Mengabaikan nahi mungkar adalah watak orang kafir dari kalangan Bani Israil yang dikecam oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an (al-Maidah: 78—79).
Watak ini diwarisi oleh kaum munafik dari masa ke masa. Kaum munafik bahkan lebih parah, karena mereka justru memerintahkan yang mungkar (amar mungkar) dan melarang dari yang makruf (nahi makruf). Itulah sifat orang fasik.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلۡمُنَٰفِقُونَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتُ بَعۡضُهُم مِّنۢ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمُنكَرِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَقۡبِضُونَ أَيۡدِيَهُمۡۚ نَسُواْ ٱللَّهَ فَنَسِيَهُمۡۚ إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat mungkar dan melarang berbuat makruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 67)
Baca juga: Kemunafikan Berselubung Agama
Apabila kemungkaran yang tersebar di masyarakat diabaikan, tanpa ada upaya pencegahan dan pengingkaran; tidak hanya dianggap tasyabuh (menyerupai) orang-orang kafir, munafik, dan fasik; tetapi juga akan memunculkan dampak negatif bagi individu dan masyarakat. Berikut ini uraiannya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ٧٨ كَانُواْ لَا يَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ ٧٩
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78—79)
Laknat adalah dijauhkannya seseorang dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, wal ‘iyadzu billah (kita memohon perlindungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala). Laknat akan diberikan kepada orang yang melakukan dosa besar. Demikian uraian Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Riyadh ash-Shalihin (hlm. 410).
Ayat di atas mengandung beberapa hukuman dan celaan akibat perbuatan mengabaikan nahi mungkar, di antaranya:
Baca juga: Akibat Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Ada dua pendapat di kalangan ahli tafsir tentang makna laknat yang menimpa Bani Israil.
Pendapat ini yang masyhur di kalangan ulama. Ini merupakan asal makna laknat, seperti yang diuraikan oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah di atas.
Mereka dilaknat oleh Dawud alaihis salam dan berubah menjadi monyet. Kemudian mereka dilaknat oleh Isa alaihis salam dan berubah menjadi babi, seperti yang terjadi pada kisah Ashab as-Sabti dan Ashab al-Maidah yang kafir. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, Mujahid, Qatadah, dan Hasan al-Bashri rahimahumullah. (Zadul Masir, Ibnul Jauzi, pada tafsir surah al-Maidah: 78)
Kedua makna di atas tidak bertentangan karena kedua hal tersebut terjadi pada Bani Israil.
Baca juga: Kisah Ashab as-Sabti (bagian 1)
Al-Allamah al-Mufassir Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ragam mafsadat besar akibat mendiamkan kemungkaran padahal mampu untuk melarangnya, di antaranya:
Baca juga: Penerapan Amar Makruf Nahi Mungkar
Sebab, apabila sebuah kemaksiatan terjadi berulang kali dan sudah dikerjakan oleh banyak orang tanpa ada tokoh agama dan ulama yang mengingkari, kemaksiatan tersebut sudah tidak dianggap sebagai kemaksiatan lagi. Orang-orang jahil bisa jadi menduga tindakan tersebut adalah ibadah yang dianggap baik. Tidak ada mafsadat yang lebih besar dibandingkan dengan meyakini halalnya sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan benarnya sesuatu yang batil.
Masih banyak lagi mafsadat lain yang akan mendatangkan hukuman berupa laknat dari Allah subhanahu wa ta’ala. (Tafsir as-Sa’di surah al-Maidah: 78—79)
Ummul Mukminin Ummul Hakam Zainab bintu Jahsy radhiallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟
“Apakah kita semua binasa padahal di tengah-tengah kami masih ada orang-orang saleh?”
Beliau menjawab,
نَعَمْ، إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ
“Ya, apabila telah banyak kejelekan.” (HR. al-Bukhari no. 3346 dan Muslim no. 7237)
Baca juga: Bencana Bukan Akibat Dosa?
Al-Khabits yang dimaksud dalam hadits di atas ada dua definisi:
a. Amalan yang khabits (jelek/keji)
b. Orang-orang yang khabits (jelek/keji)
Apabila amalan keji dan jelek telah merajalela di tengah masyarakat, walaupun mereka adalah muslimin, akan dikhawatirkan terjadi kehancuran dan kebinasaan. Begitu pula apabila orang-orang kafir dan jahat telah mendominasi sebuah masyarakat, akan dikhawatirkan muncul malapetaka dan ujian.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱتَّقُواْ فِتۡنَةً لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمۡ خَآصَّةً وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ
“Peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (al-Anfal: 25) (Syarah Riyadh ash-Shalihin hlm. 421, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
Saat itu, doa yang dipanjatkan tidak akan dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dari Hudzaifah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh hendaklah kalian beramar makruf nahi mungkar atau sungguh hampir saja Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan hukuman kepada kalian. Kemudian kalian berdoa kepada-Nya, tetapi permohonan kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. at-Tirmidzi no. 2169, dinyatakan hasan li ghairi. Lihat Shahih at-Tirmidzi no. 1762)
Dari Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي ثُمَّ يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوا إِلَّا يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ
“Tidaklah ada suatu kaum, yang kemaksiatan dilakukan di tengah-tengah mereka dan mereka mampu mengubahnya, tetapi tidak mereka ubah; melainkan sangat mungkin Allah subhanahu wa ta’ala meratakan mereka dengan hukuman.” (HR. Abu Dawud no. 4338 dengan sanad yang sahih)
Baca juga: Cara Manis Menepis Kemungkaran
Dari Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu, beliau berkata, “Wahai umat manusia! Sesungguhnya kalian membaca ayat berikut ini,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ عَلَيۡكُمۡ أَنفُسَكُمۡۖ لَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا ٱهۡتَدَيۡتُمۡۚ
‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.’ (al-Maidah: 105)
Padahal aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ
‘Sesungguhnya apabila umat manusia melihat orang yang berbuat zalim dan tidak mencegahnya, hampir saja Allah subhanahu wa ta’ala meratakan mereka dengan hukuman dari-Nya’.”
An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Riyadh ash-Shalihin no. 198, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4338, at-Tirmidzi no. 2168, dan an-Nasa’i dengan sanad-sanad yang sahih.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
Baca juga: Urgensi Amar Makruf Nahi Mungkar
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kaum muslimin agar mereka bersemangat menegakkan amar makruf nahi mungkar dengan cara dan metode yang benar sebagaimana diajarkan oleh syariat yang sempurna ini. Dengan demikian, masyarakat merasakan kebahagiaan hidup di dunia dan keberuntungan di akhirat kelak.
Amin, ya Mujibas Sailin.