Asysyariah
Asysyariah

benarkah naik mobil adalah bid’ah?

4 tahun yang lalu
baca 9 menit
Benarkah Naik Mobil Adalah Bid’ah?

 “Ga usah bicara bid’ah deh… kamu aja ke mana-mana masih naik mobil. Harusnya jalan kaki atau naik onta aja sana. Katanya harus persis seperti di zaman Nabi…”

Pernyataan seperti di atas atau yang semakna, sering kali kita dengar atau kita baca, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Benarkah pernyataan tersebut?

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah

Agama Islam adalah agama yang sempurna, indah, dan ilmiah. Perkara di dalamnya sangat jelas dan tidak saling bertentangan. Apabila kita belum memahami suatu perkara dalam agama atau menganggap ada hal-hal yang kontradiktif dalam agama ini, curigailah diri kita sendiri terlebih dahulu. Bersungguh-sungguhlah memohon pertolongan Allah, supaya diberi pemahaman yang benar. Kedepankan cara berpikir ilmiah dan buang jauh-jauh sikap fanatik kepada tokoh atau kelompok tertentu.

Ketika Anda mempelajari permasalahan agama, kemudian mulai sering bertanya-tanya, “Dalilnya apa, ya? Dasarnya apa, ya? Penjelasan ilmiahnya bagaimana, ya?”

Ketahuilah, semoga hal tersebut merupakan pertanda kebaikan, jika Anda ikhlas dan jujur. Bersungguh-sungguhlah dalam mencari al-Haq (kebenaran). Jujurlah kepada Allah, bahwa kita benar-benar mencari al-Haq (kebenaran). Jika Allah sudah membukakan hidayah, pegang erat-erat hidayah tersebut. Jagalah hidayah tersebut dengan senantiasa bertakwa kepada Allah.

Ya Allah, berilah kami ilmu yang bermanfaat dan lindungi kami dari ilmu yang tidak bermanfaat.

Pascapeledakan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar pada 15 Sya’ban 1442 H/28 Maret 2021, muncul suatu pernyataan kontroversial yang sangat disayangkan, di antaranya,

“… benih pintu masuk terorisme adalah wahabi dan salafi. Wahabi dan salafi itu ajarannya ekstrem, tekstual, harfiyah, lafzhiah, purity, purity, puritysasi, dalam rangka memurnikan Islam. Maunya gitu, maunya, ngakunya. Dalam rangka memurnikan Islam seperti di zaman Rasulullah. Semuanya dianggap bid’ah, dianggap sesat, kalau tidak seperti persis seperti zaman Rasulullah, walaupun mereka naik mobil sih, bukan naik onta. Tapi apa pun yang kita lakukan kalau nggak seperti Rasulullah katanya bid’ah, kalau bid’ah berarti sesat, kalau sesat berarti neraka. Kullu bid’atin dhalalah, wa kullu dhalalatin finnar. Setiap barang yang baru yang tidak ada di zaman Rasulullah, bid’ah. Wa kullu bid’atin dhalalah. Setiap bid’ah sesat. Wa kullu dhalalatin finnar. Setiap sesat neraka. Nah ini, ajaran seperti ini, pintu masuk untuk menjadi terorisme, menghalalkan darah orang, orang sesama orang muslim…”

Terkait tuduhan bahwa salafi atau wahabi adalah pintu masuk terorisme, mohon pembaca berkenan mencermati pembahasan berikut:

Benarkah Salafi Adalah Pintu Masuk Terorisme?
Benarkah Wahabi Adalah Pintu Masuk Terorisme?

Adapun pembahasan kali ini, kita akan sedikit menjelaskan tentang permasalahan bid’ah.

Dalam pernyataan di atas, terpahami bahwa dasar si pengucap memvonis bahwa salafi atau wahabi itu benih pintu masuk terorisme adalah karena wahabi dan salafi itu ajarannya ekstrem. Sebab, mereka ingin memurnikan Islam seperti zaman Rasulullah. Kemudian, disebutkan contohnya bahwa salafi atau wahabi itu menganggap semua yang tidak persis seperti di zamannya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka dianggap bid’ah dan sesat. Lalu terpahami dalam penjelasan si pengucap setelahnya, bahwa salafi atau wahabi itu pernyataannya kontradiksi. Sebab, mereka mereka naik mobil. Padahal kalau mau meniru Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harusnya naik unta.

Demikian “syubhat[1] yang terpahami dari pernyataan si pengucap. Mohon pembaca memahami sisi pandang pernyataan si pengucap tersebut, sebelum kita beralih kepada pembahasan berikutya.

Dalil Untuk Membantah “Syubhat” Tersebut

Bagi seseorang yang mau sedikit saja belajar agama Islam, tentu jawaban atas “syubhat” tersebut sangatlah mudah. Bahkan, rata-rata anak-anak kecil para salafi pun sudah hafal dalil untuk membantahnya. Memang, persoalannya adalah,

“Sudahkah kita memprioritaskan waktu kita untuk belajar agama?”

“Sudah ikhlas dan jujurkah kita dalam mencari al-Haq (kebenaran)?”

Dalam al-Arba’in an-Nawawiyah, karya salah seorang ulama besar bermazhab Syafi’i, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullah; pada hadits nomor 5 disebutkan, dari Ummul Mukminin, Ummu Abdullah Aisyah radhiallahu anha, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengada-adakan dalam urusan kami ini suatu (hal baru) yang bukan bagian darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya, ia tertolak.”

Perhatikan pada bagian yang dicetak tebal.

Baca juga: Perkara Baru dalam Sorotan Syariat

Dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah hlm. 97, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

“فِيْ أَمْرِنَا” أَيْ فِيْ دِيْنِنَا وَشَرِيْعَتِنَا

Makna “dalam urusan kami ini”  (فِيْ أَمْرِنَا)adalah “dalam perkara agama dan syariat kami.”

“مَا لَيْسَ مِنْهُ” أي مَا لَمْ يَشْرَعْهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ

Makna “suatu (hal baru) yang bukan bagian darinya” (مَا لَيْسَ مِنْهُ) adalah perkara (agama) yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Dari penjelasan ringkas di atas, kita dapat memahami bahwa yang dimaksud “mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan kami” dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah dalam permasalahan agama, bukan dalam permasalahan duniawi. Jadi, sangat tidak ilmiah ketika pembahasan syar’i tentang bid’ah, kok malah dipertentangkan dengan permasalahan-permasalahan duniawi.

Adapun dalam perkara-perkara duniawi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.” (HR. Muslim no. 2363 dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu)

Oleh karena itu, segala sesuatu tentang perkara duniawi, seperti mobil, pesawat, laptop, HP, dll.; bukanlah termasuk perkara bid’ah yang tercela dalam syariat; selama penggunaannya tidak melanggar syariat. Adapun bid’ah yang tercela dalam syariat adalah bid’ah dalam perkara agama.

Apa Beda Antara Bid’ah Secara Bahasa dan Bid’ah dalam Agama?

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjelaskan,

“Perkara-perkara duniawi, tidak termasuk dalam bid’ah (yang tercela dalam syariat, -pent.) walaupun (secara bahasa) hal tersebut juga dinamakan bid’ah. Perkara baru yang dibuat manusia (dalam urusan dunia) seperti mobil, pesawat, komputer, pesawat telepon, telegram, dsb., yang baru diciptakan oleh manusia, tidaklah dinamakan bid’ah (yang tercela dalam syariat, -pent.), walaupun secara bahasa juga dinamakan dengan bid’ah.

Bid’ah secara bahasa tidaklah masuk dalam pembahasan bid’ah dalam agama. Sebab, makna kata “bid’ah” secara bahasa adalah sesuatu yang sebelumnya tidak ada contoh penemuannya/penciptaannya.

Hal ini secara bahasa, juga dinamakan bid’ah, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

بَدِيعُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ

“(Allah) pencipta langit dan bumi.” (al-Baqarah: 117 dan al-An’am: 101)

Maksudnya, Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang menciptakan (sesuatu baru yang sebelumnya tidak ada, pent.-).

Dari sisi bahasa, (kata “bid’ah”) digunakan pada sesuatu yang sebelumnya tidak ada contohnya. Dengan demikian, karena perkara duniawi tidaklah masuk dalam penamaan bid’ah (secara syar’i), maka (hal tersebut) bukanlah perkara yang dicela atau diingkari, walaupun secara bahasa diistilahkan dengan bid’ah. Sebab, (bid’ah tersebut) bukan dalam perkara agama atau ibadah.

Oleh karena itu, misalkan pun perbuatan mengada-adakan mobil, komputer, pesawat, dsb. disitilahkan dengan bid’ah; itu hanya dari sisi bahasa. Hal ini bukanlah suatu kemungkaran. Demikian pula, hendaknya jangan mengingkari manusia (dengan sebab itu).

Hanya saja yang diingkari dari (keyakinan, perkataan, atau perbuatan, -pent.) manusia adalah apa yang mereka ada-adakan dalam urusan agama, seperti shalat-shalat yang dilakukan dengan tata cara bid’ah, atau ibadah-ibadah lainnya yang dilakukan dengan cara bid’ah. Inilah bid’ah yang diingkari dalam agama. Sebab, wajib membersihkan syariat ini dari perkara baru (yang diada-adakan dalam agama, -pent.).” (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 3/15)

Benarkan Ajaran “Wa Kullu Bid’atin Dhalalah Wa Kullu Dhalalatin Finnar” Adalah Pintu Masuk untuk Menjadi Terorisme?

Perhatikan pernyataan si pengucap,

“… setiap barang yang baru yang tidak ada di zaman Rasulullah, bid’ah. Wa kullu bid’atin dhalalah. Setiap bid’ah sesat. Wa kullu dhalalatin finnar. Setiap sesat neraka. Nah ini, ajaran seperti ini, pintu masuk untuk menjadi terorisme, menghalalkan darah orang, orang sesama orang muslim…”

Mahasuci Allah… Silakan renungi ucapan di atas. Laa haula wala quwwata illaa billaah….

Ya Allah, hanya kepada-Mu hamba mengadu.

Jika kita berpikir jernih, siapa sebenarnya yang pertama kali mengajarkan “Wa Kullu Bid’atin Dhalalah Wa Kullu Dhalalatin Finnar”?

Ya, Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Beliaulah yang bersabda,

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah pentunjuknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Dan setiap bid’ah adalah sesat. (HR. Muslim no. 11 dari sahabat Jabir bin Abdulah radhiallahu anhu)

Dalam riwayat lain,

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah pentunjuknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan (tempatnya) di neraka.” (HR. an-Nasa`i no. 188 dari sahabat Jabir bin Abdulah radhiallahu anhu. Hadits ini dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan an-Nasa`i no. 1578)

Hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas, banyak sekali disebutkan dalam kitab-kitab ulama. Sekadar contoh:

  • Musnad Ahmad 237, 373, 375, 408
  • Sunan Abu Dawud 12
  • Sunan Ibnu Majah 71, 73, 74
  • Sunan ad-Darimi 228, 289, 426, 506, dan masih banyak lagi.

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Setelah memahami penjelasan ringkas di atas, kita mengetahui bahwa yang menyatakan, “Wa Kullu Bid’atin Dhalalah Wa Kullu Dhalalatin Finnar”, “Dan setiap bid’ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan (tempatnya) di neraka” adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Adapun para salafi atau wahabi, mereka hanya mengilmui, mengamalkan, dan mendakwahkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dengan pemahaman salaf.

Jika demikian, apakah patut dikatakan bahwa hal tersebut menjadi pintu masuk terorisme? Apalagi sampai dikatakan bahwa hal tersebut akan menyampaikan pada menghalalkan darah sesama muslim. Na’udzubillah. Ya Allah, hanya kepada-Mu hamba mengadu.

Permohonan

Para pembaca rahimakumullah, pembahasan tentang bid’ah adalah salah satu pembahasan penting dalam agama kita. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mempelajari dan mengilmui apa itu bid’ah, apa saja keburukan bid’ah, dan hal-hal yang lainnya terkait dengan hal tersebut; mohon berkenan membaca dan mencermati bahasan pada tautan berikut ini.

Mengenal Bid’ah
Keburukan Bid’ah
Adakah Bid’ah Hasanah?
Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjauhi Bid’ah
Agama Islam Telah Sempurna
Agama Ini Telah Sempurna