Pertanyaan:
Saya pernah magang sebagai reporter dan pernah menulis berita atau artikel tentang seorang public figure. Materi tersebut diberikan oleh editor kepada saya. Namun, berita tersebut tidak menyenangkan, seperti memberitahu bahwa public figure tersebut memiliki penyakit. Dalam artikel tersebut terdapat cara menangani penyakit itu. Akan tetapi, berita itu sudah di-publish oleh public figure itu sendiri melalui media sosialnya.
Apakah yang saya lakukan termasuk gibah? Apakah gaji tersebut haram? Bagaimana jika gajinya sudah saya gunakan?
Ghibah adalah engkau menyebutkan sesuatu tentang saudaramu yang tidak dia sukai. Hal ini sebagaimana dalam hadits,
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian, apa ghibah itu?”
Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”
Beliau bersabda, “Engkau menceritakan tentang saudaramu perkara yang dia benci.”
Para sahabat bertanya, “Bagaimana kalau perkara yang aku katakan itu memang ada pada dirinya?”
Beliau menjawab, “Kalau apa yang engkau katakan itu ada pada dirinya, sungguh engkau telah mengghibahinya. Apabila tidak ada padanya, sungguh engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim no. 2589 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Baca juga: Nikmat Lisan, untuk Apa Kita Gunakan?
Jadi, jika yang isi tulisan artikel tersebut tidak dia sukai, berarti termasuk ghibah. Namun, jika yang isi tulisan tersebut mengada-ada, berarti itu adalah kedustaan. Kedua perkara tersebut termasuk bentuk kezaliman. Seseorang wajib bertobat dan meminta maaf serta meminta penghalalan dari yang bersangkutan terhadap apa yang telah tersebar yang kemungkinan sangat sulit untuk dihapus.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barang siapa pernah berbuat zalim terhadap kehormatan saudaranya atau lainnya, hendaknya dia minta dihalalkan olehnya (meminta maaf) hari ini, sebelum tidak ada lagi dinar dan dirham (untuk menebusnya). (Pada hari itu), jika dia memiliki amal saleh, akan diambil darinya seukuran kezalimannya. Jika dia tidak memiliki kebaikan, akan diambil dari kejelekan-kejelekan saudaranya lantas dibebankan kepadanya.” (HR. al-Bukhari no. 2449 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Baca juga: Kezaliman adalah Kegelapan pada Hari Kiamat
Jika public figure yang bersangkutan tidak mempermasalahkan aibnya disebut, ini juga bukan perbuatan yang terpuji. Sebab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Barang siapa menutupi aib saudaranya, niscaya Allah menutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. al-Bukhari no. 2442 dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma)
Baca juga: Etika Pemberitaan dalam Islam
Terkait dengan penghasilan dari jasa penulisan artikel tersebut, semoga Allah mengampuni dan memaafkan apa yang telah berlalu karena kejahilan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
عَفَا ٱللَّهُ عَمَّا سَلَفَۚ
“(Semoga) Allah memaafkan apa yang telah berlalu.” (al-Maidah: 95)
Namun, jika dia ingin berhati-hati dan berupaya membersihkan diri darinya, dia mengganti penghasilan yang telah dipakai itu kemudian menyalurkannya untuk kepentingan/fasilitas umum.
Baca juga: Menyedekahkan Uang dari Sumber yang Haram
Wallahu a’lam bish-shawab.