Asysyariah
Asysyariah

beberapa kisah setelah perang bani nadhir

13 tahun yang lalu
baca 6 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)

Berikut ini beberapa paparan peristiwa dalam perjalanan hidup Rasulullah dan para shahabatnya yang kita bisa mengambil banyak pelajaran darinya. Di antaranya kisah Juwairiyah bintu Al-Harits, wanita yang paling banyak membawa berkah bagi kaumnya dan kisah disyariatkannya tayamum.

Perang Dzatu Riqa’ atau Perang Najd terjadi di bulan Jumadil Ula tahun keempat Hijriyah. Rasulullah n berangkat sendiri memimpin pasukan berjumlah 400 orang. Namun setelah bertemu dengan pasukan dari Ghathafan, tidak terjadi pertempuran, hanya saja beliau shalat bersama para sahabatnya, shalat khauf. Demikian dinukil oleh Ibnul Qayyim dari Ibnu Ishaq dan sejumlah ahli sejarah.
Ibnul Qayyim mengulas bahwa pendapat ini keliru (menyatakan waktu itulah terjadinya shalat khauf-pen). Sehingga kemudian beliau dalam Zaadul Ma’ad (3/253) menyatakan: “Yang benar, mengalihkan kisah perang Dzatu Riqa’ dari tempat ini, sampai pada masa setelah (menguraikan) kisah perang Khandaq bahkan setelah peristiwa Khaibar.”
Adapun perang Dumatul Jandal yang juga dipimpin Rasulullah n terjadi tahun kelima Hijriyah. Sebabnya, beliau mendengar ada sejumlah pasukan yang ingin mendekati Madinah, sedangkan jarak antara mereka dengan Madinah sekitar perjalanan lima belas hari, demikian juga jarak mereka ke Damaskus. Rasulullah n berangkat dengan 1000 pasukan, disertai penunjuk jalan dari Bani ‘Udzrah yang bernama Madzkur. Ketika sudah mulai mendekat ternyata mereka menuju ke arah barat. Dan mereka menemukan jejak-jejak unta dan kambing, lalu mereka menyerang ternak tersebut serta penggembalanya, beberapa orang terbunuh dan yang lainnya melarikan diri.
Berita ini sampai kepada penduduk Dumatul Jandal, merekapun lari bercerai berai. Rasulullah n turun di pekarangan mereka dan tidak menemukan seorangpun. Beliau tinggal di sana beberapa hari mengirim sejumlah pasukan ekspedisi, membagi-bagi pasukan, namun tidak mendapatkan apapun. Kemudian Rasulullah n kembali ke Madinah. Pada kejadian inilah beliau mengadakan kesepakatan dengan ‘Uyainah Bin Hishn.
Sementara perang Al-Muraisi’ atau perang Bani Mushthaliq terjadi pada bulan Sya’ban tahun kelima Hijriyah.Sebabnya, Al-Harits bin Abi Dhirar bin Al-Mushthaliq bertolak bersama kaumnya dan siapa saja yang mampu dari kalangan Arab untuk memerangi Rasulullah n. Maka beliau mengutus Buraidah bin Al-Hushaib Al-Aslami mencari berita tentang mereka. Dia bertemu dengan Al-Harits sendiri, kemudian mengajaknya bicara. Akhirnya Buraidah kembali kepada Rasulullah n dan men-ceritakan perihal mereka. Maka Rasulullah n menganjurkan kaum muslimin untuk segera berangkat.
Ternyata, sejumlah munafikin ikut serta dalam peristiwa ini, padahal dalam peperangan sebelumnya mereka tidak pernah ikut. Rasulullah n mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai pengganti di Madinah. Namun ada pula yang mengatakan Abu Dzar atau Numailah bin ‘Abdillah Al-Laitsi.
Rasulullah n berangkat pada hari Senin. Berita ini sampai kepada Al-Harits bin Abi Dinar sementara mata-mata yang dikirimnya untuk mengintai gerak-gerik kaum muslimin telah terbunuh. Akhirnya mereka dicekam ketakutan, demikian pula orang-orang Arab yang menyertai mereka. Sementara pasukan Rasulullah n sendiri telah sampai di mata air Al-Muraisi’.
Dalam perang ini, dua isteri Rasulullah n ikut serta yaitu Ummu Salamah dan ‘Aisyah c. Setelah itu Rasulullah n menyergap mereka dan berhasil menawan anak-anak dan wanita mereka serta merampas harta mereka. Demikian diceritakan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar c:

“Sesungguhnya Nabi n menyergap Bani Al-Mushthaliq ketika mereka lengah dan memberi minum ternak-ternak mereka. Beberapa orang terbunuh, dan beliau menawan anak-anak mereka dan pada waktu itulah tertawan pula Juwairiyah.”
Juwairiyah binti Al-Harits ketika itu tertawan dan menjadi jatah Tsabit bin Qais, namun wanita itu berusaha menebus dirinya dan meminta bantuan Rasulullah n.
Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud menceritakan hal ini dalam Sunan dan Musnad dari ‘Aisyah x:

“Juwairiyah binti Al-Harits bin Al-Mushthaliq jatuh sebagai bagian Tsabit bin Qais bin Syammas atau anak pamannya. Lalu dia berusaha menebus dirinya. Juwairiyah seorang wanita yang manis dan menarik. Dia datang meminta bantuan Rasulullah n untuk menebus dirinya. Tatkala dia tiba di depan pintu, saya melihatnya dan tidak senang (karena cemburu). Saya tahu bahwa Rasulullah n tentu juga melihat apa yang kulihat.
Diapun berkata: “Ya Rasulullah, saya adalah Juwairiyah bintu Al-Harits. Persoalanku sudah anda ketahui dan saya jatuh sebagai jatah Tsabit bin Qais bin Syammas, tapi saya ingin menebus diri saya. Maka saya pun datang meminta bantuan anda dalam urusan ini.”
Rasulullah n berkata: “Maukah kamu yang lebih baik daripada itu?”
Kata Juwairiyah: “Apa itu, ya Rasulullah?”
Kata beliau: “Saya tunaikan tebusanmu, dan saya menikahimu.”
Diapun berkata: “Saya lakukan.”
Kata ‘Aisyah: “Ketika kaum muslimin mendengar bahwa Rasulullah n telah menikahi Juwairiyah, merekapun segera melepaskan tawanan yang ada di tangan mereka. Dan mereka membebaskan tawanan itu, kata mereka:”Ipar-ipar Rasulullah n.”
Dan kami tidak pernah melihat seorang wanita yang paling banyak membawa berkah bagi kaumnya dibandingkan Juwairiyah. Karena dia, akhirnya dibebaskan seratus keluarga Bani Al-Mushthaliq.”
Ibnul Qayyim menukil dari Ibnu Sa’d yang mengatakan bahwa dalam perang ini juga terjadi peristiwa jatuhnya kalung ‘Aisyah x yang membuat pasukan muslimin tertahan di tempat yang tidak ada airnya, lalu turunlah ayat tayammum (surat Al-Ma`idah ayat 6). Demikian yang dirajihkan oleh syaikh kami Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafizhahullahu setelah menukil sejumlah pendapat ‘ulama di antaranya Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, Adz-Dzahabi dan lain-lainya.1
Kisah tentang tayammum ini juga menunjukkan keutamaan keluarga Abu Bakr Ash-Shiddiqz. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari ‘Aisyahx:

Dia berkata: “Kami berangkat bersama Rasulullah n dalam sebagian perjalanannya (safarnya). Ketika tiba di Baida` atau Dzatul Jaisy, putuslah kalungku. Maka Rasulullah n berhenti untuk mencarinya, dan rombongan pun ikut berhenti bersama beliau padahal mereka tidak singgah di tempat yang ada airnya. Kemudian sebagian orang datang menemui Abu Bakr dan mengatakan: “Tidakkah kau lihat apa yang dilakukan ‘Aisyah, dia menahan Rasulullah n dan rombongan sementara mereka tidak mempunyai air.”
Lalu Abu Bakr datang, sementara Rasulullah n sedang tidur meletakkan kepalanya di atas pahaku. Dia berkata: “Kamu tahan Rasulullah n dan rombongan sementara mereka tidak mempunyai air.” Abu Bakr menusukkan tangannya ke pinggangku, namun tidak ada yang menghalangiku begerak selain posisi Rasulullah n di atas pahaku. Keesokan harinya Rasulullah n bangun dalam keadaan tidak ada air. Allah pun menurunkan ayat tayammum. Kemudian mereka semua bertayammum. Lalu berkatalah Usaid bin Hudhair: “Ini bukan berkah yang pertama dari kalian, wahai keluarga Abu Bakr.”
Setelah itu kami bangunkan unta yang membawaku, ternyata kalung itu di bawahnya.”

Catatan Kaki:

1 Lihat Ahkamu At-Tayammum (Tata Cara dan Tuntunan Lengkap Tayammum hal. 79)