Asysyariah
Asysyariah

bekal dai ketika berdakwah

8 tahun yang lalu
baca 9 menit
Bekal Dai Ketika Berdakwah

Sesungguhnya bekal (yang harus disiapkan oleh) setiap muslim adalah sebagaimana yang telah Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan dalam firman-Nya,

وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (al-Baqarah: 197)

Takwa ialah seperti yang pernah disampaikan oleh Thalq bin Habib rahimahullah, yaitu, “Engkau beramal dengan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, di atas cahaya dari Allah subhanahu wa ta’ala dan mengharap pahala dari-Nya dan engkau meninggalkan maksiat di atas cahaya dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan takut akan siksa-Nya.”

Takwa

Uraian ini menyatukan antara ilmu, amal, mengharap pahala, dan takut dari siksa-Nya. Itulah ketakwaan.

Kita tentu mengetahui bahwa para dai ilallah adalah orang yang paling utama dan lebih pantas menghiasi diri dengan ketakwaan kepada Allah k baik saat sendirian maupun ketika di hadapan banyak orang. Berikut ini beberapa bekal dai dalam berdakwah.

 

  1. Berilmu tentang urusan yang akan didakwahkan.

Ilmu yang dimaksud di sini ialah ilmu yang benar, yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, setiap ilmu yang diambil selain dari keduanya harus ditimbang terlebih dahulu dengan keduanya. Bisa jadi, ilmu tersebut sesuai atau menyelisihi keduanya. Jika sesuai, diterima. Jika menyelisihi, wajib ditolak.

Bekal pertama seorang dai adalah hendaknya memiliki ilmu yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah yang sahih. Jika berdakwah tanpa ilmu, dakwah tersebut berada di atas kebodohan. Bahayanya jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Berdakwah tidak di atas ilmu menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pengikutnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdakwah di atas ilmu.

Stack of Books
Stack of Books

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

Katakanlah, “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan hujah yang nyata, Mahasuci Allah subhanahu wa ta’ala, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.” (Yusuf: 108)

Bashirah (hujah yang nyata) dalam ayat ini meliputi tiga hal, yaitu:

  • Terkait dengan yang akan didakwahkan.

Artinya, seorang dai hendaknya mengetahui hukum-hukum syar’i terkait dengan apa yang didakwahkannya.

Bisa jadi, dia mendakwahkan sesuatu yang disangkanya wajib, ternyata menurut syariat Allah subhanahu wa ta’ala tidak wajib. Akibatnya, dia mewajibkan sesuatu yang tidak Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan kepada umat.

Bisa jadi pula sebaliknya, dia menyeru untuk meninggalkan sesuatu yang disangkanya haram, padahal tidak demikian. Dengan demikian, dia mengharamkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan untuk umat.

  • Terkait dengan keadaan objek dakwah.

Dalam hal inim Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu’adz radhiallahu ‘anhu ke negeri Yaman. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab.”

Tujuannya, agar Mu’adz mengetahui keadaan mereka dan benar-benar siap menghadapi mereka.

Oleh karena itu, seorang dai hendaknya mengetahui bagaimana kondisi objek dakwah dari segi pengetahuan dan wawasannya.

  • Terkait dengan metode dakwah.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan dalam firman-Nya,

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)

Terkadang, ketika menemukan kemungkaran, sebagian orang langsung bereaksi keras dengan menyerang kemungkaran tersebut tanpa memikirkan akibat yang akan muncul; baik menyangkut keselamatan dirinya maupun keselamatan para dai yang lain.

Oleh karena itu, seorang dai wajib melihat dan memperkirakan akibat yang akan muncul sebelum bertindak, mengedepankan hikmah, dan ta’anni (berhati-hati dan teliti). Jadi, akan lebih baik jika sebuah urusan sedikit diundur (penanganannya) apabila memang hasil akhirnya baik, dengan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.

Bekal ilmu yang benar bagi seorang dai, yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, selain sesuai dengan nash syar’i juga sesuai dengan akal yang sehat yang tidak tercampuri kerancuan dan syahwat di dalamnya.

Bagaimana mungkin seseorang akan mengajak ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala, sementara ia tidak mengetahui jalan yang akan menuju kepada-Nya dan tidak mengetahui syariat-Nya?

 

  1. Bersabar ketika berdakwah.

Maksudnya, bersabar saat menyampaikan dakwah, bersabar menghadapi rintangan dalam kegiatan dakwah, dan bersabar menghadapi gangguan yang menimpanya.

Seorang dai harus memiliki kesabaran saat menyampaikan dakwah, tidak boleh merasa bosan. Ia harus terus berdakwah sesuai dengan kemampuannya. Ia semestinya bersemangat menggunakan setiap kesempatan yang sekiranya dakwah itu lebih bermanfaat dan utama.

Dengan demikian, ia akan mendapatkan pahala kesabaran dan hasil yang baik dari dakwahnya.

Sabar

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

تِلۡكَ مِنۡ أَنۢبَآءِ ٱلۡغَيۡبِ نُوحِيهَآ إِلَيۡكَۖ مَا كُنتَ تَعۡلَمُهَآ أَنتَ وَلَا قَوۡمُكَ مِن قَبۡلِ هَٰذَاۖ فَٱصۡبِرۡۖ إِنَّ ٱلۡعَٰقِبَةَ لِلۡمُتَّقِينَ

“Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka dari itu, bersabarlah. Sungguh,kesudahan (yang baik) adalah bagi orang yang bertakwa.” (Hud: 49)

Seorang dai harus bersabar menghadapi segala rintangan dalam dakwahnya. Sebab, seseorang yang menyeru ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala mesti akan ada yang merintangi dan menentangnya.

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا مِّنَ ٱلۡمُجۡرِمِينَۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيٗا وَنَصِيرٗا

“Begitulah, bagi setiap nabi telah Kami adakan musuh dari orang-orang yang berdosa. Akan tetapi, cukuplah Rabbmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (al-Furqan: 31)

Seorang dai juga harus bersabar atas gangguan yang diterimanya. Gangguan tersebut bisa jadi berupa (pelecehan) dengan perkataan atau tindakan dengan fisik. Lihatlah bagaimana para rasul, mereka disakiti dengan perkataan dan tindakan fisik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

كَذَٰلِكَ مَآ أَتَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا قَالُواْ سَاحِرٌ أَوۡ مَجۡنُونٌ

Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, kecuali mereka berkata, “Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.” (adz-Dzariyat: 52)

Nabi Nuh, Ibrahim, dan Musa ‘alaihimussalam, tidak hanya mendapatkan pelecehan dan penghinaan, tetapi sampai pada tingkatan ancaman tindakan kekerasan terhadap fisik.

Demikian pula halnya dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan gangguan berupa penghinaan dan tindakan kekerasan, sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِذۡ يَمۡكُرُ بِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِيُثۡبِتُوكَ أَوۡ يَقۡتُلُوكَ أَوۡ يُخۡرِجُوكَۚ وَيَمۡكُرُونَ وَيَمۡكُرُ ٱللَّهُۖ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلۡمَٰكِرِينَ

“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu, membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (al-Anfal: 30)

وَقَالُواْ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِي نُزِّلَ عَلَيۡهِ ٱلذِّكۡرُ إِنَّكَ لَمَجۡنُونٞ

Mereka berkata, “Hai orang yang diturunkan al-Qur’an kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (al-Hijr: 6)

وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوٓاْ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٖ مَّجۡنُونِۢ

Dan mereka berkata, “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan Kami karena seorang penyair gila?” (ash-Shaffat: 36)

Jadi, tidak ada jalan lain bagi seorang dai dalam menghadapi gangguan dan rintangan dalam dakwah selain bersabar. Dengan demikian, dakwahnya berbuah kebaikan dan mendatangkan kebaikan baginya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱسۡتَعِينُواْ بِٱللَّهِ وَٱصۡبِرُوٓاْۖ إِنَّ ٱلۡأَرۡضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَن يَشَآءُ مِنۡ عِبَادِهِۦۖ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلۡمُتَّقِينَ

“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah, dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-A’raf: 128)

إِنَّهُۥ مَن يَتَّقِ وَيَصۡبِرۡ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجۡرَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

“Sesungguhnya barang siapa bertakwa dan bersabar, sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf:90)

 

  1. Menampakkan hikmah

Ia berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dengan penuh hikmah, nasihat (pelajaran) yang baik, dan menyampaikan argumentasi dengan cara yang baik pula.

hikmahAllah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)

Hikmah meliputi menyelesaikan berbagai persoalan dengan baik, meletakan segala urusan sesuai dengan porsi dan tempatnya.

Hikmah adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan. Menghadapi orang yang jahil tidaklah sama seperti menghadapi orang yang alim. Menghadapi orang yang menampakkan penerimaan tidaklah seperti menghadapi orang yang membangkang.

Tergesa-gesa dalam dakwah tidak termasuk hikmah. Setiap maqam (keadaan) memiliki maqal (ucapan/tindakan), setiap tempat memiliki kondisinya masing-masing.

 

  1. Akhlak yang baik.

Seorang dai harus menampakkan dampak dan pengaruh ilmu yang ada dalam dirinya pada akidah, ibadah, keadaan, dan seluruh aktivitasnya; sebagai cerminan dakwah seorang dai ilallah.

Dengan demikian, diharapkan dakwahnya diterima. Selain itu, dia tidak menjadi golongan yang pertama kali merasakan panasnya api neraka. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala darinya.

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf