Dari ‘Abis bin Rabi’ah, dia berkata, “Aku melihat Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mencium Hajar Aswad, lalu berkata, ‘Sungguh, aku tahu engkau adalah batu yang tidak memberikan manfaat dan madarat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu’.”
Takhrij Atsar
Atsar Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ini muttafaqun ‘alaihi. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam ash-Shahih, Kitab al-Hajj bab “ar-Raml fil Hajj” no. 1605.
Demikian pula Muslim meriwayatkan dalam Kitab al-Hajj, bab “Istihbab Taqbil al-Hajar al-Aswad” no. 1270.
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan al-Hakim an-Naisaburi.
Asy-Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani menyatakan sahih dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib.
Makna Atsar
Perkataan Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu disampaikan di hadapan banyak orang. Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata sebagaimana dalam Mustadrak al-Hakim,
Kami haji bersama Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Ketika beliau mulai thawaf, beliau menghadap Hajar Aswad seraya berkata, “Sungguh, aku tahu engkau adalah batu yang tidak memberikan mudarat, tidak pula manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu.” Kemudian beliau menciumnya.
Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu adalah sosok yang sangat gigih menjaga tauhid sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengucapkan kalimat ini di tengah keramaian agar didengar ucapannya dan tersebar di tengah-tengah manusia.
Ketika itu, banyak orang yang baru saja keluar dari peribadatan dan pengagungan terhadap batu-batu (berhala). Mereka baru keluar dari keyakinan bahwa bebatuan memberikan manfaat dan mudarat.
Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu khawatir sebagian mereka yang baru masuk Islam itu tidak memahami (maksud dari mencium hajar Aswad –pen.). Karena itu, beliau mengucapkan kalimat tersebut.[1]
Umar al-Faruq radhiallahu ‘anhu mengingatkan bahwa mencium Hajar Aswad tidak sama dengan perbuatan para penyembah batu yang mengusap dan mencium berhala-berhala mereka. Mencium Hajar Aswad bukan untuk menyembahnya atau meyakini bahwa dia memberikan manfaat atau mudarat, melainkan semata-mata mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
“Apa yang diberikan oleh Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)
Thawaf dan Mencium Batu Hanya di Ka’bah
Di seluruh belahan bumi pasti ada kaum muslimin yang melakukan shalat, zakat, puasa, atau ibadah lainnya. Namun, tidak di setiap tempat ada orang yang beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan thawaf atau mencium dan mengusap batu (Hajar Aswad).
Ibadah thawaf, mengelilingi Ka’bah tujuh putaran, hanya dilakukan di Ka’bah dan tidak akan dijumpai di mana pun di muka bumi ini.
Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memerintah kita menuju Ka’bah. Allah subhanahu wa ta’ala pula yang menjadikan Ka’bah sebagai tempat ibadah dan kiblat bagi kaum muslimin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“… dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (al-Hajj: 29)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
“Allah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia….” (al-Maa’idah: 97)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (al-Baqarah: 144)
Demikian pula mengusap dan mencium, tidaklah dilakukan kecuali di Ka’bah. Hajar Aswad disunnahkan untuk dicium dan diusap. Adapun rukun Yamani disyariatkan untuk diusap saja.
Sekali lagi, ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara thawaf atau mengusap dan mencium hanya dilakukan di Ka’bah. Apabila dijumpai sekelompok manusia yang mengelilingi sebuah tempat dengan niat taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala atau mencium suatu benda dengan niat ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh perbuatan ini adalah kebid’ahan, dan tertolak di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan, itu adalah kesyirikan atau jalan yang mengantarkan kepada kesyirikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka itu tertolak.”
Apa yang Membedakan?
Di sebuah majelis, salah seorang hadirin bertanya, “Ada orang yang mengatakan bahwa agama Islam dan agama musyrikin sama saja. Buktinya, kaum musyrikin menyembah berhala-berhala dari batu, sementara kaum muslimin juga mengelilingi batu (Ka’bah) dan menciumnya (Hajar Aswad).”
Pertanyaan yang muncul dari seorang muslim ini sangat menyedihkan. Inilah kenyataan pahit. Kebodohan melanda umat. Banyak kaum muslimin tidak bisa membedakan antara dua amalan yang secara lahiriah sama, yaitu mencium, mengusap, atau mengelilingi.
Seorang pendeta Nasrani berkata dalam sebuah bukunya untuk menghujat Islam, “Pada kenyataannya sebagian besar pengikut agama bangsa Arab (yakni Islam –pen.) tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa yang disembah dan dipuja pada hakikatnya batu hitam Hajar Aswad. Penyembahan pada batu Hajar Aswad ini baru disadari pada waktu pengikut agama bangsa Arab ini melakukan rukun Islam yang kelima yaitu pergi ke Ka’bah di Makkah dan harus menyembah dan mencium batu hitam Hajar Aswad tersebut. Pada saat mencium batu hitam Hajar Aswad ini barulah orang tersadar bahwa yang dilakukan tidak lain adalah pekerjaan syirik, yaitu mempersekutukan Allah dengan batu hitam tersebut.”
Wajar ketika seorang pendeta, musuh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya menganggap sama antara mencium Hajar Aswad dan mencium berhala. Demikian pula menganggap sama antara thawaf di kuburan dan thawaf di Ka’bah. Akan tetapi, menjadi tidak wajar ketika seorang muslim tidak bisa membedakan antara mencium Hajar Aswad dan mencium kuburan para wali.
Perbedaan antara keduanya sebenarnya sangat jelas. Mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Adapun mengelilingi kuburan para wali sama sekali tidak diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad tidak diiringi dengan keyakinan bahwa kedua makhluk ini memberikan manfaat atau mudarat. Berbeda halnya dengan mereka yang mengelilingi kuburan para wali.
Mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad bukan kesyirikan, melainkan bentuk pengagungan dan peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Apa pendapat Anda ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintah kita untuk menempelkan tujuh anggota sujud[2] ke tanah saat kita sujud? Apa niat kita ketika bersujud dan menempelkan muka ke tanah? Menyembah tanah yang kita cium atau mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya?!
Siapakah yang dikatakan beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, orang yang tunduk pada perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk menempelkan mukanya ke tanah dalam shalat ataukah yang enggan melaksanakan perintah tersebut?
Sama halnya dengan thawaf dan mencium Hajar Aswad. Tidak untuk menyembah Ka’bah dan Hajar Aswad, tetapi semata-mata melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Seandainya kita mengingkari perintah tersebut, niscaya kita tergolong orang yang kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan kita menunaikan Haji ke Ka’bah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali Imran: 96—97)
Allah subhanahu wa ta’ala pula yang memerintahkan kita untuk mengelilingi Ka’bah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“… dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (al-Hajj: 29)
Perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya untuk mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad demikian jelas. Pantaskah seorang hamba menolak perintah Allah subhanahu wa ta’ala ini?
Kita tentu ingat kisah penciptaan Adam ‘alaihissalam. Allah subhanahu wa ta’ala memerintah para malaikat untuk sujud kepada Adam. Sujud yang dimaksud tentu saja sujud penghormatan. Demikianlah syariat Allah subhanahu wa ta’ala.
Akan tetapi, Iblis enggan memberi sujud penghormatan kepada Adam. Jadilah ia kafir karena tidak melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (al-Baqarah: 34)
Samakah sujudnya malaikat kepada Adam dengan sujudnya para penyembah berhala di hadapan berhala yang mereka sembah?
Bukan Karena Hajar Aswad Memberi Manfaat
Seorang muslim mencium Hajar Aswad dan mengelilingi Ka’bah sematamata karena mengikuti perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Itulah hakikat tauhid. Ia tidak menciumnya lantaran meyakini bahwa makhluk yang berupa batu hitam tersebut bisa memberi manfaat atau mudarat. Sama sekali tidak!
Perhatikan ucapan Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu,
“Sungguh aku tahu engkau adalah batu, yang tidak bisa memberi manfaat dan mudarat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, aku tidak akan menciummu.”
Bahkan, seorang yang masih berada di atas fitrah akan menilai bahwa semua amaliah ibadah haji adalah untuk mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala, dan mengesakan peribadatan untuk-Nya. Inilah inti ibadah haji.
Di akhir makalah ini, mari kita ikuti perjalanan haji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang mencermatinya akan mengetahui bahwa semua bagian ibadah haji, termasuk thawaf dan mengusap Hajar Aswad, tidaklah dilakukan kecuali untuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala.
Dari Madinah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Dzul Hulaifah. Dari miqat inilah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai ihramnya dan memperbanyak talbiyah,
“Aku sambut panggilan-Mu ya Allah, aku sambut panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah kepunyaan-Mu, demikian pula kekuasaan, tiada sekutu bagi-Mu.”
Inilah syiar yang selalu dikumandangkan oleh orang yang menuju Masjidil Haram untuk menunaikan haji atau umrah. Sebuah kalimat yang demikian agung.
Sesampainya beliau di Ka’bah, beliau mengusap Hajar Aswad, lalu thawaf, mengelilingi Ka’bah dengan berlari kecil tiga putaran, dan berjalan biasa empat putaran.
Maksud dari thawaf adalah mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya subhanahu wa ta’ala. Saat thawaf, antara Rukun Yamani dan Hajar Aswad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala memohon kepada-Nya,
“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (al-Baqarah: 201)
Inilah syiar seorang muslim saat thawaf, mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala dan memohon kepada-Nya subhanahu wa ta’ala dengan penuh ketundukan; tidak memohon kepada Ka’bah atau Hajar Aswad.
Betapa jauh perbedaan antara seorang muslim saat mengelilingi Ka’bah dan para penyembah kuburan saat menundukkan mata di hadapan kuburan wali. Mereka menangis dengan penuh harap kepada yang dikubur, thawaf mengelilingi kuburan seraya berkata, “Wahai Sayyid Badawi, tolonglah kami!”
Setelah thawaf, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Maqam Ibrahim, lalu menunaikan shalat dua rakaat dengan membaca surat al-Kafirun dan surat al-Ikhlash.
Dua surat yang beliau baca ini menunjukkan kesempurnaan sifat Allah subhanahu wa ta’ala, pengagungan terhadap-Nya subhanahu wa ta’ala, dan pengingkaran kepada peribadatan kepada selain-Nya subhanahu wa ta’ala.
Setelah shalat beliau kembali lagi ke Hajar Aswad dan mengusapnya. Kemudian beliau keluar dari pintu menuju Shafa. Ketika sudah mendekati Shafa, beliau membaca,
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syi’ar-syiar Allah.” (al-Baqarah: 158)
dan mengucapkan,
“Aku mulai dengan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala mulai dengannya.”
Di bukit Shafa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap Ka’bah, lalu membaca kalimat tauhid dan takbir, seraya mengucapkan,
“Tiada ilah yang hak selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan, bagi-Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada ilah yang hak selain Allah Yang Esa, yang menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan menghancurkan golongan-golongan musuh sendirian.”
Doa seperti itu beliau ulangi tiga kali. Kemudian beliau turun menuju Marwah. Beliau lakukan seperti apa yang beliau lakukan di Shafa.
Di hari Tarwiyah, 8 Dzulhijjah tahun 10 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat berangkat menuju Mina. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh.
Setelah subuh di Mina, 9 Dzulhijjah, beliau berhenti sejenak hingga matahari terbit, lalu berangkat menuju Arafah. Dalam semua perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat terus mengumandangkan talbiyah, kalimat tauhid.
Di Arafah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wukuf sejak tergelincir matahari hingga terbenamnya. Selama itu beliau berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menengadahkan kedua tangan seraya memperbanyak kalimat tauhid,
“Tiada ilah yang hak selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan, bagi-Nya segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Dari Arafah beliau menuju Muzdalifah. Selama perjalanan beliau terus mengumandangkan syiar tauhid, talbiyah. Di Mudzalifah, beliau menunaikan shalat Maghrib dan Isya’ dengan sekali azan dan dua kali iqamat. Beliau tidak melakukan shalat apa pun di antara keduanya. Kemudian beliau berbaring hingga fajar terbit dan menunaikan shalat Subuh di Muzdalifah.
Setelah shalat Subuh di Muzdalifah, tepatnya di Masy’aril Haram, beliau berdiri lama menghadap kiblat, berdoa, bertakbir, dan bertahlil. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap berada di tempat itu hingga terang benderang. Setelah itu, beliau bertolak sebelum matahari terbit menuju Mina untuk menunaikan amalan di hari Nahr.
Beliau mengawali amalan hari Nahr dengan melempar Jumrah Aqabah, tujuh kali lemparan dengan batu-batu kecil. Setiap lemparan beliau iringi dengan takbir, mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala.
Selanjutnya beliau menuju tempat penyembelihan. Pada hari itu, beliau menyembelih 100 ekor unta untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Sejumlah 63 ekor unta beliau sembelih dengan tangan beliau yang mulia, sedangkan 37 ekor lainnya beliau wakilkan penyembelihannya kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Pembaca, inilah hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang paling tunduk di hadapan-Nya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan semua peribadatan untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan amalan menyembelih hadyu untuk Allah subhanahu wa ta’ala yang Dia subhanahu wa ta’ala perintahkan,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dari itu, dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (al-Kautsar: 1—2)
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraan menuju Baitullah untuk melakukan thawaf ifadhah dan shalat Zhuhur di Makkah.
Saudaraku, haji adalah sebuah ibadah yang sangat agung untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Coba renungkan kembali perjalanan haji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Adakah orang yang berakal mengatakan bahwa ibadah haji seperti perbuatan kaum musyrikin, karena di dalamnya ada thawaf mengelilingi Ka’bah dan mencium Hajar Aswad? Tidak ada yang mengatakan seperti itu kecuali seorang yang tidak mengerti tauhid.
Allahul musta’an.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal Lc.
[1] Badrul Munir (6/192—194)
[2] Muka, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua kaki