Asysyariah
Asysyariah

berbuat baik kepada sesama

4 tahun yang lalu
baca 12 menit
Berbuat Baik kepada Sesama

Menyambung pembicaraan terdahulu tentang kunci-kunci rezeki, maka perlu kita ketahui ada amalan lain yang apabila dilakukan oleh seorang hamba akan memudahkan datangnya rezekinya. Amalan tersebut ialah berinfak fi sabilillah.

Siapa yang menginfakkan atau membelanjakan hartanya dalam kebaikan, Allah subhanahu wa ta’ala akan menggantinya di dunia. Kelak di akhirat disediakan pahala yang berlipat ganda. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ إِنَّ رَبِّي يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦ وَيَقۡدِرُ لَهُۥۚ وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٍ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ

“Katakanlah (wahai Nabi), ‘Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya.’ Dan apa saja yang kalian nafkahkan/infakkan maka Dia akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (Saba: 39)

Orang yang berinfak akan beroleh ganti di dunia. Di akhirat kelak mendapatkan ganjaran dan pahala, kata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya. (Tafsir Ibni Katsir, 6/331)

Baca juga:

Allah Musnahkan Riba dan Suburkan Sedekah

Syaikh Abdurrahman ibnu Nashir as-Sa’di rahimahullah mengatakan,

“Apa saja yang kalian nafkahkan/infakkan, berupa nafkah yang wajib ataupun mustahab/sunnah, untuk kerabat, tetangga, orang miskin, anak yatim, atau selainnya, Allah subhanahu wa ta’ala akan menggantinya. Karena itu, janganlah kalian menyangka bahwa berinfak itu mengurangi rezeki.

Allah subhanahu wa ta’ala—Dzat yang melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya—justru berjanji akan memberi ganti kepada orang yang berinfak. Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya, maka mintalah rezeki dari-Nya dan berupayalah menempuh sebab-sebab yang diperintahkan-Nya kepada kalian.” (Taisir al-Karimir Rahman)

Ayat lain yang bisa kita bawakan sebagai bukti bahwa orang yang berinfak akan murah rezekinya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

ٱلشَّيۡطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ وَيَأۡمُرُكُم بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغۡفِرَةً مِّنۡهُ وَفَضۡلًاۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kefakiran dan menyuruh kalian berbuat fahisyah (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dari-Nya untuk kalian dan karunia-Nya.” (al-Baqarah: 268)

Baca juga:

Bakhil terhadap Karunia Allah

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata tentang ayat di atas,

“Dua hal dari Allah dan dua hal dari setan. Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kefakiran. Dia berkata, ‘Jangan engkau infakkan hartamu dan tahanlah karena engkau membutuhkannya.’ Dia juga menyuruh kalian berbuat fahisyah (kikir).

Sementara itu, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan ampunan dari-Nya untuk kalian dari maksiat-maksiat yang dilakukan, dan berjanji memberikan karunia-Nya berupa keutamaan dalam hal rezeki.” (Tafsir ath-Thabari, 3/88, atsar no. 6167)

Dalam Tafsir al-Khazin[1] (1/204) dinyatakan bahwa ampunan merupakan isyarat yang menunjukkan pada kemanfaatan akhirat. Adapun karunia/keutamaan menunjukkan kemanfaatan dunia dan rezeki berikut ganti yang diperoleh.

Baca juga:

Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia

Al-Qadhi Ibnu Athiyyah[2] rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Maghfirah atau ampunan adalah ditutup/dihapusnya kesalahan para hamba-Nya di dunia dan di akhirat. Adapun al-fadhl atau karunia/keutamaan adalah rezeki di dunia, mendapatkan keluasan di dalamnya, dan mendapatkan nikmat di akhirat.” (al-Muharrarul Wajiz fi Tafsir al-Kitabil ‘Aziz, 1/364)

Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan beberapa faedah dari ayat di atas. Di antaranya:

  1. Setan dapat memberikan tipu daya guna menyesatkan manusia.

Hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya,

ٱلشَّيۡطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kefakiran.” (al-Baqarah: 268)

  1. Setan dapat memengaruhi manusia untuk berani berbuat sesuatu atau menghalangi untuk berbuat sesuatu.

Misalnya, setan menyuruhnya berzina dan menghias-hiasi perbuatan zina tersebut hingga akhirnya ia berani berzina. Di arah lain, setan menyuruhnya kikir dan menakut-nakutinya dengan kemiskinan apabila ia menginfakkan hartanya hingga ia pun enggan berinfak.

  1. Tidak ada yang membuka pintu-pintu kesialan kecuali para setan.

Setan ini membuka untukmu pintu kesialan. Dia berkata, “Apabila hari ini engkau berinfak, besok engkau akan jadi orang miskin. Karena itu, jangan berinfak.”

  1. Kikir termasuk perbuatan fahisyah (keji).

  2. Siapa yang menyuruh orang lain untuk menahan harta agar tidak diinfakkan di jalan kebaikan, berarti dia serupa dengan setan.

  3. Kabar gembira bagi orang yang berinfak bahwa dia akan beroleh ampunan dan tambahan harta.

Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana bentuk tambahan yang diperoleh orang yang berinfak, sementara kenyataannya saat dikeluarkan infak, harta akan berkurang? Seperti seseorang yang sebelumnya memiliki sepuluh dirham, lalu dia infakkan satu dirham. Tentu hartanya tinggal sembilan dirham. Dari sisi mana tambahannya?”

Jawabannya, tambahan pahala di akhirat kelak tentunya jelas. Sebab, satu kebaikan akan dibalas dengan 10—700 kali lipat, bahkan berlipat ganda.

Adapun tambahan di dunia, hal ini dilihat dari beberapa sisi:

a. Terkadang Allah subhanahu wa ta’ala membukakan satu pintu rezeki bagi seseorang yang sebelumnya tidak terpikirkan di benaknya sehingga bertambahlah hartanya.

b. Allah subhanahu wa ta’ala menjaga harta seseorang agar tidak rusak/hilang dan semisalnya.

Seandainya si pemilik tidak bersedekah, niscaya harta itu akan binasa. Dengan berinfak, dia akan melindungi hartanya dari kebinasaan.

c. Diperolehnya berkah dalam berinfak.

Dengan berinfak, walau sedikit, akan didapatkan buah yang sangat besar. Sementara itu, apabila berkah pada harta dicabut, niscaya harta akan dihambur-hamburkan dalam perkara yang tidak bermanfaat atau justru memudaratkan si pemiliknya. (Tafsir al-Qur’anil Karim, 3/347—349)

Abu Hurairah radhiallahu anhu menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنْفِقْ يَا ابْنَ آدَمَ أُنْفِقْ عَلَيْكَ

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Berinfaklah wahai anak Adam, niscaya Aku akan memberi infak kepadamu.” (HR. al-Bukhari no. 5352 dan Muslim no. 2305)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُوْلُ الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Tidak ada satu hari ketika para hamba berpagi hari melainkan ada dua malaikat yang turun. Salah satunya berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang berinfak.” Yang lain mengatakan, “Ya Allah, berilah kebangkrutan kepada orang yang kikir.” (HR. al-Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 2333)

Sementara itu, kita tahu bahwa doa malaikat mustajab di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, mereka tidaklah mendoakan seseorang kecuali dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَعۡلَمُ مَا بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ وَمَا خَلۡفَهُمۡ وَلَا يَشۡفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ٱرۡتَضَىٰ وَهُم مِّنۡ خَشۡيَتِهِۦ مُشۡفِقُونَ

“Dan mereka (para malaikat itu) tidaklah memberikan syafaat (untuk seorang pun) kecuali orang yang Allah ridhai dan mereka takut kepada-Nya.” (al-Anbiya: 28)

Baca juga:

Mengharap Syafaat pada Hari Kiamat

Imam al-­Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Bilal radhiallahu anhu,

أَنْفِقْ يَا بِلَالُ، وَلاَ تَخْشَ مِنْ ذِيْ العَرْشِ إِقْلاَلاً

“Berinfaklah wahai Bilal! Jangan engkau khawatir menjadi fakir dan tidak memiliki apa-apa dari Dzat Pemilik Arsy.” (Syu’abul Iman, dinilai sahih oleh al-Albani rahimahullah karena banyak jalan/jalurnya. Lihat al-Misykat hadits no. 1885)

Alangkah kuatnya jaminan yang diberikan untuk orang yang berinfak! Apakah mungkin Dzat yang memiliki Arsy, Allah subhanahu wa ta’ala, akan menghinakan orang yang berinfak di jalan-Nya sehingga akhirnya orang itu meninggal dalam keadaan fakir, tidak memiliki apa-apa? Tentu, jawabnya tidak.

Syaikh al-Mulla Ali al-Qari rahimahullah menjelaskan hadits di atas,

“Apakah engkau takut, Dzat yang mengatur perkara dari langit ke bumi akan menyia-nyiakan orang yang semisalmu? Maksudnya, apakah engkau takut Dzat yang rahmat-Nya meliputi seluruh penduduk langit dan bumi, yang mukmin dan yang kafir, burung-burung dan hewan melata, akan mengecewakan harapanmu dan menyedikitkan rezekimu?” (Mirqatul Mafatih, 4/389)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah berkisah,

بَيْنَا رَجُلٌ بِفَلاَةٍ مِنَ الْأَرْضِ، فَسَمِعَ صَوْتًا فِي سَحَابَةٍ: اسْقِ حَدِيْقَةَ فُلاَنٍ. فَتَنَحَّى ذَلِكَ السَّحَابُ، فَأَفْرَغَ مَاءَهُ فِي حَرَّةٍ، فَإِذَا شَرْجَةٌ مِنْ تِلْكَ الشِّرَاجِ قَدِ اسْتَوْعَبَتْ ذَلِكَ الْمَاءَ كُلَّهُ. فَتَتَبَّعَ الْمَاءَ، فَإِذَا رَجُلٌ قَائِمٌ فِي حَدِيْقَتِهِ يُحَوِّلُ الْمَاءَ بِمِسْحَاتِهِ.

فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، مَا اسْمُكَ؟ قَالَ: فُلاَنٌ؛ لِلْاِسْمِ الَّذِي سَمِعَ فِي السَّحَابَةِ. فَقَالَ لَهُ: يَا عَبْدَ اللهِ، لِمَ تَسْأَلُنِي عَنِ اسْمِي؟ فَقَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ صَوْتًا فِي السَّحاَبِ الَّذي هَذا مَاؤُهُ، يَقُوْلُ: اسْقِ حَدِيْقَةَ فُلاَنٍ؛ لِاسْمِكَ، فَمَا تَصْنَعُ فِيْهَا؟

قَالَ: أَمَّا إِذَا قُلْتَ هَذَا، فَإِنِّي أَنْظُرُ إِلَى ماَ يَخْرُجُ مِنْهَا، فَأَتَصَدَّقَ بِثُلُثِهِ، وَآكُلُ أَنَا وَعِيَالِي ثُلُثًا، وَأَرُدُّ فِيْهَا ثُلُثَهُ -وَفِي رِوَايَةٍ: وَأَجْعَلُ ثُلُثَهُ فِي الْمَسَاكِيْنِ وَالسَّائِلِْينَ وَابْنِ السَّبِيْلِ

Baca juga:

Buah Kedermawanan

Tatkala seorang lelaki berada di padang yang luas, ia mendengar sebuah suara di awan, “Airilah kebun si Fulan.”

Awan tersebut mengarah ke suatu tempat, lalu mencurahkan airnya di tanah yang berbatu hitam. Ternyata satu selokan dari beberapa selokan yang ada telah menampung air hujan itu seluruhnya. Lelaki tersebut mengikuti aliran air. Akhirnya, ia bertemu dengan seorang lelaki yang berdiri di kebunnya, sedang memindahkan air dengan cangkulnya.

Ia pun bertanya, “Wahai hamba Allah! Siapakah namamu?”

“Fulan,” jawabnya, dengan menyebut nama yang didengarnya di awan.

“Wahai hamba Allah! Mengapa engkau menanyakan namaku?” si pemilik kebun balik bertanya.

“Aku mendengar sebuah suara di awan yang mencurahkan airnya ke kebunmu ini, ‘Airilah kebun si Fulan.’ dengan menyebut namamu. Aku ingin tahu, apa yang engkau lakukan pada kebunmu ini sehingga engkau mendapat pengkhususan demikian,” katanya meminta penjelasan.

Si pemilik kebun menjelaskan, “Adapun apabila memang seperti yang engkau katakan, aku biasa melihat hasil panen kebunku ini untuk aku sedekahkan sepertiganya. Sepertiga lagi aku makan bersama keluargaku. Sepertiga yang tersisa aku kembalikan ke kebunku (untuk keperluan menanam kembali).”

Dalam satu riwayat, “Aku berikan sepertiganya untuk orang-orang miskin, peminta-minta, dan ibnusabil.” (HR. Muslim no. 7398)

Baca juga:

Jangan Meremehkan Satu Kebaikan Pun

An-Nawawi rahimahullah berkata,

“Hadits ini menunjukkan keutamaan sedekah dan berbuat baik kepada orang miskin dan ibnusabil. Sebagaimana hadits ini menunjukkan keutamaan seseorang yang makan dari hasil usaha/ keringatnya sendiri dan keutamaan memberi infak kepada keluarga.” (al-Minhaj, 18/315)

Infak untuk Penuntut Ilmu Syariat

Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata,

كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ أَحَدُهُمَا يَأْتِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ—وَفِي رِوَايَةٍ: يَحْضُرُ حَدِيْثَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَجْلِسَهُ—وَالْآخَرُ يَحْتَرِفُ. فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ إِلَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ هَذَا أَخِيْ لاَ يُعِيْنُنِيْ بِشَيْءٍ. فَقَالَ: لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ

Ada dua orang bersaudara pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Yang satu biasa mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam (dalam satu riwayat: ia menghadiri hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan majelis beliau) sedangkan yang satunya lagi sibuk bekerja.

Suatu ketika yang bekerja mengadukan saudaranya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, saudaraku ini tidak membantuku sedikitpun untuk mencari penghidupan.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam malah mengatakan, “Mungkin kamu diberi rezeki karena dia.” (HR. at-Tirmidzi no. 2345, dinilai sahih dalam al-Misykat no. 5308 dan ash-Shahihah no. 2769)

Baca juga:

Bantuan Kepedulian dengan Keikhlasan

Al-Mubarakfuri menjelaskan hadits ini bahwa makna sabda beliau “Mungkin kamu diberi rezeki karena dia,” maksudnya aku berharap dan aku khawatir kamu diberi rezeki justru dengan sebab berkah saudaramu, karena dia diberi rezeki dari hasil pekerjaanmu. Oleh sebab itu, kamu jangan merasa telah memberi anugerah kepadanya dengan perbuatanmu.” (Tuhfatul Ahwadzi, “Kitabuz Zuhd”, “Bab at-Tawakkul ‘alallah”)

Hadits di atas menunjukkan bahwa memberi infak kepada penuntut ilmu syariat yang mempelajari agama Allah subhanahu wa ta’ala, belajar Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, juga termasuk kunci rezeki.

Berbuat Baik kepada Orang-Orang Lemah

Mush’ab ibnu Sa’d ibnu Abi Waqqash menceritakan bahwa ayahnya, Sa’d radhiallahu anhu merasa punya kelebihan/keutamaan dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengingatkan,

هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ

“Tidakkah kalian ditolong terhadap musuh-musuh kalian, dan tidakkah kalian diberi rezeki melainkan karena orang-orang lemah kalian?” (HR. al-Bukhari no. 2896)

Al-Muhallab berkata sebagaimana dinukil dalam Fathul Bari (6/109),

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam menginginkan dengan ucapan tersebut untuk mendorong Sa’d agar tawadhu, tidak menyombongkan diri di hadapan orang lain dan tidak meremehkan seorang muslim dalam seluruh keadaan.”

Baca juga:

Menjaga Hak Orang-orang yang Lemah

Dengan demikian, siapa yang ingin mendapatkan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala dan beroleh rezeki dari-Nya, hendaklah ia berbuat baik kepada orang-orang lemah dari kalangan orang fakir, miskin, anak yatim, janda, dan semisalnya.

Mengapa pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala diberikan lewat mereka?

Al-Mundziri menerangkan bahwa ibadah orang-orang lemah dan doa mereka lebih ikhlas. Sebab, hati mereka bersih dari ketergantungan pada perhiasan dunia. Selain itu, keinginan mereka hanya satu sehingga doa mereka dikabulkan dan amalan mereka bersih. (‘Aunul Ma’bud, “Kitabul Jihad”, “Bab fil Intishar bi Radzlil Khail wadh Dha’fah”)

Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pernah menyatakan bahwa ridha beliau didapatkan dengan berbuat ihsan/kebaikan kepada orang-orang lemah. Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan al-Hakim meriwayatkan dari Abud Darda radhiallahu anhu, ia berkata,

“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَبْغُوْنِي الضُّعَفَاءَ،  فَإِنَّمَا  تُرْزَقُوْنَ  وَتُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ

“Carilah keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang-orang lemah kalian. Sebab, kalian diberi rezeki dan ditolong disebabkan orang-orang lemah kalian.” (Dinilai sahih oleh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 779)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


[1] Nama lainnya Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, karya ‘Alauddin ibnu Ali ibni Muhammmad ibni Ibrahim al-Baghdadi, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau. Beliau masyhur dengan sebutan al-Khazin, wafat pada 725 H.

[2] Beliau adalah al-Qadhi Abu Muhammad Abdul Haq ibnu Ghalib ibnu Athiyyah al-Andalusi rahimahullah, wafat pada 546 H.

Ditulis oleh Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah