Asysyariah
Asysyariah

bila suami berperangai kasar

13 tahun yang lalu
baca 11 menit

(oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

 

Seorang ibu dari tiga anak tampak menahan isak tangisnya ketika menceritakan perlakuan yang diterimanya dari suaminya. Ketidakpedulian, ucapan yang kasar, dan pukulan sudah menjadi kawan dalam hidupnya selama berkeluarga. Sebenarnya sakit di badan sudah tak dirasakan namun sakit di hati terus tersimpan hingga membawanya untuk mengadukan kisah hidupnya dengan satu asa akan ada jalan keluar dari deraan derita.

Betapa malang nasib seorang wanita yang lemah bila mendapatkan suami yang berperangai kasar lagi “ringan tangan” seperti itu. Padahal Rasul yang mulia n telah bertitah:

“Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”

Datanglah ‘Umar ibnul Khaththab z untuk mengadu:

“Wahai Rasulullah, sungguh para istri telah berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.”

Mendengar pengaduan ini Rasulullah n memberi izin kepada para suami untuk memukul istrinya. Namun ternyata setelahnya banyak wanita datang menemui istri-istri Rasulullah n guna mengadukan suami-suami mereka. Maka kata beliau n:

“Sungguh banyak wanita berkeliling di keluarga Muhammad guna mengadukan suami-suami mereka. Bukanlah para suami yang memukul istri (dengan keras) itu orang yang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2145, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)

Kata Rasul n, mereka bukanlah orang yang terbaik, karena suami yang terbaik tidak akan memukul istrinya. Justru ia bersabar dengan kekurangan yang ada pada istrinya. Kalaupun ingin memberi (pukulan) pendidikan kepada istrinya, ia tidak akan memukulnya dengan keras hingga membuatnya mengadu/mengeluh. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Dharbin Nisa`)

Al-Imam Al-Baghawi v menjelaskan bahwa sekalipun memukul istri dibolehkan karena akhlak mereka yang jelek misalnya, namun menahan diri dan bersabar atas kejelekan mereka serta tidak memukul mereka justru lebih utama dan lebih bagus. Ucapan yang semakna dengan ini juga dihikayatkan dari Al-Imam Asy-Syafi’i v. (Syarhus Sunnah, 9/187)

Apakah suami sama sekali tidak dibolehkan memukul istrinya? Jawabannya sebagaimana yang telah diisyaratkan di atas, boleh bila memang diperlukan1. Adapun bila memukul itu sudah menjadi kebiasaan, salah sedikit pukul, marah sedikit pukul, hingga si istri babak belur, maka jelas tidaklah diperbolehkan.

Bila istri berbuat nusyuz, durhaka kepada suaminya dan tidak mempan dinasihati dengan baik, tidak pula berubah setelah ‘diboikot’ di tempat tidurnya, ketika itu suami dibolehkan menempuh tahapan ketiga untuk meluruskan kebengkokan istrinya, yaitu dengan memukulnya. Tahapan ini ditunjukkan dalam firman Allah l:

“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini2) nusyuznya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidurnya, dan pukullah mereka.” (An-Nisa`: 34)

Dengan demikian, cara pukulan barulah ditempuh setelah cara lain tidak manjur. Bukan pukulan jadi tameng pertama untuk menghadapi atau menghukum kesalahan istri.

Rasulullah n ketika menasihati Fathimah bintu Qais x dalam urusan pernikahan, beliau memberi bimbingan agar Fathimah jangan menerima lamaran laki-laki yang diketahui suka memukul wanita. Kisahnya bisa kita simak berikut ini:

Fathimah bintu Qais x ditalak tiga oleh suaminya Abu ‘Amr bin Hafsh. Ia lalu menjalani masa iddahnya dan Rasulullah n telah berpesan, “Bila engkau telah selesai dari iddahmu, beritahu aku.” Selesai masa iddahnya, Fathimah mengabarkan kepada Rasulullah n bahwa ia dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abul Jahm c. Rasulullah n bersabda:

“Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya. Sedangkan Mu’awiyah seorang yang fakir tidak berharta, maka (jangan engkau menikah dengan salah satunya, tapi –pent.) menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim no. 3681)

Makna “tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya” ditunjukkan dalam riwayat lain:

“Adapun Mu’awiyah, ia lelaki yang fakir tidak berharta. Sedangkan Abul Jahm adalah lelaki yang suka memukul para wanita….” (HR. Muslim no. 3696)

“Adapun Mu’awiyah, ia seorang yang fakir lemah keadaannya. Sedangkan Abul Jahm memiliki sifat keras terhadap para wanita –atau ia biasa memukul para wanita, atau yang semisalnya–….” (HR. Muslim no. 3697)

Apabila seorang suami terpaksa memukul istri maka pukulan tersebut tidak boleh sampai membuat cacat. Hendaklah ia memukul dengan pukulan yang ringan, sehingga tidak membuat si istri menjauh ataupun mendendam kepada suaminya. (Fathul Bari, 9/377)

Saat menyampaikan khutbah dalam haji Wada’, Nabi n memberi wejangan:

“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam perkara para wanita (istri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang kalian benci untuk menginjak (menapak) di hamparan (permadani) kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut3 maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras.” (HR. Muslim no. 2941)

Sabda Nabi n kata Ibnul Atsir v adalah pukulan yang tidak keras/ berat. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits, 1/113)

Rasul yang mulia juga menitahkan:

“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk istrinya seperti mencambuk seorang budak, kemudian ternyata di akhir hari ia menggauli istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5204 dan Muslim no. 7120)

Al-Imam An-Nawawi v berkata: “Dalam hadits ini ada larangan memukul istri tanpa alasan terpaksa dalam rangka mendidik.” (Al-Minhaj, 17/186)

Setelah ia sakiti tubuh istrinya dengan cambukan, ternyata di akhir harinya atau di malam harinya ia ingin bersenang-senang dengan tubuh tersebut. Tidakkah tindakan seperti ini menghancurkan hati seorang wanita??? Ia disakiti kemudian diminta untuk melayani suami yang menyakitinya??? Sementara sebagai istri, ia diharamkan untuk menolak ajakan suaminya4. Dan sebagai istri shalihah ia harus menyenangkan suaminya.5

Dengan demikian, seorang suami yang berakal tidak akan berlebih-lebihan dalam memukul istrinya, kemudian beberapa waktu setelahnya ia menggaulinya. Karena jima’ hanyalah baik dilakukan bila disertai kecondongan jiwa dan keinginan untuk bergaul dengan baik. Sementara orang yang dipukul, secara umum akan menjauh dari orang yang memukulnya. (Fathul Bari, 9/377)

Rasulullah n menasihatkan kepada sahabatnya Laqith bin Shabirah z ketika mengadukan kejelekan lisan istrinya:

“Janganlah engkau memukul istrimu seperti memukul budak perempuanmu.” (Penggalan dari hadits yang diriwayatkan Abu Dawud no. 142, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Abi Dawud)

Al-Imam Al-Baghawi v dalam Syarhus Sunnah (1/418) setelah membawakan hadits di atas menyatakan bahwa larangan dalam hadits ini bukan maknanya haram memukul istri jika memang dibutuhkan.Karena Allah l sendiri membolehkannya apabila dikhawatirkan perbuatan nusyuz dari istri. Allah l berfirman:

“Maka nasihatilah mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka.” (An-Nisa`: 34)

Yang dilarang hanyalah pukulan yang menyakitkan atau membuat cacat, sebagaimana pukulan yang dikenakan terhadap para budak menurut kebiasaan orang yang menganggap boleh memukul mereka. Diserupakannya dengan memukul budak di sini juga bukan berarti boleh memukul budak6, namun konteksnya di sini adalah untuk mencela orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut, sehingga Rasulullah n melarang meniru mereka.

Kebiasaan lain yang kita dapatkan dari suami yang suka memukul, seringnya yang jadi sasaran pukulannya adalah wajah. Padahal menampar wajah hukumnya haram sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. Di antaranya:

“Janganlah engkau memukul wajah (istrimu), jangan menjelekkannya7, dan jangan memboikot (mendiamkan)-nya kecuali di dalam rumah8.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil v dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)

Demikian juga hadits:

“Apabila salah seorang dari kalian memukul saudaranya9 maka hendaknya ia menjauhi wajah.” (HR. Muslim no. 6594)

Dalam riwayat lain:

“…maka jangan sekali-kali ia menampar wajah.” (HR. Muslim no. 6597)

Demikianlah… Lebih dari semua itu, teladan kita yang mulia Rasulullah n adalah suami yang sangat lembut. Tak pernah melakukan kekerasan terhadap istrinya, dan tak pernah memukul seorang pun. Sebagaimana berita dari salah seorang istri beliau Ummul Mukminin Aisyah x:

“Rasulullah n sama sekali tidak pernah memukul seorang pun dengan tangannya. Tidak pernah memukul seorang wanita, tidak pernah pula memukul pembantunya, kecuali bila beliau berjihad fi sabilillah….” (HR. Muslim no. 6004)

 

Nasihat Seorang Ulama dalam Menghadapi Suami yang Kasar

Para istri yang menerima perlakuan kasar dari suami mereka mungkin bertanya-tanya, bagaimana menghadapi suami mereka yang tipenya demikian. Sebagaimana pertanyaan yang pernah diajukan seorang wanita kepada seorang ‘alim rabbani, Syaikh yang mulia Abdul ‘Aziz bin Baz v yang waktu itu menjabat sebagai mufti kerajaan Saudi Arabi.

Sang wanita mengadu, “Suami saya tidak menaruh perhatian kepada saya di dalam rumah. Ia selalu bermuka masam lagi sempit dada. Katanya, sayalah yang menjadi penyebabnya. Padahal Allah -segala puji bagi-Nya- mengetahui bagaimana keadaan saya yang sebenarnya. Saya selalu menunaikan haknya dan senantiasa berupaya mempersembahkan untuknya segala kenyamanan dan ketenangan, serta menjauhkan darinya segala yang tidak disukainya. Saya juga menyabari tindak tanduknya yang kaku lagi kasar. Setiap saya bertanya kepadanya tentang sesuatu atau mengajaknya bicara satu hal, ia murka dan mendidih kemarahannya. Ia mengomentari bahwa omongan saya itu tidak ada artinya, ucapan orang yang pandir dan dungu. Padahal suami saya ini selalu berseri-seri wajahnya bila bersama kawan-kawannya. Tapi kalau bersama saya, tak pernah saya dapati darinya kecuali ucapan yang menjelekkan dan pergaulan yang buruk. Sungguh saya sakit menerima semua ini darinya. Dan ia banyak menyiksa saya, sehingga membuat saya beberapa kali berniat meninggalkan rumah. Saya sendiri adalah seorang wanita yang alhamdulillah menunaikan apa yang Allah l wajibkan kepada saya.

Syaikh yang mulia, apakah saya berdosa bila meninggalkan rumah suami saya bersama anak-anak saya, kemudian menyibukkan diri mendidik anak-anak saya dan menanggung sendiri beban kehidupan ini? Ataukah saya harus tetap tinggal bersamanya dalam keadaan yang seperti ini, menahan diri (berpuasa) dari berbicara dengannya, dan dari menyertai serta ikut merasakan permasalahan-permasalahannya? Berilah fatwa kepada saya, apa yang harus saya lakukan. Semoga Allah l membalas anda dengan kebaikan.”

Syaikh yang mulia v menasihatkan, “Tidaklah diragukan bahwa wajib bagi suami istri untuk bergaul dengan ma’ruf, saling memberikan kecintaan, dan bergaul dengan akhlak yang utama, berdasarkan firman Allah l:

“Bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)

Dan juga firman-Nya:

“Mereka (para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf, dan para suami memiliki kelebihan satu tingkat di atas mereka.” (Al-Baqarah: 228)

Dan sabda Nabi n:

“Kebaikan itu adalah akhlak yang baik.” (HR. Muslim)

Demikian pula sabda beliau n:

“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perbuatan baik sedikitpun, walaupun hanya berupa memberikan wajah yang manis saat berjumpa dengan saudaramu.” (HR. Muslim)

Dan ucapan beliau n:

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya. Dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.”10

Masih banyak lagi hadits-hadits yang berisi hasungan untuk berakhlak yang baik, berjumpa dengan wajah yang cerah dan bergaul yang baik di antara kaum muslimin secara umum. Tentunya, lebih utama lagi pergaulan antara suami istri dan dengan karib kerabat.

Sungguh anda telah melakukan perkara yang baik dengan kesabaran dan ketabahan anda dalam menanggung kekakuan dan jeleknya akhlak suami anda. Saya pesankan kepada anda untuk terus menambah kesabaran dan jangan meninggalkan rumah suami anda. Karena dengan terus bertahan dalam kesabaran Insya Allah ada kebaikan yang besar dan akhir yang baik, berdasarkan firman Allah l:

“Bersabarlah kalian karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)

“Sesungguhnya siapa yang bertakwa dan bersabar maka sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 90)

“Hanyalah orang-orang yang bersabar itu diberikan pahala mereka tanpa batasan.” (Az-Zumar: 10)

“Bersabarlah engkau, sesungguhnya akhir/kesudahan yang baik itu diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)

Tidak ada larangan bagi anda untuk mengajaknya bercanda dan berbincang dengan menggunakan kata-kata yang bisa melunakkan hatinya. Yang menyebabkannya senang kepada anda dan membuatnya menyadari hak anda terhadapnya.

Tidak usah anda menuntut kebutuhan-kebutuhan duniawi kepadanya selama ia masih menegakkan perkara-perkara penting yang wajib. Sehingga hatinya menjadi lapang dan dadanya menjadi luas dari menghadapi tuntutan-tuntutan anda. Anda akan mendapatkan akhir/kesudahan yang baik Insya Allah.

Semoga Allah l memberi taufik kepada anda agar memberi anda tambahan seluruh kebaikan. Dan semoga Dia memperbaiki keadaan suami anda, memberinya ilham kepada kelurusan dan menganugerahinya akhlak yang baik serta penuh perhatian terhadap hak-hak yang ada. Sesungguhnya Allah l adalah sebaik-baik Dzat yang diminta, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatawa, Kitab Ad-Da’awat, 1/193-195)

Demikian nasihat dari seorang ulama kepada istri yang menerima sikap kasar dari suami.

Maka bersabarlah dan terus bersabar, disertai doa kepada Ar-Rahman…! Sungguh kesudahan yang baik akan anda raih dengan izin Allah l.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


1 Adapun hadits yang berisi larangan secara mutlak dari Rasulullah n untuk memukul istri setelah sebelumnya mengizinkannya, tidaklah shahih. Seperti hadits Ibnu ‘Abbas c, ia berkata:

أَنَّ الرِّجَالَ اسْتَأْذَنُوْا رَسُولَ اللهِ فِي ضَرْبِ النِّسَاءِ فَأَذِنَ لَهُمْ، فَضَرَبُوْهُنَّ. فَباَتَ فَسَمِعَ صَوْتًا عَالِيًا فَقَالَ:

مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: أَذِنْتَ لِلرِّجَالِ فِي ضَرْبِ النِّسَاءِ فَصَرَبُوْهُنَّ. فَنَهَاهُمْ وَقَالَ: خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ

“Ada orang-orang yang minta izin kepada Rasulullah agar dibolehkan memukul istri. Beliau pun mengizinkannya hingga mereka memukul istri-istri mereka. Saat berada di waktu malam, beliau mendengar suara yang tinggi/keras. Beliau bertanya, “Suara apa itu?” tanya beliau. Mereka menjawab, “Engkau telah mengizinkan beberapa orang untuk memukul istri, lalu mereka memukulnya.” Rasulullah kemudian melarang mereka dan bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian terhadap keluarganya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Bazzar)

2 Sebagaimana makna ini disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas c. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/112, Tafsir Al-Baghawi, 1/423)

10 HR. At-Tirmidzi no. 1162, lihat Ash-Shahihah no. 284. (pent)