Tali pernikahan menuntut seorang suami sebagai kepala keluarga untuk memikul tanggung jawab yang tidak ringan dalam mengurusi istri dan anak-anaknya. Tanggung jawab ini tidak hanya berupa pemberian nafkah dan kebutuhan lahiriah saja. Namun lebih dari itu, yaitu memerhatikan perkara agama dengan membimbing mereka kepada ketaatan serta mencegah mereka dari kemaksiatan dan penyimpangan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)
Dahulu sahabat Malik bin al-Huwairits radhiallahu ‘anhu bercerita bahwa dia dan beberapa orang dari kaumnya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menimba ilmu dan tinggal di sisi beliau selama dua puluh hari dua puluh malam. Malik bin al-Huwairits z mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang penyayang. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa kami telah merindukan keluarga, beliau menanyai kami tentang orang-orang yang kami tinggalkan. Kami pun memberi tahu beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kembalilah kalian kepada keluarga kalian. Tinggallah di tengah-tengah mereka dan ajarilah serta perintahlah mereka…’.” ( Shahih al-Bukhari, no. 631)
Orang yang terdekat dengan suami adalah anak-anak dan istrinya. Merekalah orang yang paling berhak mendapatkan arahan dan bimbingan kepada kebaikan. Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila masuk sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan beliau mengencangkan ikat pinggangnya (semangat beribadah) dan membangunkan keluarganya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)
Di antara sifat kemuliaan Nabi Ismail ‘alaihissalam yang diabadikan oleh al-Qur’an,
“Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 55)
Apabila seorang suami memberi perhatian penuh terhadap istri dari sisi bimbingan agama, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, istrinya akan menjadi penyejuk mata baginya. Wanita yang seperti ini diharapkan mampu memberikan bimbingan yang baik terhadap putra-putrinya.
Dengan demikian, ia memiliki andil mencetak generasi masa depan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang tua, masyarakat, dan agamanya.
Suami yang Jelek
Suami yang mencintai istrinya tidak akan membiarkannya terjerumus dalam perilaku yang menyimpang. Sebab, cinta yang sejati menuntut seseorang untuk membentengi kekasihnya dari jurang kehancuran.
Suami yang tidak peduli dengan kondisi istrinya dan membiarkannya larut dalam kenistaan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajibannya dalam membimbing istrinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Seorang penguasa adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang tanggung jawabnya, dan seorang lelaki adalah penanggung jawab terhadap keluarganya dan ia akan ditanyai tentang tugasnya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Ibnu Umar c)
Lelaki yang tidak peduli terhadap istrinya yang melanggar batasan-batasan agama adalah lelaki yang jelek. Ia berhak mendapatkan murka dari Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiga golongan yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan mereka dari (memasuki) surga: orang yang kecanduan khamr, orang yang durhaka (kepada orang tuanya), dan ad-dayyuts, yaitu yang membiarkan istrinya berbuat zina.” (HR. Ahmad dalam Musnad dari Ibnu Umar c dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami no. 3052)
Al-Munawi rahimahullah menerangkan, “Tiga golongan ini dihukumi kafir jika mereka menganggap halal perbuatannya. Surga itu haram atas orang-orang kafir selama-lamanya.
Apabila mereka menganggap perbuatan itu haram, yang dimaksud dengan surga itu haram atas mereka ialah mereka terhalangi dari memasukinya sebelum dibersihkan dengan api neraka. Apabila mereka sudah bersih, baru dimasukkan ke dalam surga.” (Faidhul Qadir 3/420)
Kecemburuan yang Nyaris Hilang
Cemburu ada yang terpuji dan ada yang tercela. Adapun yang terpuji dalah kecemburuan seseorang ketika melihat kekasihnya berbuat yang tidak baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya cemburu ada yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dan ada yang dibenci Allah…. Adapun cemburu yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah cemburu dalam perkara yang mencurigakan, sedang cemburu yang dibenci Allah subhanahu wa ta’ala adalah cemburu pada perkara yang tidak mencurigakan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2221)
Disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud (7/320) bahwa cemburu dalam perkara yang mencurigakan, seperti seorang lelaki cemburu terhadap para mahramnya bila melihat mereka melakukan perbuatan yang diharamkan, termasuk yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun cemburu pada perkara yang tidak mencurigakan, seperti seorang cemburu kepada ibunya jika ia dinikahi oleh ayah tiri, demikian pula kecemburuan para mahramnya, yang seperti ini termasuk yang dibenci Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, apa yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan bagi kita, kita wajib meridhainya.
Allah subhanahu wa ta’ala juga cemburu bila hamba-Nya berbuat maksiat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala cemburu dan sesungguhnya seorang mukmin itu cemburu. Kecemburuan Allah subhanahu wa ta’ala adalah jika seorang mukmin melakukan apa yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Ibnul Arabi rahimahullah menerangkan, “Orang mukmin yang paling kuat cemburunya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau tegas dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan melakukan pembalasan hukuman karena Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau tidak peduli dalam hal ini pada celaan orang yang mencela.” (Faidhul Qadir 2/387)
Al-Munawi rahimahullah berkata, “Orang yang paling mulia dan paling tinggi tekadnya adalah orang yang paling cemburu. Seorang mukmin yang cemburu pada tempatnya telah mencocoki Allah subhanahu wa ta’ala pada salah satu sifat-Nya. Barang siapa mencocoki Allah subhanahu wa ta’ala pada salah satu sifat-Nya, sifat itu akan menjadi kendalinya dan akan memasukkannya ke (hadapan) Allah subhanahu wa ta’ala serta mendekatnya kepada rahmat-Nya.” (Tuhfatul Arus, Istambuli, hlm. 387)
Seperti inilah bimbingan Islam yang sangat mulia. Masih adakah kiranya arahan seperti ini pada hati-hati para lelaki di zaman sekarang?! Sungguh, sulit didapatkan. Justru kebanyakan mereka membawa istri atau anak-anak perempuannya ke jalan-jalan umum untuk dipamerkan dan membiarkan mereka membuka aurat di jalan-jalan hingga menjadi umpan para perampok kehormatan dan kesucian.
Fenomena Pembiaran Maksiat pada Istri
Entah karena takut istri atau bersikap masa bodoh, dan yang pasti karena lemahnya iman, kita dapatkan tidak sedikit lelaki yang membiarkan istrinya terpaparkan pada kemudaratan. Hal ini bisa dilihat dalam banyak hal, di antaranya:
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah wanita bepergian kecuali dengan mahramnya.” ( HR. Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Telah banyak korban berjatuhan karena melanggar aturan agama ini. Ada yang menjadi korban penipuan, perampokan, hingga pelecehan seksual.
Hukum larangan bepergian bagi wanita tanpa mahram berlaku umum, apakah bepergian dalam rangka ketaatan atau perkara yang mubah. Sesungguhnya syariat sangat sayang kepada manusia, namun amat disesalkan bahwa aturan yang mulia ini dianggap mengekang kebebasan mereka. Kadang kondisi suami lebih parah, ia justru menyuruh istrinya bekerja di luar negeri mencarikan nafkah untuknya dengan mempertaruhkan nyawa dan kehormatannya.
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra: 32)
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Lebih parah lagi, dia bangga ketika istrinya tampil di hadapan manusia dengan penampilan ala barat (kafir).
Padahal wanita yang seperti ini diancam dengan laknat,
“Allah subhanahu wa ta’ala melaknat wanita yang menyerupai lelaki dan para lelaki yang menyerupai wanita.” ( HR. Ahmad dan lain-lain, serta dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’)
Pembiaran seperti ini terjadi terkadang dilandasi oleh keyakinan suaminya yang sesat, yaitu bahwa setiap orang punya hak untuk bersuara dan mengekspresikan kemauannya. Orang seperti ini sangat bodoh karena dia tidak tahu bahwa setiap gerak-gerik dan ucapan manusia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 36)
Misalnya, dicium oleh lelaki lain, dicolek, dan dipegang-pegang tubuh atau bajunya. Lelaki seperti ini masih bercokol pada otaknya kebiasaan jahiliah yang memandang bahwa haknya suami dari istrinya adalah bagian setengah istrinya sampai bawah, adapun setengah tubuh istri ke atas maka siapa suka dan menaruh benih cinta. (Raudlatul Muhibbin 116, cetakan Dar ash-Shuma’i)
Padahal ini termasuk jalan pintas untuk terjadinya perzinaan.
Padahal bermudah-mudah dalam hal ini bisa mengantarkan kepada penyimpangan istri dan tidak mustahil terjadi perselingkuhan dengan iparnya.
Masih banyak lagi bentuk ketidakberesan tingkah laku dan ucapan yang dilakukan oleh wanita yang disikapi dingin oleh suaminya. Sudah hilang darinya sifat kecemburuan dan telah lenyap jiwa kelaki-lakiannya. Yang paling mengerikan, suami yang seperti ini diancam dengan azab yang abadi, apabila ia meyakini bahwa hal tersbut halal/boleh, sebagaimana keterangan al-Munawi rahimahullah di atas.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan bimbingannya kepada kita untuk bisa menempuh jalan keselamatan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.