Asysyariah
Asysyariah

bekal wajib untuk membahas takdir

4 tahun yang lalu
baca 12 menit
Bekal Wajib untuk Membahas Takdir

Maratibul Qadar (Tingkatan Beriman kepada Takdir)

Para ulama telah menjelaskan tentang wajibnya meyakini tingkatan-tingkatan beriman kepada takdir. Tanpa meyakini keempat hal tersebut, keimanan kepada takdir tidaklah sempurna.

Beriman kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala memiliki empat tingkatan.

  1. Mengimani bahwa Allah Maha Mengetahui, dengan ilmu-Nya yang azali (terdahulu) dan abadi, tentang seluruh yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, kecil atau besar, yang lahir atau batin, perbuatan-perbuatan-Nya, dan perbuatan-perbuatan makhluk-Nya.

  2. Beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menulis takdir atas segala sesuatu, dalam Lauh Mahfuzh, sampai saat kebangkitan hari kiamat. Tidak ada sebuah kejadian pun, yang telah atau akan terjadi, melainkan pasti telah tertulis dan telah ditentukan takdirnya, sebelum terjadinya.

Dalil kedua tingkatan di atas adalah ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun dalil dari Al-Qur’an, di antaranya,

أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا فِي ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِۚ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَٰبٍۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (al-Hajj: 70)

وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

“Di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya selain Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, serta tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (al-An’am: 59)

Adapun dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya

  • Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ. قَالَ: وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ

“Allah subhanahu wa ta’ala telah mencatat takdir seluruh makhluk, 50 ribu tahun sebelum Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi.” Beliau berkata, “Arsy Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas air.” (HR. Muslim no. 2653 dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiallahu ‘anhuma)

  • Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari sahabat Imran bin Hushain radhiallahu anhu (no. 7418), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ قَبْلَهُ، وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَكَتَبَ فِي الذِّكْرِ كُلَّ شَيْءٍ

“Allah subhanahu wa ta’ala ada, tidak ada sesuatu pun sebelumnya, dan ‘Arsy Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas air. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi, serta mencatat tentang segala sesuatu dalam adz-Dzikr.”

  1. Beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat masyi’ah (kehendak) yang mencakup segalanya.

Tidak ada sesuatu yang terjadi atau yang tidak terjadi, baik besar maupun kecil, lahir maupun batin, di langit maupun di bumi, melainkan dengan masyi’ah Allah subhanahu wa ta’ala, apakah tentang perbuatan-perbuatan-Nya atau perbuatan-perbuatan makhluk-Nya.

  1. Beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat khalq (mencipta).

Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang menciptakan segalanya, besar atau kecil, lahir atau batin. Penciptaan Allah subhanahu wa ta’ala meliputi zat seluruh makhluk, sifat-sifat mereka, serta apa yang mereka perbuat, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun hasil dan pengaruh perbuatan makhluk.

Dalil tingkatan ketiga dan keempat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٍۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ وَكِيلٌ

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (az-Zumar: 62)

ٱلَّذِي لَهُۥ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَمۡ يَتَّخِذۡ وَلَدًا وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ شَرِيكٌ فِي ٱلۡمُلۡكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيۡءٍ فَقَدَّرَهُۥ تَقۡدِيرًا

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(-Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (al-Furqan: 2)

وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (ash-Shaffat: 96)

Allah subhanahu wa ta’ala tidak menciptakan sesuatu melainkan berdasarkan masyi’ah-Nya. Hal ini karena tidak ada yang dapat memaksa-Nya, dengan kesempurnaan kerajaan dan kekuasaan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menjelaskan perbuatan-Nya yang berdasarkan masyi’ah-Nya.

يُثَبِّتُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱلۡقَوۡلِ ٱلثَّابِتِ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۖ وَيُضِلُّ ٱللَّهُ ٱلظَّٰلِمِينَۚ وَيَفۡعَلُ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Ibrahim: 27)

ٱللَّهُ يَبۡسُطُ ٱلرِّزۡقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقۡدِرُۚ وَفَرِحُواْ بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا مَتَٰعٌ

“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (ar-Ra’d: 26)

Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa perbuatan makhluk-Nya juga sesuai dengan masyi’ah-Nya.

لِمَن شَآءَ مِنكُمۡ أَن يَسۡتَقِيمَ ٢٨ وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢٩

“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) melainkan jika dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (at-Takwir: 28—29)

وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلَ ٱلَّذِينَ مِنۢ بَعۡدِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَتۡهُمُ ٱلۡبَيِّنَٰتُ وَلَٰكِنِ ٱخۡتَلَفُواْ فَمِنۡهُم مَّنۡ ءَامَنَ وَمِنۡهُم مَّن كَفَرَۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَا ٱقۡتَتَلُواْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَفۡعَلُ مَا يُرِيدُ

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan. Akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (al-Baqarah 253)

(Taqrib at-Tadmuriyah, Ibnu Utsaimin, hlm. 103—104)

Iradah (Kehendak) Allah subhanahu wa ta’ala 

Di antara sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang tinggi dan suci adalah iradah (memiliki kehendak). Dengan mempelajari ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para ulama menyimpulkan bahwa iradah Allah subhanahu wa ta’ala ada dua macam.

  1. Iradah kauniyah qadariyah (kehendak Allah yang terkait dengan ketetapan alam dan takdir-Nya)

Segala yang terjadi di alam semesta ini, termasuk beriman atau kafirnya seseorang, semua terjadi dengan kehendak dan ketetapan Allah. Iradah ini disebut juga dengan masyi’ah (kehendak).

Tidak ada satu pun makhluk yang dapat lepas dari iradah jenis ini. Setiap muslim atau kafir berada di bawah iradah ini. Ketaatan dan kemaksiatan, seluruhnya dengan masyi’ah Allah subhanahu wa ta’ala dan iradah-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٌ مِّنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ يَحۡفَظُونَهُۥ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ وَإِذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ سُوٓءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُۥۚ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِۦ مِن وَالٍ

“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (ar-Ra’d: 11)

فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِۖ وَمَن يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي ٱلسَّمَآءِۚ كَذَٰلِكَ يَجۡعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ

“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberinya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa atas orang-orang yang tidak beriman.” (al-An’am: 125)

Sifat-sifat iradah kauniyah adalah sebagai berikut.

  • Iradah kauniyah ada yang dicintai-Nya, ada juga yang tidak. Yaag dicintai-Nya misalnya keimanan seseorang, sedangkan yang tidak dicintai-Nya misalnya kekafiran seseorang.
  • Walaupun sebagian iradah kauniyah tidak dicintai oleh Allah, namun terkadang ada kebaikan yang diinginkan di baliknya. Misalnya, penciptaan Iblis dan seluruh keburukan. Tujuannya adalah memunculkan banyak kebaikan, seperti taubat dan istighfar setelah terjatuh dalam godaan Iblis, serta mujahadah (bersungguh-sungguh) melawan godaannya.
  • Iradah kauniyah pasti terjadi.
  • Iradah kauniyah terkait dengan rububiyah Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, segala sesuatu yang terjadi terkait dengan pengaturan Allah terhadap alam ini. Pengaturan ini merupakan sifat Allah sebagai Rabb semesta alam.
  1. Iradah syar’iyah diniyah

Artinya, Allah mencintai amalan syariat yang Dia kehendaki untuk diamalkan, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya. Iradah ini disebut juga dengan mahabbah (kecintaan). Iradah ini mengandung cinta dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala terhadap amalan-amalan tersebut.

Contohnya, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱللَّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيۡكُمۡ

“Dan Allah hendak menerima taubatmu ….” (an-Nisa: 27)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah menginginkan agar seseorang bertaubat dari dosa-dosanya, yang taubat ini merupakan sesuatu yang dicintai-Nya.Dengan demikian, taubat termasuk dalam iradah syar’iyah diniyah.

Sifat-sifat iradah syar’iyah adalah sebagai berikut.

  • Iradah syar’iyah seluruhnya dicintai dan diridhai-Nya.
  • Iradah syar’iyah memang diinginkan zatnya, seperti bentuk-bentuk ketaatan. Allah subhanahu wa ta’ala mencintainya, mensyariatkan, dan meridhainya secara zatnya.
  • Iradah syar’iyah ada yang terjadi, ada pula yang tidak. Ketika Allah menghendaki agar manusia taat, ada yang melakukannya dan ada yang tidak. Jika iradah syar’iyah pasti terjadi, tentu umat manusia akan menjadi muslim seluruhnya.
  • Iradah syar’iyah terkait dengan uluhiyah Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, ibadah-ibadah yang disyariatkan merupakan bentuk penghambaan diri dan ketaatan kepada Allah.

Hubungan Iradah Kauniyah & Iradah Syar’iyah

Iradah kauniyah dan syar’iyah terwujud sekaligus pada seorang hamba yang berbuat ketaatan. Orang yang melaksanakan shalat, misalnya. Shalat adalah sesuatu yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala, maka disebut syar’iyah. Jika dia benar-benar menegakkan shalat, disebut kauniyah (karena benar-benar terjadi).

Iradah kauniyah berdiri sendiri tanpa iradah syar’iyah tergambar pada diri orang kafir. Kekafirannya adalah kauniyah karena benar-benar terjadi. Namun, kekafirannya itu bukan iradah syar’iyah karena kekafiran tidak dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Iradah syar’iyah berdiri sendiri tanpa iradah kauniyah tergambar pada keimanan, yang tidak terjadi orang kafir. Keimanan adalah sesuatu yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka disebut iradah syar’iyah. Namun tidak terjadi karena dia kafir, maka bukan iradah kauniyah.

“Barang siapa mampu membedakan antara iradah syar’iyah dengan iradah kauniyah, ia pasti akan selamat dari banyak kerancuan yang telah menggelincirkan kaki dan menyesatkan pikiran. Siapa yang memperhatikan amalan hamba dengan kedua mata ini, ia akan mampu melihat. Barang siapa memerhatikan syariat tanpa takdir atau sebaliknya, maka ia buta.” (al-Iman bil Qadha’, Muhammad bin Ibrahim, hlm. 82—84)

Takdir Baik dan Takdir Buruk

Pertanyaan:

Kita meyakini keberadaan takdir buruk. Apakah tidak bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keburukan tidak (dinisbahkan) kepada-Nya”?

Jawab:

Maksud takdir buruk tidaklah terkait dengan perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala dalam hal menentukan takdir. Namun, terkait dengan hal-hal yang ditakdirkan. Sama halnya dengan perbedaan khalq (perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala mencipta) dan makhluq (hal-hal yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala).

Marilah kita mengambil sebuah contoh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)

Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan penjelasan mengenai kerusakan yang terjadi, sebab dan tujuannya. Kerusakan adalah sesuatu yang buruk, sebab terjadinya adalah ulah tangan manusia. Tujuannya ialah “Supaya Allah subhanahu wa ta’ala merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Oleh karena itu, bentuk kerusakan yang terjadi, baik di daratan maupun di lautan, mengandung hikmah. Pada asalnya, kerusakan tersebut adalah sesuatu yang buruk. Namun, ia memiliki hikmah yang sangat besar. Dengan demikian, adanya hikmah tersebut menyebabkan takdir “munculnya kerusakan” menjadi sesuatu yang baik.

Demikian halnya kemaksiatan dan kekafiran. Hal tersebut merupakan takdir dari Allah subhanahu wa ta’ala. Namun, keduanya memiliki hikmah yang sungguh besar. Andai tidak terjadi kemaksiatan dan kekufuran, syariat Islam tidak akan terwujud. Jika saja tidak muncul kemaksiatan dan kekufuran, penciptaan manusia akan menjadi sia-sia. (Syarah al-Wasithiyah, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 542—543)

Ditulis oleh Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai