini dalam kitab-kitab akidah. Semua kitab Ahlus Sunnah yang membahas akidah pasti menyebutkan prinsip Ahlus Sunnah dalam masalah takdir dan membantah kelompok yang menyimpang dalam masalah ini, seperti Qadariyah dan Jabriyah serta orang-orang yang sepaham dengan mereka.
Dalil-Dalil Wajibnya Mengimani Takdir
Dalil-dalil yang menunjukkan masalah ini sangatlah banyak. Kami hanya menyebutkan sebagian kecil darinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam salah satu ayatnya:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir.” (al-Qamar: 49)
Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (al-Ahzab: 38)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya hadits Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu yang masyhur ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang iman. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada takdir baik buruknya.” (HR. Muslim)
Ucapan Sahabat, Tabi’in, dan Ulama Setelah Mereka
Di antara ucapan sahabat yang telah sampai kepada kita adalah ucapan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, “Kabarkan kepada mereka (yakni kepada orang-orang yang menolak takdir). Aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun berlepas diri dariku.” (Shahih Muslim)
Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, engkau tidak akan merasakan nikmatnya iman sampai meyakini bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan meleset darimu tak akan menimpamu.
Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qalam (pena). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Tulislah!’ Dia menjawab, ‘Apa yang aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat!’.”
Ubadah berkata, “Wahai anakku, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
‘Barang siapa yang meninggal tidak dalam keyakinan seperti ini, dia tidak termasuk golonganku’.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)
Demikian pula sahabat yang lain, mereka telah berbicara keras mengancam orang-orang yang tidak mau meyakini takdir. Dari Ibnu Dailami rahimahullah, “Aku pernah mendatangi Ubai bin Ka’b radhiallahu ‘anhu dan aku katakan, ‘Ada satu ganjalan pada diriku tentang masalah qadar. Sampaikanlah kepadaku satu hadits, mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menghilangkan ganjalan tersebut dariku.’
Ubai bin Ka’b radhiallahu ‘anhu berkata, ‘Walaupun engkau berinfak emas sebesar Uhud, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala tak akan menerimanya sampai engkau beriman kepada takdir. Engkau meyakini bahwa apa yang ditetapkan menimpamu tak akan meleset dan sesuatu yang ditetapkan meleset maka tiada akan pernah mengenaimu. Jika engkau mati dalam keadaan tidak di atas akidah ini, engkau masuk neraka’.”
Ibnu Dailami rahimahullah berkata, “Kemudian aku menemui para sahabat yang lain: Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah ibnul Yaman, dan Zaid bin Tsabit g. Mereka semua menyampaikan hal yang sama kepadaku dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud dan lainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)
Thawus rahimahullah berkata, “Aku berjumpa dengan tiga ratus sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya berkata, ‘Segala sesuatu ditakdirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala’.”
Dalam Shahih Muslim, Thawus rahimahullah berkata, “Aku berjumpa dengan manusia dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya berkata, ‘Segala sesuatu terjadi dengan takdir’.”
Orang yang Mengingkari Takdir Bukan Orang Bertauhid
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Semua atsar menegaskan masalah ini dan menjelaskan bahwa barang siapa tidak beriman kepada takdir berarti telah lepas dari tauhid dan mengenakan pakaian kesyirikan, bahkan tidak beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak mengenal-Nya.”
(Lihat Tanbihatus Saniyah syarah al-Aqidah al-Wasithiyah)
Tingkatan Mengimani Takdir
Iman kepada takdir ada empat tingkatan.
Mengimani bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu secara global dan rinci, azali (terdahulu) dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan hamba-Nya.
Mengimani bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mencatat semuanya di Lauhul Mahfuzh.
Dalil dua masalah di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Haj: 70)
Meyakini bahwa semua yang terjadi, terjadinya dengan masyi’atullah (kehendak Allah subhanahu wa ta’ala), baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk.
Allah lberfirman tentang perbuatan-Nya:
“Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Qur’an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Rabbmu. Oleh sebab itu, janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir.” (al-Qashash: 86)
Meyakini bahwa semua yang terjadi adalah makhluk ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala: benda (zat), sifat, dan pergerakannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Allah menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu.” (az-Zumar: 62)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (al-Furqan: 2)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”
(ash-Shaffat: 96)
(Lihat Syarah Tsalasatul Ushul, hlm. 111—112)
Buah Iman Kepada Takdir
Faedah yang akan didapat ketika seorang beriman kepada takdir sangatlah banyak. Para ulama Ahlus Sunnah telah menyebutkannya, kami hanya menukilkan sebagian yang mereka sebutkan. Di antara faedah iman kepada takdir adalah:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (at-Taghabun: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah ada sesuatu yang menimpa seorang muslim baik berupa sakit, rasa capai, kesedihan, maupun rasa gundah yang menimpanya melainkan pasti Allah subhanahu wa ta’ala akan menghapus dosanya dengan sebab itu.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan, serta berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.”
Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (al-Baqarah: 155—157)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Yang namanya kaya bukanlah dengan banyaknya harta, namun kaya yang hakiki adalah kaya hati.”
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadid: 22—23)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Jika umat manusia berkumpul untuk menimpakan mudarat kepadamu, mereka tidak akan mampu menimpakan mudarat kepadamu sedikit pun melainkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.” (HR. at-Tirmidzi)
Dia meyakini bahwa umurnya telah ditetapkan sejak ia masih di perut ibunya, sebagaimana disebutkan oleh hadits Abdullah bin Masud radhiallahu ‘anhu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala daripada mukmin yang lemah, masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah dalam mencapai sesuatu yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan janganlah kamu lemah. Jika menimpamu satu perkara, janganlah kamu berkata, ‘Kalau aku lakukan ini, niscaya akan terjadi demikian dan demikian’, tetapi ucapkanlah, ‘Qadarullah wa masya’a fa’ala’, karena ucapan (kalau/berandai-andai) akan membuka amalan setan.” (Muttafaq alaih)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Yakni, engkau tak akan mendapatkan dan merasakan tenangnya iman sampai engkau meyakini bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan meleset darimu tak akan menimpamu. Itulah iman kepada takdir. Jika dia mengimani takdir, akan lapang hatinya dan mengamalkan apa yang disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. (Syarah Kitabut Tauhid, asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah)
Lihat Taujihul Muslimin ila Thariqin Nashr wat Tamkin (hlm. 5—7) dan syarah Tsalatsatul Ushul karya asy-Syaikh Ibnu Utsaimin.
Sebagai penutup, kami ingin mengingatkan satu masalah yang disebutkan oleh asy-Syaikh Hafizh al-Hakami rahimahullah bahwa iman kepada takdir akan sempurna dengan menafikan enam perkara berikut ini, karena enam perkara ini telah dinafikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Tathayur adalah beranggapan akan terjadinya kesialan dengan terbangnya burung ke arah tertentu, atau dengan sesuatu yang dilihat atau didengarnya, atau dengan hari dan bulan tertentu.
Nau’ adalah keyakinan jahiliah bahwa bintang mempunyai pengaruh atau menjadi sebab dari peristiwa-peristiwa di bumi.
‘Adwa adalah keyakinan jahiliah tentang adanya penyakit yang menular dengan sendirinya tanpa takdir Allah.
Ghul adalah keyakinan jahiliah tentang adanya jin yang jahat. Yang dinafikan adalah keyakinan jahiliah bahwa jin tersebut berkuasa untuk memberi manfaat dan mudarat, sehingga orang-orang jahiliah sangat menakutinya dan meminta perlindungan kepada mereka (jin).
Hamah adalah keyakinan jahiliah tentang adanya burung yang mendatangkan kesialan.
Ada dua penafsiran tentang shafar. Ada yang mengatakan, maknanya adalah sejenis cacing yang diyakini bisa menular dengan sendiriya. Adapun menurut penafsiran yang lain, shafar adalah beranggapan sial dengan bulan Shafar.
(Lihat Ma’arijul Qabul, Fathul Majid, dan al-Qaulul Mufid)
Seorang muslim hendaknya menjauhkan dirinya dari enam perkara tersebut sehingga menjadi sempurnalah keimanannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada tathayur, tidak ada hamah dan shafar.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam lafadz Muslim:
“Tidak ada nau’, tidak pula ghul.”
Asy-Syaikh Hafizh al-Hakami berkata, “Menafikan enam perkara ini dan yang semakna dengannya adalah bentuk tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Pencipta kebaikan dan kejelekan, yang hanya di tangan-Nya lah manfaat dan mudarat. Sebaliknya, meyakini satu dari enam perkara tersebut berarti menafikan tauhid atau mengurangi kesempurnaannya serta membatalkan tawakalnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala darinya.” (Lihat Ma’arijul Qabul)
Mudah-mudahan apa yang kami tulis ini bermanfaat, bisa menambah iman dan amal kita semua.
Walhamdulillah.
Ditulis oleh al-Ustadz Abdurrahman Mubarak Ata