Asysyariah
Asysyariah

berbuat adil terhadap anak

13 tahun yang lalu
baca 9 menit
Berbuat Adil Terhadap Anak

Memiliki anak lebih dari satu merupakan salah satu nikmat yang Allah berikan kepada kita. Rumah serasa makin lengkap dengan derai tawa dan canda mereka. Namun, banyak hal yang terluput dari kita dalam menyikapi karunia ini. Sudahkah kita memberikan hak-hak mereka? Sudahkah kita bersikap adil kepada semua anak kita?

 

        Tak ada yang meragukan bahwa anak adalah tumpuan cinta dan kasih sayang ayah dan ibunya. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan anak-anak sebagai salah satu bagian dunia yang membuat hati kedua orang tua tertambat padanya.

          زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ

        “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita, anak-anak ….” (Ali ‘Imran: 14)

        Tak diragukan pula kecintaan itu dari seorang yang paling mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang yang melihat dapat membaca pancaran kasih sayang beliau pada putrinya, Fathimah radhiallahu ‘anha.

        Dikisahkan oleh istri beliau, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,

        مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ .قَالَتْ :كَانَ النَّبِيُّ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَتْ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ رَحَّبَتْ بِهِ ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ.

        “Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bicara dan duduk daripada Fathimah”. ‘

        Aisyah pun berkata, “Biasanya melihat Fathimah datang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya. Lalu beliau menggamit tangannya dan membimbingnya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau.

        Begitu pun bila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuinya, Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggamit tangan beliau, lalu mencium beliau.” (Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 725)

        Begitu pula rasa cinta dan kasih sayang beliau terhadap Ibrahim, putra beliau dari Mariyah al-Qibthiyah radhiallahu ‘anha. Tatkala Ibrahim meninggal karena sakit, beliau merasa sedih hingga mengalir air mata beliau. Beliau mengatakan,

        إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُوْلُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيْمُ لَحَمْزُوْنُوْنَ

        “Air mata bercucuran, hati pun terasa sedih, namun kami tidak mengatakan selain yang diridhai Rabb kami. Wahai Ibrahim, kami merasa sedih dengan perpisahan denganmu.” (HR. al-Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)

        Inilah air mata berlinang yang muncul dari rasa kasih sayang yang Allah subhanahu wa ta’ala letakkan dalam hati hamba-Nya yang mulia.

        Rasa cinta terhadap anak memang begitu melekat dalam hati. Ini diakui pula oleh seorang yang paling mulia setelah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Dikisahkan oleh putri beliau ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,

        قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَوْمًا :وَاللهِ، مَا عَلَى وَجْهِ اْلأَرْضِ رَجُلٌ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ عُمَرَ .فَلَمَّا خَرَجَ رَجَعَ فَقَالَ :كَيْفَ حَلَفْتُ أَيْ بُنَيَّة؟ فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ :أَعَزُّ عَلَيَّ، وَاْلوَلَدُ أَلْوَطُ.

        Suatu hari, Abu Bakr mengatakan, “Tidak ada seorang pun di atas bumi ini yang lebih kucintai daripada ‘Umar.”

        Ketika kembali, Abu Bakr bertanya, “Bagaimana sumpahku tadi, wahai putriku?” Aku pun mengatakan kembali apa yang dikatakannya.

        Abu Bakr berkata, “Dia begitu bernilai bagiku. Namun, anak lebih melekat di dalam kalbu.” (Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 61 menyatakan: hasanul isnad)

        Terkadang rasa cinta terhadap anak-anak berlainan kadarnya. Ada kalanya seorang anak lebih dicintai daripada anak yang lainnya. Bahkan, Nabiyullah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim r memiliki perasaan cinta yang lebih kepada putranya, Yusuf q dan saudaranya, Bunyamin.

        Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan hal ini dalam Kitab-Nya yang mulia,

        لَّقَدۡ كَانَ فِي يُوسُفَ وَإِخۡوَتِهِۦٓ ءَايَٰتٞ لِّلسَّآئِلِينَ ٧ إِذۡ قَالُواْ لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَىٰٓ أَبِينَا مِنَّا وَنَحۡنُ عُصۡبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ٨

        “Sungguh, telah ada tanda-tanda kekuasaan Allah pada kisah Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.

        Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf) berkata, Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, sementara kita adalah golongan yang kuat. Sesungguhnya ayah kita dalam kekeliruan yang nyata.” (Yusuf: 78)

        Hal ini tidaklah terlarang. Seorang anak yang saleh pantas untuk dicintai dan dimuliakan. Seorang anak yang taat, senantiasa menegakkan shalat, menunaikan puasa, berbakti kepada ayah ibunya tentu lebih baik dan lebih utama daripada seorang anak yang dungu, sembrono, suka bermaksiat serta durhaka.

        Akan tetapi, hendaknya orang tua tidak berlebihan menampakkan rasa cinta dan segala perwujudannya, kecuali untuk tujuan tertentu, misalnya mengatakan pada anak-anaknya, “Fulan lebih baik daripada kalian karena selalu menegakkan shalat dan menunaikan puasa.”

        Dengan ucapan dan pujian terhadap saudara mereka, orang tua bermaksud menganjurkan anak-anak yang lain untuk shalat dan puasa.

        Demikian pula orang tua yang menyemangati anak-anaknya dengan ucapan, “Saudaramu itu lebih baik dalam hal ini,” atau “Saudaramu itu seorang yang mulia, karena tidak pernah menukil-nukil ucapan orang, tidak pernah membuka kejelekan kaum muslimin, dan tidak banyak bicara.”

        Dengan pujian ini, orang tua ingin menekankan anak-anaknya untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh saudara mereka.

        Di samping itu, tidak sepantasnya rasa cinta yang berlebih ini menggiring pada kezaliman, perbuatan dosa, mengurangi hak, atau merendahkan anak-anak yang lain. (Fiqh Tarbiyatil Abna, hlm. 108—109)

        Biarpun besarnya rasa cinta berbeda, semestinya orang tua menghindari hal-hal yang dapat memicu permusuhan di antara anak-anak mereka, atau bahkan menimbulkan kedurhakaan mereka terhadap orang tua.

        Meski seorang anak yang saleh dan berbakti memiliki tempat tersendiri dalam hati orang tua, tetaplah hendaknya orang tua tidak mengistimewakannya dalam hal perlakuan dan pemberian.

        Hal ini akan dapat menimbulkan ‘ujub dalam hati si anak yang taat terhadap amalannya. Di sisi lain, akan meletupkan kedengkian dalam hati saudara-saudaranya yang lain. Akibat yang lebih jauh, anak-anak yang lain justru menjadi semakin durhaka kepada orang tuanya. Wal ‘iyadzu billah!

        Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan dalam hal ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah orang tua untuk berbuat adil terhadap anak-anaknya. Di antaranya berkenaan dengan masalah pemberian.

        Ada sebuah kisah yang dituturkan oleh an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma,

        تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ، فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ :لاَ أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللهِ .فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ :أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟ قَالَ :لاَ .قَالَ :اِتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلاَدِكُمْ .فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ.

        Ayahku pernah memberikan sebagian hartaya padaku. Berkatalah ibuku, ‘Amrah bintu Rawahah, “Aku tidak ridha hingga engkau meminta persaksian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas pemberianmu itu.”

        Pergilah ayahku menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta persaksian beliau atas pemberiannya padaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Apakah engkau lakukan hal ini pada semua anakmu?”

        Dia menjawab, “Tidak!”

        Beliau berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anak kalian!”

        Ayahku pun kembali dan mengambil kembali pemberiannya itu. (HR. al- Bukhari no. 2587 dan Muslim no.1623)

        Kisah ini memberikan faedah agar orang tua menyamakan pemberian di antara anak-anak mereka. Setiap anak menerima pemberian yang sama dengan yang lain, tidak dilebihkan pemberian yang satu atas yang lain, dan menyamakan pemberian antara anak laki-laki dan anak perempuan. (Syarh Shahih Muslim 11/66)

        Sebaliknya, kecintaan pun semestinya tak membutakan mata kedua orang tua dari kesalahan anaknya. Apabila anak yang begitu dicintai melakukan sebuah kesalahan, hendaknya orang tua tidak menutup mata dan telinga, hingga terluputlah pendidikan kebaikan bagi anak-anak mereka.

        Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan putrinya, Fathimah radhiallahu ‘anha. Begitu besar kecintaan kepada putrinya, hingga beliau berkata,

        إِنَّمَا فَاطِمَةُ بِضْعَةٌ مِنِّي، يُؤْذِيْنِيْ مَا آذَاهَا

        “Sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku, menyakitkanku apa yang menyakitkan dirinya.” (HR. Muslim no. 2449)

        Betapa pun besarnya cinta dan kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada putrinya, beliau tetap menyatakan keadilan. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyampaikan,

        وَأَيْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

        “Demi Allah, seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya.” (HR. al-Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)

        Inilah teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melukiskan keharusan mengiringi kasih sayang kepada anak-anak dengan perbuatan adil di antara mereka, meski rasa cinta dan kasih sayang itu begitu mendalam di sanubari.

        Sungguh, selayaknya setiap orang tua mengingat kembali peringatan Allah subhanahu wa ta’ala,

          إِنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٥

        “Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah cobaan bagimu, dan di sisi Allah ada pahala yang besar.” (at-Taghabun: 15)

        Demikianlah, harta dan anak-anak adalah cobaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap makhluk-makhluk-Nya, agar Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya dan siapa yang durhaka. Dan di sisi-Nya tersimpan pahala yang besar pada hari kiamat. (Tafsir Ibnu Katsir 8/111)

        Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

 

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran