Asysyariah
Asysyariah

bersuci bagian 2

13 tahun yang lalu
baca 10 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)

 

Di edisi yang lalu kita telah berbicara tentang beberapa masalah terkait thaharah wanita haid. Berikut ini lanjutan pembahasannya.

Wanita haid ditimpa janabah
Bila wanita haid ditimpa janabah, di mana mungkin sebelum haid ia junub dan belum sempat mandi kemudian haid mendatanginya, ataupun ketika sedang haid ia ihtilam (mimpi basah), apakah ia tetap wajib mandi janabah (dalam keadaan ia sedang haid); ataukah boleh menundanya sampai ia suci dari haid baru kemudian ia mandi dengan niat menghilangkan kedua hadats sekaligus, janabah dan haid; ataukah ia harus mandi dua kali, yakni mandi haid dan mandi junub?
Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat:
Pertama: Si wanita tidak wajib segera mandi janabah, dan ketika suci nanti cukup baginya satu kali mandi untuk mengangkat kedua hadats tersebut. Ini merupakan pendapat jumhur ahlul ilmi, di antara mereka adalah imam madzhab yang empat: Abu Hanifah (Al-Muhalla, 1/291), Al-Imam Malik (Al-Mudawwanah, 1/134), Al-Imam Syafi’i (Al-Umm, Kitab Ath-Thaharah, Bab ‘Illatu Man Yajibu alaihi Al-Ghuslu wal Wudhu), dan Al-Imam Ahmad ibnu Hambal (Al-Mughni, Kitab Ath-Thaharah, Fashl Ijtima’ Al-Haidh wal Janabah), semoga Allah l merahmati mereka semua. Pendapat ini yang dinyatakan Rabi’ah, Abu Az-Zinad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i dalam satu riwayat darinya. (Al-Ausath 2/105, Al-Mudawwanah, 1/134)
Dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Nabi n dahulu ketika junub karena menggauli beberapa istri beliau secara bergantian. Beliau n hanya mencukupkan sekali mandi pada akhirnya, padahal janabahnya berulang. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Anas bin Malik z berikut ini:
أَنَّ النَّبِيَّ n كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ
“Adalah Nabi n mendatangi istri-istri beliau (untuk menggauli mereka secara bergiliran) dengan sekali mandi.” (HR. Muslim no. 706)
Wanita haid yang ditimpa janabah juga demikian. Bila ia junub dan datang haidnya sebelum sempat mandi janabah maka cukup baginya mandi sekali saat suci. (Al-Ausath, 2/105)
2. Bila terkumpul pada seseorang beberapa hadats kecil yang mengharuskannya berthaharah shughra (yaitu dengan berwudhu) saat hendak shalat, seperti tidur nyenyak, keluar angin dari dubur, dan menyentuh istri sehingga keluar madzi, atau selesai buang air besar dan bersamaan dengan itu buang air kecil juga, maka cukup bagi yang mengalaminya melakukan sekali wudhu. Ia tidak diperintahkan berwudhu untuk masing-masing hadats. (Al-Ausath 2/106)
Ia tidak wajib mandi janabah sebelum suci dari haidnya, karena mandinya tidak berfaedah baginya. (Al-Majmu’, 2/171)
Al-Imam Ibnu Qudamah t berkata, “Bila wanita haid mengalami janabah maka ia tidak wajib mandi sampai selesai haidnya. Demikian dinyatakan Al-Imam Ahmad. Ini juga merupakan pendapat Ishaq. Karena dengan mandi pun hukum-hukum yang ada tidak bermanfaat baginya1. Namun bila ia mandi janabah dalam masa haidnya, mandinya sah dan hilang hukum janabah darinya. Al-Imam Ahmad t mengatakan, ‘(Dengan mandi itu) hilang janabahnya, namun haidnya tidak hilang sampai terputus/berhenti darahnya’.” (Al-Mughni, Kitab Ath-Thaharah, Fashl Ijtima’ Al-Haidh wal Janabah)
Pendapat kedua: Seharusnya ia mandi. Bila tidak maka saat suci nanti ia mandi dua kali, untuk haid dan untuk janabah. Ini merupakan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Atha’, sebagaimana pendapat mereka diriwayatkan dalam Mushannaf Abdir Razzaq (no. 1057-1060, 1/275). Demikian pula pendapat Jabir bin Zaid, Qatadah, Al-Hakam, Thawus, ‘Amr bin Syu’aib, Az-Zuhri, Maimun bin Mihran, dan satu pendapat dari Dawud Azh-Zhahiri beserta pengikutnya. (Al-Muhalla, 1/293)
Mereka berdalil bahwa Allah l mewajibkan mandi dari janabah dan mewajibkan pula mandi haid. Satu dengan yang lainnya berbeda, maka tidak boleh menggugurkan salah satunya kecuali dengan argumen dari Al-Qur’an atau As-Sunnah atau kesepakatan ulama. (Al-Ausath 2/105, Al-Muhalla 1/290)
Pendapat kedua ini yang dipegangi oleh Ahlul hadits negeri Syam, Al-Imam Al-Albani t. Ketika memberi ta’liq terhadap Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq dalam masalah mandi, beliau berkata, “Yang tampak bagiku, tidak cukup sekali mandi (untuk haid dan janabah, atau untuk mandi Jum’at dan mandi pada hari Id, atau untuk janabah dan mandi Jum’at) bahkan harus mandi untuk masing-masing perkara yang wajib padanya mandi. Maka untuk haid dilakukan satu kali mandi, untuk janabah dilakukan mandi yang lain lagi. Atau untuk janabah satu kali mandi dan untuk Jum’at mandi yang lain. Karena masing-masing mandi ini telah datang dalil yang menunjukkan wajibnya, sehingga tidak boleh menyatukannya dalam satu amalan….” (Tamamul Minnah, hal. 126)

Pendapat ketiga: Ia harus mandi janabah, namun bila ia tidak melakukannya cukup baginya sekali mandi saat suci dari haid. Demikian satu riwayat dari Al-Imam Ahmad t dan satu riwayat dari Al-Auza’i t. (Al-Ausath 2/105)
Untuk pencukupan sekali mandi saat suci, mereka berargumen seperti argumen pendapat yang pertama. Adapun pewajiban mandi janabah walaupun masih haid (belum suci) maka bisa jadi mereka beragumen dengan hujjah pendapat kedua, wallahu a’lam.2
Dari perbedaan pendapat yang ada maka yang kami condongi, wallahu a’lam adalah pendapat yang dipegangi jumhur ahlul ilmi, yaitu cukup baginya sekali mandi saat suci untuk mengangkat haid sekaligus janabahnya3.
Namun bila ia hendak membaca Al-Qur’an atau hendak duduk di masjid untuk mendengarkan taklim misalnya, maka sebaiknya ia mandi atau setidaknya berwudhu untuk meringankan janabahnya, wallahu a’lam bish-shawab. (lihat Al-Mughni fashl Idza Tawadha’a Junub falahu Al-Lubts fil Masjid)4

Meninggal dalam keadaan haid, bagaimana dengan mandinya?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Ia dimandikan sekali. Ibnul Mundzir t berkata sebagaimana dinukil Ibnu Qudamah t, “Ini merupakan pendapat ulama dari penjuru negeri yang kami hafal.” (Al-Mughni, Kitab Al-Jana’iz, Fashl Ghuslul Haidh wal Junub)
2. Adapun pula yang berpendapat si wanita yang telah menjadi mayat tersebut dimandikan dua kali, mandi haid dan mandi jenazah. Demikian pendapat Al-Hasan Al-Bahsri t. (Al-Mughni, Kitab Al-Janaiz, Fashl Ghuslul Haidh wal Junub)
Namun yang utama dari dua pendapat yang ada, kata Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t, adalah pendapat pertama. Karena orang yang meninggal dunia telah keluar dari hukum taklif, sehingga tidak ada baginya kewajiban melakukan satu ibadah pun. Yang ada hanyalah ia dimandikan sebagai jenazah (bukan mandi haid) agar ia meninggalkan dunia dengan keadaan yang sempurna dari sisi kebersihan dan kebagusan dalam pandangan. Hal ini sudah tercapai dengan sekali mandi. Alasan lainnya adalah mandi sekali mencukupi bagi orang yang terkumpul padanya dua kewajiban mandi seperti wanita yang haid dan tertimpa janabah. (Al-Mughni Kitab Al-Janaiz, Fashl Ghuslul Haidh wal Junub)
Datang dan berlalunya haid
Ulama sepakat bahwa datangnya haid diketahui dengan keluarnya darah berwarna hitam, kental, dan beraroma tidak sedap dari kemaluan pada waktu yang memang biasa. Sedangkan untuk berlalu atau selesainya haid, mereka berbeda pendapat, antara satu di antara dua perkara berikut ini, apakah dengan:
1. Jufuf, yaitu bila seorang wanita meletakkan kain, kapas, atau tisu dalam kemaluannya, ketika dikeluarkan didapati kain kapas tersebut dalam keadaan kering;
Ataukah dengan:
2. Qashshah baidha’, yaitu cairan putih yang dikeluarkan rahim setelah darah haid berhenti. (Fathul Bari, 1/544)
Al-Imam Malik t dalam Al-Muwaththa’ membawakan riwayat dari ‘Alqamah ibnu Abi ‘Alqamah Al-Madani dari ibunya, Marjanah, maulah Aisyah Ummul Mukminin x. Ibunya berkata: “Para wanita pernah datang menemui Aisyah dengan membawa potongan kain yang di dalamnya ada kapas. Tampak di kapas tersebut cairan kuning dari darah haid. Mereka melakukan hal tersebut untuk menanyakan apakah sudah diperkenankan shalat bila masih keluar cairan demikian? Aisyah berkata kepada mereka, ‘Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat qashshah baidha’. Yang dimaukan Aisyah dengan ucapannya tersebut adalah suci dari haid.” (Atsar ini dikeluarkan pula oleh Al-Imam Al-Bukhari t dalam Shahihnya secara mu’allaq/tanpa menyebutkan sanadnya, pada Kitab Al-Haidh, bab Iqbalil Mahidh wa Idbarihi)
Marjanah, rawi yang menyampaikan kisah di atas, kata Al-Hafizh t tentangnya, “Maqbulah.” (At-Taqrib, hal. 769)
Makna maqbul (diterima riwayatnya) menurut Al-Hafizh adalah ia maqbul bila ada yang mengikutinya dalam periwayatan. Bila tidak, maka ia lemah/layyin.
Ada pula penyebutan tentang qushshah baidha’ ini dari riwayat yang dikeluarkan oleh Ad-Darimi (1/214) dan Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra (1/337). Dalam riwayat Ad-Darimi disebutkan, Aisyah x berkata, “Apabila engkau melihat darah maka tahanlah dari mengerjakan shalat sampai engkau melihat tanda suci berwarna putih seperti perak. Setelahnya, engkau mandi dan mengerjakan shalat.”
Makhul Abu Abdillah Ad-Dimasyqi t, seorang tabi’in ulama penduduk Syam, berkata, “Janganlah si wanita mandi sampai ia melihat tanda suci berwarna putih laksana perak.” (Diriwayatkan dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/94)
‘Atha t, juga seorang alim yang besar berkata menjawab pertanyaan Ibnu Juraij tentang tanda suci, “(Tanda suci dari haid) berupa abyadh jufuf/warna putih kering, tidak ada warna kekuningan bersamanya dan tidak ada pula cairan/air.” Jufuf adalah abyadh.
Al-Imam Malik t berkata, “Aku pernah bertanya kepada para wanita tentang cairan putih yang dikeluarkan rahim setelah darah haid berhenti. Ternyata perkaranya dimaklumi/diketahui oleh mereka, yang dengannya mereka mengetahui bahwa mereka telah suci.” (Fathul Bari, 1/545)
Dalam masalah tanda suci yang diperselisihkan ini, berkata Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t, “Tanda suci itu diketahui oleh para wanita, yaitu cairan putih yang keluar saat haid berhenti. Namun sebagian wanita tidak melihat keluarnya cairan tersebut saat datang sucinya, sampai datang haid yang kedua/yang berikutnya. Sama sekali ia tidak melihat cairan tersebut keluar dari kemaluannya. Maka wanita yang demikian tanda sucinya diketahui dengan cara ia memasukkan kapas yang putih ke dalam tempat keluarnya darah, kemudian ia keluarkan lagi dalam keadaan kapas tersebut tidak berubah (tetap putih bersih dan kering), maka itu adalah tanda sucinya.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/498)
Wallahu a’lam bish-shawab.


1 Walaupun ia telah mandi janabah namun hukumnya tetaplah ia belum suci, sehingga belum boleh mengerjakan shalat, tidak boleh puasa, tidak boleh thawaf di Baitullah, serta belum halal bagi suaminya untuk menggaulinya. Kata Al-Imam Asy-Syafi’i t, semestinya bila si wanita mandi, ia pun suci dengan mandinya tersebut. Sementara dalam kondisi sedang haid, ia tidak bisa suci dengan mandi janabah yang dilakukannya. Sehingga, ia menanti saat selesainya haidnya, barulah ia mandi dan cukup dengan sekali mandi untuk haid sekaligus janabah. (Al-Umm, Kitab Ath-Thaharah, bab ‘Illatu man Yajibu alaihi Al-Ghuslu wal Wudhu)
2 Al-Ahkam Al-Mutarattibah ‘alal Haidh, wan Nifas wal Istihadhah, hal. 76, karya Dr. Shalih ibn Abdillah Al-Lahm, pengajar studi fiqih di Fakultas Syariah Jami’atul Qashim.
3 Faedah:
Al-Allamah Abdurrahman ibnu Nashir As-Sa’di dalam kitabnya Al-Qawa’id wal Ushul Al-Jami’ah wal Furuq wat Taqasim Al-Badi’ah An-Nafi’ah menyebutkan dalam kaidah ke-41: Apabila terkumpul dua ibadah dari jenis yang satu, maka perbuatan dua ibadah tadi bisa saling masuk dan dicukupkan untuk keduanya satu perbuatan saja, bila memang maksud ibadah tadi satu.
Kemudian beliau memberi contoh orang yang masuk masjid ketika telah datang waktu shalat rawatib, lalu ia mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat shalat rawatib dan tahiyatul masjid sekaligus, maka orang ini beroleh keutamaan keduanya. (hal. 96)
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin dalam ta’liqnya terhadap kitab Asy-Syaikh As-Sa’di di atasmenyatakan: “Ini merupakan kaidah yang penting, yaitu bisa saling masuknya (digabungkannya) beberapa ibadah, akan tetapi dengan syarat-syarat berikut:
1. Ibadah tersebut maksudnya satu dan jenisnya satu. Shalat dengan shalat misalnya, atau puasa dengan puasa.
2. Salah satu dari dua ibadah yang digabung tersebut bukan tabi’ah (penyerta/pengikut) bagi ibadah yang satunya lagi. Kalau yang satunya merupakan tabi’ah dari yang lain maka tidak bisa digabungkan. Seperti shalat sunnah subuh dengan shalat subuh. Tidak bisa seseorang menggabungkan keduanya, di mana ia mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat sunnah subuh dan shalat fardhiyah subuh. Karena sunnah subuh ini merupakan tabi’ah. (hal. 168)
4 Di antara ahlul ilmi yang berpendapat bolehnya orang junub membaca Al-Qur’an adalah Ibnu Abbas c dari kalangan sahabat Rasulullah n, di mana Ibnu Abbas c pernah membaca surah Al-Baqarah dalam keadaan junub. Demikian pula Sa’id ibnul Musayyab, Sa’id bin Jubair. Ini juga merupakan pendapat Dawud Azh-Zhahiri dengan pengikutnya. (Syarhus Sunnah 2/43, Al-Muhalla 1/96)
Namun lebih utama bagi si junub untuk berwudhu terlebih dahulu. Asy-Syaikh Al-Albani ketika menerangkan hadits:
إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ l إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ
“Sungguh aku tidak suka berzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci/berwudhu.” (HR. Abu Dawud no. 17, dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 834)
Beliau mengatakan, “Nabi n tidak suka berzikir kepada Allah l kecuali dalam keadaan beliau telah bersuci. Hal ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an tanpa thaharah (bersuci) lebih utama lagi kemakruhannya. Maka tidak sepantasnya pendapat yang membolehkan orang yang berhadats membaca Al-Qur’an itu dimutlakkan (dibiarkan tanpa batasan tertentu) begitu saja, sebagaimana dilakukan sebagian saudara-saudara kita dari kalangan ahlul hadits.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/489)

Sumber Tulisan:
Bersuci bagian 2