Menahan Barang Dagangan Sebagai Gadai
Jika seseorang membeli emas dari kami, namun masih ada sebagian yang belum dibayar, lantas kami menahan sebagian emas tersebut sebagai gadai atas kekurangan yang belum terbayar. Apakah hal ini diperbolehkan?
Jawab:
Tidak boleh menjual emas dengan dibayar perak melainkan kontan. Dengan demikian, gambaran tersebut (dalam pertanyaan) tidak boleh.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Wakil : Abdurrazzaq Afifi ; Anggota : Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud.
Kebun Dimanfaatkan Penerima Gadai
Di sebagian perdesaan di Mesir marak pergadaian lahan-lahan pertanian. Gambarannya, seseorang yang butuh uang meminjam uang dari orang lain. Sebagai imbalannya, pemilik uang (kreditur) mengambil lahan pertanian milik orang yang meminjam sebagai barang gadaian. Orang yang meminjami mengambil tanah tersebut, memanfaatkan buah-buahannya atau apa yang dihasilkan dari kebun tersebut. Adapun pemilik tanah tidak mengambil hasil bumi itu sama sekali. Selanjutnya, tanah pertanian berada di bawah pengelolaan yang mengutangi sampai yang berutang melunasi pinjamannya. Apa hukum pergadaian tanah pertanian tersebut, yaitu mengambil hasil buminya, halal ataukah haram?
Jawab :
Barang siapa mengutangi atau meminjami, ia tidak boleh mensyaratkan kepada orang yang berutang suatu manfaat atau faedah sebagai imbalan atas peminjamannya tersebut, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda (artinya), “Setiap utang yang mendatangkan suatu manfaat itu adalah riba.”
Hadits lemah, lihat Irwa’ul Ghalil no. 1398. Namun tentang maknanya, ulama menerimanya.
Para ulama telah sepakat menyepakati hal tersebut, di antara contoh manfaat tersebut adalah apa yang telah disebutkan dalam pertanyaan, yaitu pergadaian sebuah tanah oleh orang yang berutang kepada yang meminjami, lalu pemanfaatannya diserahkan kepada pemiutang hingga pengembalian pinjaman yang menjadi kewajiban pemilik tanah.
Demikian pula dalam hal tanggungan, tidak boleh bagi orang yang meminjami (kreditur) untuk memetik hasil bumi atau memanfaatkannya sebagai imbalan atas tempo yang diberikan kepada orang yang punya tanggungan (debitur). Sebab, maksud gadai adalah jaminan demi memperoleh utang atau pinjaman, bukan sebagai imbalan pemberian utang.
Bukan pula imbalan atas pemberian tangguh atau jangka waktu pelunasan. Allah Subhanahu wata’ala -lah yang memberi taufik, semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya.
Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz; Anggota: Shalih al-Fauzan, Abdullah bin Ghudayyan, Abdul Aziz Alu asy-Syaikh
Zakat pada Barang yang Tergadai
Apa hukum zakat pada harta milik saya yang digadaikan, apakah wajib atas saya menzakatinya ataukah tidak?
Jawab:
Kita harus mengetahui dahulu apakah harta yang digadaikan itu harta zakat atau bukan. Kalau itu termasuk harta zakat, keberadaannya sebagai barang gadaian tidak menghalanginya untuk dizakati.
Sebagai contoh, seorang wanita menggadaikan perhiasannya kepada seseorang. Hal itu tidak menghalanginya untuk mengeluarkan zakat perhiasannya, karena perhiasan itu wajib dizakati. Apabila ia menggadaikannya, pergadaian tersebut tidak menggugurkan kewajiban zakatnya, karena pergadaian tidak memindahkan kepemilikan harta.
Adapun jika barang gadaian tersebut bukan harta yang wajib dizakati, misalnya seseorang menggadaikan rumahnya, maka rumah tidak ada zakatnya, baik dia gadaikan maupun tidak, selama tidak diperdagangkan.
Apabila rumah itu disiapkan untuk diperdagangkan, tidak mungkin/boleh digadaikan. Sebab, seseorang yang sering jual beli rumah tidak mungkin menjadikannya sebagai barang gadaian, bahkan mesti menjadi barang lepas yang bisa dia pakai untuk jual beli. (Ibnu Utsaimin)
Gadai Konvensional
Bagaimana halnya dengan gadai konvensional?
Jawab :
Dalam praktik gadai konvensional tedapat beberapa hal yang tidak sejalan dengan syariat. Di antaranya, nasabah diharuskan membayar sewa modal atau bunga. Ini termasuk riba yang diharamkan dalam agama.
Terdapat pula pasal, “Tidak laku/lebih rendah dari taksiran dibeli pemerintah, kerugian ditanggung kantor pegadaian.” Ini juga tidak sesuai syariat. Menurut syariat, segala kerugian pada barang gadai ditanggung pemberi gadai, termasuk dalam hal ini ketika tidak laku, maka kerugian tetap dalam tanggungan pegadai.
Di samping itu, ada biaya asuransi. Asuransi itu sendiri tidak sesuai dengan ajaran Islam, sebagaimana telah dijelaskan dalam edisi 16 dan 29.
Gadai Motor, Bolehkan Dimanfaatkan?
Bolehkah benda gadai berupa motor atau mobil kita manfaatkan dengan kita membayar bahan bakarnya?
Jawab :
Sebatas yang kami ketahui, jika barang tersebut adalah barang gadaian dari sebuah piutang, tidak boleh dimanfaatkan walaupun kita yang membayar bahan bakarnya. Sebab, pemakaian itu sendiri sudah punya nilai. Buktinya, ada penyewaan sepeda motor dan mobil. Dengan demikian, penggadai/penerima gadai/murtahin dengan piutangnya telah mengambil manfaat, maka itu riba.
Tidak dapat pula dikiaskan antara mobil atau motor dan punggung unta atau sapi yang dapat ditunggangi karena murtahin memberi makan kepadanya. Hewan adalah makhluk hidup yang sangat tergantung pada kebutuhan hidup berupa makanan. Oleh karena itu, siapa yang memberi makan, dia yang memanfaatkan, baik pegadai maupun penggadai. Sebaliknya, benda mati tidak membutuhkan makanan. Seandainya dua belah pihak tidak memedulikan barang tersebut, tidak begitu bermasalah.
Menggadaikan BPKB
Apakah penyerahan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sudah berarti qabdh terhadap kendaraan bermotor yang dijadikan gadai?
Jawab:
Ini termasuk masalah kontemporer yang insya Allah akan kami tanyakan kepada para ulama. Namun, untuk kehati-hatian, kami memandang bahwa hal itu belum termasuk qabdh. Sebab, pada kenyataannya ada orang yang menggadaikan BPKB di suatu tempat, lantas ia menggadaikan kendaraan bermotornya di tempat yang lain.
Ada pula penjualan kendaraan bermotor tanpa BPKB. Atas dasar itu, untuk qabdh kendaraan bermotor harus benar-benar kendaraan tersebut diserahkan kepada murtahin/penerima gadai. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc