Telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya bahwa di antara sebab wabah penyakit dan bencana adalah dosa dan maksiat. Demikian pula sudah diterangkan bahwa wabah penyakit dan bencana tidaklah diangkat, kecuali dengan tobat dan istigfar. Silakan dibaca kembali artikel sebelumnya melalui tautan berikut:
Bagian 1: Hanya kepada Allah Kita Berserah Diri
Bagian 2: Di Antara Sebab Wabah dan Musibah Adalah Dosa dan Maksiat
Sungguh sangat disayangkan, masih ada pihak yang mengingkari korelasi antara dosa dan bencana. Bahkan, mereka mempropagandakan bahwa bencana adalah murni peristiwa alam dan tidak ada sangkut pautnya dengan dosa. Gempa, misalnya. Mereka menganggap bahwa gempa hanyalah peristiwa bergesernya lempengan bumi, seraya mengatakan, “Jangan kaitkan gempa dengan dosa.” Subhanallah.
Mari kita perhatikan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat yang pertama kali dibawakan pada awal pembahasan sebelumnya. Cermati kembali tafsirnya. Dengan jelas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari dosa-dosamu).” (asy-Syura: 30)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menafsirkan ayat di atas, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa musibah apa pun yang menerpa seorang hamba, baik menimpa badan, harta, anak-anaknya, atau menimpa segala yang dia cintai dan berharga; semua itu disebabkan kemaksiatan yang telah dia lakukan. Bahkan, dosa-dosa yang Allah subhanahu wa ta’ala ampuni lebih banyak (daripada yang dibalas/dihukum). Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menzalimi hamba-hamba-Nya, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan hlm. 759)
Setelah membaca ayat dan tafsir di atas, pantaskah seseorang menyatakan, “Jangan kaitkan musibah dengan dosa”?
Mari kita baca kembali sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada pembahasan sebelumnya. Dengan jelas, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan bahwa merebaknya wabah penyakit adalah akibat dari fahisyah yang menyebar dan dilakukan secara terang-terangan.
لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا
“Tidaklah fahisyah (perbuatan keji) tersebar pada suatu kaum kemudian mereka melakukannya dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka wabah penyakit tha’un dan berbagai penyakit yang belum pernah terjadi pada kaum sebelum mereka.” (HR. Ibnu Majah no. 4019. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah no. 3262)
Setelah memahami kembali hadits di atas, patutkah seseorang menyatakan, “Jangan kaitkan wabah penyakit dengan dosa”?
Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma bertutur,
وَاللهِ مَا أَرَاكُمْ مُنْتَهِينَ حَتَّى يُعَذِّبَكُمُ اللهُ، أُحَدِّثُكُمْ عَنْ رَسُولِ اللهِ، وَتُحَدِّثُونَا عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
Demi Allah! Aku tidak melihat kalian akan berhenti, hingga Allah subhanahu wa ta’ala mengazab kalian. Yang demikian disebabkan ketika aku mengatakan “Rasulullah bersabda demikian”, kalian justru mengatakan kepada kami, “Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” (Lihat Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlih no. 2377)
Adalah tidak pantas bagi seorang mukmin, apabila sampai kepadanya ayat Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Rasul-Nya, kemudian dia malah memiliki pendapat sendiri yang bertentangan dengan ayat dan hadits. Apakah demikian sikap seorang mukmin?
Allah subhanahu wa ta’ala befirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian mereka memiliki pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Di dalam ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga menjelaskan bahwa bencana adalah akibat dari dosa. Oleh karena itu, bertobat dan kembali kepada Allah, serta tunduk dan merendahkan diri kepada-Nya, adalah solusi supaya Allah subhanahu wa ta’ala berkenan mengangkat bencana tersebut.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَوۡلَآ إِذۡ جَآءَهُم بَأۡسُنَا تَضَرَّعُواْ وَلَٰكِن قَسَتۡ قُلُوبُهُمۡ وَزَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Ketika datang bencana yang Kami timpakan kepada mereka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk dan merendahkan diri? Hati mereka justru telah menjadi keras, dan setan pun menghias-hiasi kepada mereka seolah apa yang mereka kerjakan adalah baik.” (al-An’am: 43)
Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan bahwa apabila Dia menimpakan suatu hukuman, kemudian mereka mau tunduk merendahkan diri dan beriman kepada-Nya, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan mengangkat bencana tersebut. (Lihat Tafsir al-Baghawi atau yang dikenal dengan Ma’alim at-Tanzil 3/143)
Setelah kita memahami bahwa di antara sebab terjadinya bencana, wabah, dan musibah, adalah dosa dan kemaksiatan; maka ketahuilah bahwa dosa terbesar adalah kesyirikan. Oleh karena itu, apabila praktik-praktik kesyirikan meluas, akan timbul kerusakan di muka bumi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١ قُلۡ سِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱنظُرُواْ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلُۚ كَانَ أَكۡثَرُهُم مُّشۡرِكِينَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah, “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)/syirik.” (ar-Rum: 41—42)
Di antara makna ‘kerusakan’ pada ayat di atas adalah kacaunya mata pencaharian dan anjloknya ekonomi serta menyebarnya wabah penyakit. Yang demikian supaya manusia bertobat dari kemaksiatan dan kembali kepada Allah.
Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para hamba-Nya untuk melakukan perjalanan di muka bumi dalam rangka mengambil ibrah dan merenung supaya dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala timpakan kepada kaum-kaum terdahulu yang mendustakan rasul-Nya (kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, dan Tsamud). Sungguh, betapa mengerikan kesudahan mereka. Apa penyebabnya? Kebanyakan dari mereka melakukan kesyirikan. (Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan hlm. 643 dan kitab tafsir yang lain)
Baca juga:
Penyimpangan Akidah di Sekitar Kita
Oleh karena itu, hendaknya orang-orang yang masih bergelimang dengan kesyirikan segera menghentikan perbuatannya dan segera bertobat kepada Allah.
Bagaimana caranya kita mengetahui bahwa suatu perbuatan adalah kesyirikan?
Baca juga:
Jawabnya adalah dengan bersungguh-sungguh belajar dan menuntut ilmu agama, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, dengan pemahaman para sahabat.
Baca juga:
Persatuan Hakiki adalah Kesepakatan Mengikuti Jejak Para Sahabat Nabi
Janganlah engkau meremehkan perbuatan maksiat meskipun kecil, walaupun hanya satu. Lihatlah kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala, al-Khaliq. Dialah satu-satu-Nya pencipta dirimu dan seluruh alam semesta. Renungilah keagungan Allah subhanahu wa ta’ala, ar-Razzaq, satu-satu-Nya yang senantiasa memberimu nikmat dan rezeki yang tidak akan mampu dihitung. Pikirkanlah kemuliaan al-Muhyi dan al-Mumit, satu-satu-Nya yang mampu menghidupkan dan mematikan.
Baca juga:
Mengejar Dunia dengan Amalan Akhirat Adalah Kesyirikan
Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata,
لاَ تَنْظُرْ إِلَى صِغَرِ الْخَطِيئَةِ، وَلَكِنِ انْظُرْ مَنْ عَصَيْتَ
“Jangan melihat kecilnya dosa, tetapi lihatlah kepada siapa engkau bermaksiat!” (Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd, hlm. 24 no. 71)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu memberikan nasihat,
إنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ علَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا
“Seorang mukmin melihat dosa-dosanya laksana dia duduk di bawah gunung dan selalu khawatir kalau gunung itu akan menimpanya. Adapun orang durhaka melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya lalu dia halau dengan tangannya (seraya mengibaskan tangannya di atas hidungnya).” (Shahih al-Bukhari no. 6025)
Baca juga:
Membendung Gelombang Kesyirikan & Penyimpangan Akidah
Ibnul Mu’taz berkata,
خَلِّ الذُّنُــوبَ صَــغِيــرَهَا * وَكَبِيــــــرَهَا ذَاكَ التُّقَى
Tinggalkanlah seluruh dosa, yang kecil dan yang besar, itulah takwa!
وَاصْنَعْ كَمَاشٍ فَوْقَ أَرْ * ضِ الشَّـوْكِ يَحْــذَرُ مَــــا يــَـرَى
Berbuatlah seperti orang yang berjalan di atas tanah yang penuh dengan duri sehingga dia benar-benar berhati-hati dengan penuh perhatian
لاَ تَحْقِرِنَّ صَغِيـــــــــرَةً * إِنَّ الْجِبـَــالَ مِنَ الْحَصَــى
Janganlah sekali-kali kamu meremehkan sebuah dosa kecil. Sungguh, gunung-gunung itu, tersusun dari bebatuan kecil.
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/402)
Sungguh, makisat dan dosa sangatlah berpengaruh dan berefek negatif bagi kehidupan setiap individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan,
ﺇِﻧِّﻲ لَأَﻋْﺼِﻲ اﻟﻠﻪَ ﻓَﺄَﻋْﺮِفُ ذَﻟِﻚَ ﻓِﻲ ﺧُﻠُﻖِ ﺣِﻤَﺎرِي وَﺧَﺎﺩِﻣِﻲ ﻭَاﻣْﺮَﺃَﺗِﻲ ﻭَﻓَﺄْﺭِ ﺑَﻴْﺘِﻲ
“Sungguh, ketika aku bermaksiat kepada Allah, aku bisa mengetahui dampak buruknya pada perilaku hewan tungganganku (kendaraanku), pembantuku, istriku, bahkan tikus di rumahku.” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 10/215)
Janganlah seseorang teperdaya dengan banyaknya nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang ada padanya, padahal dia dalam keadaan terus-menerus bermaksiat kepada Allah, Zat Yang memberi nikmat. Sungguh, kita khawatir bahwa keadaan tersebut adalah istidraj. Apa itu istidraj?
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ.
ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِۦ فَتَحۡنَا عَلَيۡهِمۡ أَبۡوَٰبَ كُلِّ شَيۡءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُواْ بِمَآ أُوتُوٓاْ أَخَذۡنَٰهُم بَغۡتَةً فَإِذَا هُم مُّبۡلِسُونَ
“Jika engkau melihat Allah terus memberi hamba sebagian nikmat dunia yang dia senangi, sementara dia tetap tenggelam dalam kemaksiatan kepada-Nya, ketahuilah sesungguhnya itu merupakan istidraj (nikmat yang menyebabkan hamba semakin jauh dari Allah).”
Kemudian, Rasulullah membaca ayat (yang artinya), “Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; hingga apabila mereka telah larut dalam kegembiraan dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun mengazab mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (al-An’am: 44) (HR. Ahmad no. 17311. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 413)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa memberi kita hidayah untuk bisa selalu mensyukuri dan menjaga nikmat. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni semua dosa-dosa kita.