Asysyariah
Asysyariah

besar kecilnya tebusan khuluk

3 tahun yang lalu
baca 4 menit
Besar Kecilnya Tebusan Khuluk

Jumhur (mayoritas) ulama serta empat imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) berpendapat, suami boleh mengambil tebusan yang lebih besar daripada mahar yang telah dia berikan kepada istrinya. Pendapat ini diriwayatkan dari Utsman bin Affan, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas radhiallahu anhum.

Dalilnya adalah keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,

فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا فِيمَا ٱفۡتَدَتۡ بِهِۦۗ

“Tidak ada dosa atas keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (al-Baqarah: 229)

Kata مَا (ma) pada ayat tersebut adalah isim maushul yang secara bahasa berfungsi untuk menunjukkan makna yang umum. Ini berarti secara umum meliputi seluruh jenis tebusan, ragam, nilai, dan tata cara pembayarannya.

Baca juga: Syariat Khuluk dan Hikmahnya

Akan tetapi, jumhur berbeda pendapat tentang makruh atau tidaknya. Masalahnya, ada riwayat tambahan pada hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma dengan lafaz,

أَنَّ جَمِيلَةَ بِنْتَ سَلُولَ أَتَتْ النَّبِيَّ فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلاَمِ لاَ أُطِيقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ: أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيقَتَهُ وَلاَ يَزْدَادَ.

“Jamilah bintu Salul telah mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mencela Tsabit atas agama dan akhlaknya. Akan tetapi, aku benci kekufuran dalam Islam karena aku tidak sanggup menahan kebencianku kepadanya.’

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya?’

Ia menjawab, ‘Ya.’

Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan Tsabit untuk mengambil kebunnya dari wanita itu dan tidak mengambil lebih dari itu.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi. Syaikh al-Albani menyatakan bahwa riwayat ini sahih).[1]

Baca juga: Definisi dan Konsekuensi Khuluk

Terdapat pula sebuah riwayat yang menguatkannya dan semakna dengannya. Sebuah riwayat mursal Atha’, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dan mursal Abi Zubair dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dikeluarkan ad-Daraquthni.[2]

Adapun riwayat mursal Abu Zubair, lafaznya sebagai berikut,

فَقَالَ النَّبِيُّ: أَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ الَّتِيْ أَعْطَاكِ؟ قَالَتْ: نَعْمْ، وَزِيَادَةً. فَقَالَ النَّبِيُّ: أَمَّا الزِّيّادَةُ فَلاَ، وَلَكِنْ حَدِيْقَتَهُ. قَالَتْ: نَعَمْ.

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya yang telah diberikannya kepadamu?’

Ia menjawab, ‘Ya, bahkan akan kuberi tambahan.’

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, ‘Adapun tambahannya, tidak perlu. Namun, kembalikan kebunnya saja.’

Ia menjawab, ‘Ya’.”

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menguatkan hadits ini.

Baca juga: Hukum Istri Meminta Khuluk

Oleh karena itu, Imam Ahmad berpendapat bahwa hal itu boleh, tetapi makruh; berdasarkan gabungan makna ayat dan hadits tersebut. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dan Ibnu Utsaimin.

Sementara itu, asy-Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah rahimahumullah berpendapat tidak makruh dengan alasan hadits tersebut lemah. Seandainya hadits tersebut tsabit (benar/kuat riwayatnya), larangan Nabi shallallahu alaihi wa sallam itu kemungkinan hanya sebagai saran dan bimbingan kepadanya agar tidak menyusahkan diri dengan memberikan yang lebih daripada maharnya. Meskipun begitu, Imam Malik rahimahullah mengatakan bahwa hal itu bertentangan dengan keluhuran akhlak.

Baca juga: Hukum Suami Menanggapi Permintaan Khuluk Istri

Sepertinya, yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu a’lam.[3]


Catatan Kaki:

[1] Lihat kitab Shahih Ibnu Majah (no. 2086) dan al-Irwa’ (no. 2037)

[2] Riwayat mursal adalah riwayat seorang tabiin (pengikut sahabat), dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Riwayat seperti ini tergolong dhaif (lemah) karena riwayatnya terputus antara tabiin tersebut dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi, riwayat ini bisa menjadi syahid (penguat) bagi hadits lainnya.

[3] Ada juga yang berpendapat haram, dan inilah yang dirajihkan oleh asy-Syaukani, berdalil dengan hadits tersebut.

(Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)