Dari Ubadah bin ash-Shamit rahiallahu anhu, beliau berkata,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ فِي مَجْلِسٍ فَقَالَ: تُبَايِعُونِي عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَعُوقِبَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَسَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ، إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ
“Kami pernah berada dalam sebuah majelis bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘(Maukah) kalian memberikan baiat kepadaku untuk tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun, tidak berbuat zina, tidak mencuri, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan haknya. Barang siapa menunaikannya di antara kalian ia mendapatkan pahala dari Allah. Adapun yang melanggarnya lalu ia dihukum, (hukuman itu) adalah kafarat untuknya. Barang siapa melanggarnya lalu Allah menutupinya, urusannya kembali kepada Allah. Jika Allah menghendaki, Allah akan mengampuninya; dan jika Allah berkehendak, Allah akan mengazabnya’.”
Syaikh al-Albani berkata (as-Silsilah ash-Shahihah, 6/1267),
“Hadits ini adalah hadits Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu anhu. Ada tiga jalur periwayatan dari beliau:
Disebutkan bahwa Ubadah bin ash-Shamit—seorang sahabat yang mengikuti Perang Badr bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan termasuk sahabat yang berbaiat pada malam Aqabah—mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, dalam keadaan di sekeliling beliau ada para sahabat, kemudian beliau menyebutkan hadits di atas. Ubadah berkata, ‘Aku pun membaiat Nabi atas hal-hal tersebut.’
Riwayat ini dikeluarkan oleh al-Bukhari (1/45—48, 7/176, 8/518, 12/69—70, 13/173) dan teks hadits di atas adalah salah satu riwayatnya, Muslim (5/127), at-Tirmidzi (no. 1439), an-Nasai (2/182—183), ad-Darimi (2/220), dan Ahmad (5/314, 340).
Riwayat ini dikeluarkan oleh al-Bukhari (7/176—178), Muslim, dan Ahmad (5/321).
Riwayat ini dikeluarkan oleh Muslim, Ahmad (5/320), dan Ibnu Majah (2/129).”
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu, beliau bertutur,
قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللهِ بِسَبْيٍ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَّبْيِ تَبْتَغِي إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَّبْيِ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ، فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ: أَتَرَوْنَ هَذِهِ الْمَرْأَةَ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟ قُلْنَا: لَا وَاللهِ وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لَا تَطْرَحَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : الَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا
Ada sekelompok tawanan yang dibawa menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Di antara mereka ada seorang wanita yang terlihat sedang gelisah mencari sesuatu. Tiba-tiba wanita tersebut menemukan bayi di tengah-tengah tawanan. Langsung saja wanita tersebut menggendongnya lalu mendekapnya di dadanya dan menyusuinya. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Menurut kalian, apakah wanita ini tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Kami menjawab, “Demi Allah, tidak mungkin ia tega untuk melakukannya.” Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, Allah lebih penyayang kepada hamba-Nya daripada kasih sayang wanita ini terhadap anaknya.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa cinta dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-hamba-Nya lebih besar dan lebih luas daripada cinta hamba kepada diri mereka sendiri. Oleh karena itu, seluruh syariat yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala merupakan bentuk cinta dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-Nya. Seluruh syariat adalah demi kemaslahatan dan kepentingan hamba sendiri. Setiap perintah berbuat baik adalah untuk kepentingan hamba. Demikian pula, setiap larangan dari perbuatan buruk juga untuk kepentingan hamba itu sendiri.
Syariat yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala selalu tepat dan sesuai dengan perubahan zaman dan perbedaan tempat. Sebab, Allah-lah yang mencipta, mengatur, dan menguasai. Ilmu Allah subhanahu wa ta’ala meliputi apa yang telah berlalu, yang sedang terjadi, dan yang akan datang.
Maka dari itu, amatlah merugi dan sungguh celaka hamba yang memandang hukum Allah subhanahu wa ta’ala itu merugikan, buas, atau hanya dapat diberlakukan di masa lampau. Celaka pula seorang hamba yang menilai bahwa syariat Allah subhanahu wa ta’ala hanya dapat diwujudkan di tanah Arab atau menganggap hukum Allah subhanahu wa ta’ala tidak lagi cocok pada masa ini.
Syariat Allah subhanahu wa ta’ala adalah syariat yang sempurna. Tidak ada sedikit pun kebaikan yang terlewatkan, sebagaimana tidak pula ada keburukan melainkan telah diperingatkan. Apa pun yang dibutuhkan oleh hamba di dunia atau di akhirat telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan diterangkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sunnahnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينًاۚ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agamamu.” (al-Maidah: 3)
Al-Izz bin Abdissalam menerangkan,
“Allah subhanahu wa ta’ala mengenalkan kepada mereka semua hal yang mengandung petunjuk dan kebaikan bagi mereka sehingga mereka melaksanakannya. Allah subhanahu wa ta’ala juga mengenalkan setiap hal yang mengandung kesesatan dan keburukan sehingga mereka menghindarinya. Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan pula kepada mereka bahwa setan adalah musuh mereka sehingga mereka memusuhi dan menentangnya. Jadi, Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan berbagai kemaslahatan dunia dan akhirat melalui ketaatan kepada-Nya dan menjauhi kemaksiatan terhadap Nya.” (Qawa’idul Ahkam, hal. 5)
Syariat Allah subhanahu wa ta’ala sangatlah luas. Ia mencakup seluruh jenis ibadah dan muamalah, ucapan, perbuatan, serta keyakinan. Oleh karena itu, syariat Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah dimaknai sempit sebatas pelaksanaan hukum had. Zikir dan membaca Al-Qur’an adalah bagian dari syariat Islam. Termasuk syariat Islam juga adalah pelaksanaan shalat sunnah, puasa sunnah, infak, dan sedekah. Bahkan, senyum dan berwajah manis ketika bertemu dengan sesama muslim pun termasuk syariat Islam. Berbagi hadiah sesama tetangga, mengucapkan salam dan mendoakan kaum muslimin adalah bagian dari syariat Islam.
Syariat Islam mencakup seluruh ajaran dan bimbingan yang telah diwariskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berupa wahyu Al-Qur’an dan hadits-hadits beliau. Hanya saja, pembicaraan kita saat ini terfokus pada hikmah pelaksanaan hukum had.
Al-Hudud (bentuk jamak/plural dari kata al-hadd) adalah hukuman yang ditentukan secara syariat karena satu perbuatan maksiat agar perbuatan maksiat itu tidak dilakukan.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata,
“Al-Hudud adalah hukum yang berlaku sebagai rahmat dan kebaikan bagi makhluk. Oleh sebab itu, sudah seharusnya tujuan penegakan hukuman terhadap orang lain karena kemaksiatan yang dilakukannya adalah untuk kebaikan dan sebagai bentuk kasih sayang. Hal ini sebagaimana seorang ayah yang ingin mendidik putranya atau seorang dokter yang hendak mengobati orang sakit.” (Minhajus Sunnah, dinukil dari al-Mulakhkhas)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Hikmah pelaksanaan syariat hudud adalah untuk menahan diri, sebagai hukuman, dan pembersih sekaligus. Al-Hudud adalah hukuman yang ditentukan untuk menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala, juga untuk kemaslahatan masyarakat. Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkannya terhadap para pelaku dosa yang sesuai dengan tabiat asal manusia. Dengan demikian, pelaksanaan hukum had termasuk maslahat terbesar bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Ketetapan seorang raja tidak akan sempurna tanpa adanya hukuman bagi para pelaku kejahatan. Dengan adanya hukuman, pelaku kejahatan akan menahan diri. Akan tenanglah orang yang baik. Keadilan pun akan terwujud di muka bumi sehingga umat manusia akan merasakan ketenteraman dalam jiwa, kehormatan, dan harta mereka. Hal ini telah disaksikan secara nyata dalam masyarakat yang menegakkan hukum had. Pada masyarakat yang menegakkan hukum had, benar-benar terwujud keamanan, ketenteraman, dan kehidupan yang harmonis. Tidak ada seorang pun yang mampu mengingkari hal ini.
Berbeda halnya dengan masyarakat yang meniadakan hukum had yang ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan, mereka menyakini bahwa hukum had itu buas sehingga tidak relevan lagi diterapkan di zaman ini. Masyarakat yang demikian akan jauh dari keadilan ilahiah. Mereka jauh dari keamanan dan ketenteraman meskipun memiliki persenjataan dan perlengkapan canggih. Semua hal itu tidak akan berfungsi sedikit pun sampai hukum-hukum Allah subhanahu wa ta’ala ditegakkan.” (al-Mulakhkhash, 2/442)
Syarat dan ketentuan pelaksanaan hukum had telah dijelaskan oleh syariat Islam. Para ulama pun telah memaparkan secara lengkap dan gamblang berdasarkan dalil-dalil naqli.
Untuk hadits ini, an-Nawawi membuat judul bab dengan nama “Pelaksanaan hukum had adalah kafarat (pengugur dosa) bagi pelakunya.”
Dalam syarah hadits, an-Nawawi menyebutkan beberapa faedah dari hadits di atas,
“Di antaranya, diharamkannya hal-hal yang tersebut di dalam hadits serta yang semakna dengannya.
Di antaranya adalah keterangan tentang mazhab ahlul haq bahwa kemaksiatan berbeda dengan kekufuran, sehingga pelaku kemaksiatan tidak dapat dipastikan masuk ke dalam neraka jika ia meninggal dalam keadaan belum bertobat. Dia berada di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala. Jika Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki, ia akan memperoleh pengampunan. Namun, jika Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan, Allah subhanahu wa ta’ala akan mengazabnya.
Hal ini berbeda dengan paham Khawarij dan Mu’tazilah. Khawarij menghukumi pelaku kemaksiatan sebagai orang kafir. Adapun Mu’tazilah tidak mengatakan dia kafir di dunia, hanya saja ia akan kekal di dalam neraka. Pembahasan tentang hal ini telah lewat dalam “Kitabul Iman”, lengkap dengan dalil-dalilnya.
Di antara faedah hadits ini juga, pelaku kemaksiatan yang terdapat hukum had padanya lalu dilaksanakan hukum had itu terhadapnya, dosanya gugur karenanya. Al-Qadhi Iyadh berkata, ‘Mayoritas ulama berpendapat bahwa pelaksanaan hukum had adalah kafarat (penggugur dosa) berdasarkan dalil hadits ini.’
Al-Qadhi Iyadh melanjutkan, ‘Sebagian ulama berpegang dengan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku tidak mengetahui bahwa pelaksanaan hukum had adalah kafarat’.’
Namun, hadits Ubadah yang sedang kita bahas lebih kuat kesahihannya sehingga tidak ada kontradiksi antara kedua hadits tersebut. Mungkin sekali bahwa hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebelum hadits Ubadah radhiallahu anhu. Jadi, semula beliau tidak mengetahui, kemudian beliau mengetahuinya.” (Syarah Shahih Muslim)
“Menurut ulama, di dalam hadits tersebut ada sebuah jawaban bagi kaum Khawarij yang menghukumi kafirnya seseorang karena kemaksiatan. Hadits ini sekaligus menjadi jawaban terhadap kaum Mu’tazilah yang mengharuskan adanya azab bagi pelaku kefasikan apabila ia meninggal sebelum bertobat. Sebab, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa pelaku dosa berada di bawah kehendak Allah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menyatakan bahwa ia harus diazab.”
Sama halnya dengan hadits di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang membedakan kesyirikan dengan dosa-dosa lainnya. Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa dosa kesyirikan tidak akan diampuni oleh-Nya, sedangkan selain dosa syirik berada di bawah kehendak-Nya. Jika Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki, dia akan diazab. Jika Allah subhanahu wa ta’ala hendak mengampuninya, Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni-Nya.
Ayat dan hadits tersebut harus dipahami untuk pelaku kesyirikan yang belum bertobat. Sebab, pelaku kesyirikan yang bertobat tentu akan memperoleh ampunan, lebih-lebih lagi dosa selain kesyirikan. Sementara itu, ayat telah membedakannya.
Dengan dasar hadits inilah, saya berhujah tentang sebuah pemikiran yang tumbuh pada zaman ini. Sebuah pemikiran yang menganggap kafirnya kaum muslimin disebabkan dosa besar yang mereka lakukan. Terkadang mereka berani memastikan bahwa dosa besar tidak berada di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak akan mungkin diampuni selain dengan tobat. Mereka hendak menyamakan antara dosa syirik dan dosa-dosa lainnya.
Hal ini jelas menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada saat saya menyampaikan hadits ini kepada mereka dalam beberapa kesempatan, bahkan pada banyak pertemuan, sebagian mereka rujuk (kembali) kepada kebenaran. Akhirnya, mereka pun menjadi pemuda-pemuda salafiyin terbaik. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah untuk sebagian lainnya.” (as-Silsilah ash-Shahihah, 6/1267)
Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati dalam pelaksanaan hukum had, yaitu terkait dengan keadilan dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala di dalamnya. Di antaranya:
Imam al-Bukhari membuat sebuah bab dengan judul “Pelaksanaan hukum had bagi orang yang memiliki kedudukan maupun orang rendahan”. Setelah itu, beliau menyebutkan sebuah hadits dari Aisyah,
أَنَّ أُسَامَةَ كَلَّمَ النَّبِيَّ فِي امْرَأَةٍ فَقَالَ: إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُقِيمُونَ الْحَدَّ عَلَى الْوَضِيعِ وَيَتْرُكُونَ الشَّرِيفَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ فَعَلَتْ ذَلِكَ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Usamah bin Zaid memohonkan syafaat (rekomendasi keringanan) untuk seorang wanita terpandang (dari Bani Makhzum). Menanggapi permohonan tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian adalah karena mereka menegakkan hukum had terhadap orang-orang rendahan, tetapi tidak melaksanakannya terhadap orang-orang yang terpandang. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Fathimah (putri kandung beliau shallallahu alaihi wa sallam) mencuri tentu aku akan memotong tangannya’.”
Bahkan, Islam mencela tindakan membedakan orang yang berkedudukan dengan yang tidak.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits dari al-Bara bin Azib, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menyaksikan seorang Yahudi yang lewat dalam keadaan dihitamkan wajahnya dan didera. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memanggil mereka dan bertanya, “Apakah seperti ini hukuman yang kalian dapatkan di dalam Taurat bagi pelaku zina?”
Mereka menjawab, “Benar.”
Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengundang salah satu ulama mereka dan bertanya, “Dengan nama Allah yang telah menurunkan Taurat untuk Musa, aku menyumpahimu, apakah memang demikian kalian mendapatkan hukuman bagi pelaku zina di dalam kitab suci kalian?”
Ia menjawab, “Bukan demikian. Kalau engkau tidak bersumpah demikian, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Sebenarnya, hukuman bagi pelaku zina yang kami dapatkan di dalam Taurat adalah rajam. Namun, perbuatan zina sering terjadi di kalangan orang-orang terpandang kami. Maka dari itu, jika kami mendapati pelakunya orang terpandang, kami tinggalkan hukuman tersebut. Jika yang melakukannya adalah orang lemah, kami akan menegakkan hukum tersebut.
Setelah itu kami sepakat, ‘Marilah kita bersepakat untuk menentukan sebuah hukuman yang dapat kita tegakkan untuk orang terpandang dan orang lemah di antara kita.’ Lalu kami pun menetapkan bahwa bentuk hukumannya adalah dengan menghitamkan wajahnya lalu menderanya sebagai pengganti rajam.”
Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya akulah yang pertama kali menghidupkan perintah-Mu setelah mereka mematikannya.”
Dengan ditegakkannya hukum had atas dirinya, seorang pelaku maksiat akan terbebas dari hukuman akhirat. Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“Hikmahnya adalah, pertama agar dia atau orang lain tidak melakukan perbuatan yang sama untuk kedua kalinya. Yang kedua, adalah bentuk penyucian dan kafarat. Sebab, jika seorang hamba melakukan satu bentuk dosa lalu ditegakkan hukum had terhadapnya, Allah akan menggugurkan dosa tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menggabungkan untuknya hukuman di dunia dan hukuman akhirat.” (asy-Syarhul Mumti’)
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa seorang wanita dari Juhainah datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan hamil karena zina. Wanita tersebut berkata, “Ya Rasulullah, aku telah melanggar had. Tegakkanlah hukum had atasku!”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu memanggil wali dari wanita tersebut dan berpesan, “Bersikaplah baik kepada wanita ini. Apabila ia telah melahirkan, bawalah ia menemuiku kembali.”
Pesan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu dilaksanakan oleh walinya. Setelah melahirkan, wanita itu dibawa kemudian pakaiannya diikat kencang lalu dirajam. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian menyalati jenazahnya. Umar berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Anda menyalatinya padahal ia telah berbuat zina?”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ، وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى؟
“Wanita ini telah sungguh-sungguh bertobat. Seandainya tobat wanita ini dibagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, tentulah akan mencukupi mereka. Apakah engkau dapat menemukan tobat yang lebih baik dibandingkan penyerahan dirinya hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala?”
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan, pelaksanaan hukum had adalah hak dan wewenang penguasa sehingga akan mendatangkan ketenangan dan ketenteraman hidup bermasyarakat. Apabila setiap individu atau sekelompok masyarakat merasa berhak menegakkannya, hanya kekacauan dan kerusuhan yang akan timbul. Akan terjadi perselisihan dan kehancuran. Oleh karena itu, hanya pemerintah yang berwenang menegakkan hukum had. Hal ini adalah sebuah keadilan dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dalam pelaksanaan hukum had.
Ibnu Qudamah dalam al-‘Umdah (2/163, bersama syarah) berkata, “Tidak diperkenankan menegakkannya selain imam (penguasa) atau yang mewakilinya.”
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberikan taufik dan hidayah untuk kaum muslimin sehingga mereka kembali kepada syariat Allah subhanahu wa ta’ala yang hakiki.
Amin, ya Arham ar-Rahimin.