Bakhil atau kikir tak sebatas berhubungan dengan materi. Perangai ini juga berkaitan dengan keimanan seseorang.
Orang yang rendah dan hina tidak akan risih dengan kehinaan yang disandangnya. Contoh yang sangat nyata adalah keadaan orang-orang yang bakhil. Mereka jatuh di sisi Allah subhanahu wa ta’ala serta dibenci oleh manusia. Oleh karena itu, seorang muslim yang baik akan menjauhkan diri dari perangai kebakhilan yang tidak membawa manfaat sedikit pun bagi dunianya, terlebih untuk akhiratnya.
Kebakhilan sangat bertentangan dengan kesempurnaan iman. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالْإِيْمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا
“Tidak akan berkumpul kebakhilan dan keimanan pada hati seorang hamba selama-lamanya.” (HR. an-Nasai dan al-Hakim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’, no. 7616)
As-Sindi rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya, tidak sepantasnya seorang mukmin menggabungkan antara iman dan kebakhilan. Sebab, kebakhilan merupakan sesuatu yang paling jauh dari keimanan.” (Sunan an-Nasai wa Hasyiatil Imam as-Sindi, vol. VI/320)
Bakhil adalah menghalangi sesuatu yang seharusnya diberikan menurut ketentuan syariat dan secara etika kesopanan. Sesuatu yang wajib diberikan menurut ketentuan syariat misalnya menunaikan zakat dan nafkah kepada keluarga. Adapun contoh secara etika kesopanan adalah tidak menyempitkan pemberian nafkah dan tidak menuntut pada sesuatu yang remeh. (Lihat Mukhtashar Minhajul Qasidin, hlm. 66, cet. Dar Ammar)
Merujuk kepada definisi bakhil di atas, maka macam kebakhilan sangatlah banyak. Ada yang bakhil dengan ilmunya, tenaganya, pikirannya, lisannya, hartanya, dan yang lainnya.
Allah subhanahu wa ta’ala telah memuji orang yang dijauhkan dari kebakhilan dirinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)
Baca juga: Buah Kedermawanan
Diterangkan oleh Syaikh as-Sa’di rahimahullah,
“Dipelihara dari kekikiran jiwa mencakup dijaganya jiwa dari kekikiran pada seluruh yang diperintahkan. Apabila seorang hamba dijaga dari kekikiran jiwanya, dirinya akan bermurah hati untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Ia akan melakukannya dengan (sepenuh) ketaatan dan ketundukan serta dalam keadaan berlapang dada. Jiwanya (juga) akan mudah meninggalkan larangan Allah subhanahu wa ta’ala meskipun jiwa menyukainya dan mengajak serta menginginkannya.
“Orang yang jiwanya dijaga dari kekikiran akan mudah mencurahkan harta di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan untuk mencari ridha-Nya. Dengan demikian, ia akan mendapat keberuntungan. Berbeda halnya dengan orang yang tidak dijaga dirinya dari kebakhilan, atau yang justru diuji dengan kebakhilan terhadap kebaikan, yang merupakan pokok dari kejelekan.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 851, cet. ar-Risalah)
Ketahuilah bahwa sebab munculnya kebakhilan adalah cinta harta. Cinta kepada harta ada dua sebab.
Baca juga: Menepis Godaan Syubhat dan Syahwat
Ada manusia yang memiliki harta yang cukup untuk sepanjang hidupnya (di dunia) seandainya dia menggunakannya dengan wajar. Bahkan, masih tersisa beribu-ribu bersamanya. Sementara itu, (terkadang) dia sudah tua dan tidak punya anak. Akan tetapi, dirinya tidak mau mengeluarkan (dari hartanya) sesuatu yang wajib atasnya. Tidak pula dia mau bersedekah yang bermanfaat baginya. Padahal jika ia mati, hartanya akan diambil oleh musuhnya atau akan hilang apabila hartanya ditimbun. Penyakit seperti ini (hampir) tidak bisa diharapkan kesembuhannya. (Mukhtashar Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah, hlm. 267)
Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata,
“Apabila orang yang berakal diberi harta oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dunia yang fana ini dan mengetahui (akan) lenyapnya harta darinya serta berpindah kepada yang lainnya dan tahu bahwa harta tidak bermanfaat baginya di akhirat kecuali apa yang ia suguhkan berupa amal saleh, hendaknya dia bersungguh-sungguh menunaikan hak-hak pada hartanya.
“Hendaknya pula dia melaksanakan yang wajib pada jalan-jalannya, dengan mengharapkan pahala di kemudian hari dan (mendapatkan) sebutan yang baik di dunia. Sebab, kedermawanan akan mendatangkan kecintaan dan pujian. Sebaliknya, kebakhilan mendatangkan celaan dan kebencian. Tidak ada kebaikan pada harta kecuali dengan adanya kedermawanan….” (Raudhatul ‘Uqala’, hlm. 235)
Baca juga: Harta, Antara Nikmat dan Fitnah
Perhatikanlah firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut,
وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ هُوَ خَيۡرًا لَّهُمۖ بَلۡ هُوَ شَرٌّ لَّهُمۡۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِۦ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ وَلِلَّهِ مِيرَٰثُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Ali Imran: 180)
Renungilah ayat ini. Bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan hal-hal yang menjadikan seorang hamba tidak bakhil terhadap apa yang Dia berikan.
Bahkan, kalau bukan karena keutamaan dan kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala, niscaya tidak akan sampai kepadanya nikmat itu. Oleh karena itu, orang yang yakin bahwa harta yang ada di tangannya adalah nikmat dari Allah, niscaya dia tidak akan mencegah (dari memberikan) nikmat yang tidak akan membahayakannya. Bahkan, (menginfakkannya) akan mendatangkan manfaat baginya pada hati dan hartanya, bertambah keimanannya, serta menjaganya dari bencana.
Baca juga: Pelajaran Penting untuk Para Hartawan
Jadi, tidak ada manfaat berbuat kikir terhadap sesuatu yang akan hilang darimu dan berpindah kepada selainmu.
Konsekuensi dari hal ini adalah adanya balasan yang baik atas kebaikan, serta adanya siksaan atas kejelekan. Dengan demikian, orang yang dalam hatinya ada keimanan sekecil apa pun tidak akan absen dari berinfak dengan sesuatu yang akan mendapatkan pahala. Dia juga tidak akan ridha dengan kebakhilan yang mendatangkan siksa.” (Lihat Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 158—159)
Penyakit yang menimpa badan seseorang dengan berbagai macamnya tidak lebih berat daripada penyakit yang menerpa hatinya. Sebab, kerugian yang ditimbulkan dari jenis penyakit ini sangat kompleks. Yang terbesar adalah terkikisnya keimanan dan terhambatnya seseorang dari surga Allah subhanahu wa ta’ala.
Manakala penyakit yang menimpa badan tidak bisa disembuhkan di dunia, ia akan selesai dengan kematian. Adapun penyakit hati, apabila di dunia ini tidak segera disembuhkan, penyakit itu akan dia bawa ke alam kuburnya hingga akhirat nanti.
Jika demikian, lantas mengapa kebanyakan orang jika badannya terkena penyakit berusaha untuk mengobatinya meski harus menghabiskan harta bendanya, sementara jika hatinya dihinggapi penyakit-penyakit kronis semacam bakhil, sombong, suka kepada kemaksiatan, dan bermalas-malasan dalam menjalankan ketaatan, jarang yang berusaha menyembuhkannya?!
Baca juga: Qalbun Salim, Hati yang Selamat
Inilah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, beliau berlindung dari kebakhilan. Padahal beliau berada pada puncak keimanan. Hal itu menandakan betapa penyakit ini harus selalu diwaspadai. Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah doanya mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sikap pengecut, kepikunan, dan kebakhilan.” (HR. Muslim)
Baca juga: Meneladani Akhlak Nabi
Suatu saat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada Bani Salimah, tentang siapa pemimpin mereka. Mereka menjawab, “Pemimpin kami adalah Jud bin Qais. Hanya saja, kami menilainya orang yang bakhil.”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Penyakit mana yang lebih besar daripada kebakhilan? Pemimpin kalian adalah Amr bin al-Jamuh.”
Amr dahulu membuatkan walimah bagi Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat beliau menikah. (Shahih al-Adab al-Mufrad, no. 227)
Janganlah seseorang mengira jika ia bakhil dengan apa yang wajib dicurahkan kepada orang lain bahwa itu bagus buat mereka. Itu jsutru jelek bagi mereka, baik terhadap agama atau dunia mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا يَحۡسَبَنَّ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ هُوَ خَيۡرًا لَّهُمۖ بَلۡ هُوَ شَرٌّ لَّهُمۡۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِۦ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (Ali Imran: 180)
Di antara hukumannya di dunia akan ditimpakan paceklik, tertahannya hujan, dikutuk oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dicabutnya berkah pada hartanya, dibinasakan (hartanya), dan memperoleh kebencian dari makhluk. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا مَنَعَ قَوْمٌ الزَّكَاةَ إِلَّا ابْتَلَا هُمُ اللهُ بِالسِّنِيْنَ
“Tidaklah suatu kaum mencegah (dari memberikan) zakat kecuali Allah akan menguji mereka dengan paceklik.” (HR. ath-Thabarani, lihat Shahih at-Targhib, no. 758)
Baca juga: Di Antara Sebab Wabah & Musibah Adalah Dosa & Maksiat
Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العِبَادُ فِيهِ، إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tidak ada hari yang manusia berada di pagi hari kecuali turun dua malaikat, salah satunya berkata, ‘Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfak,’ dan yang lainnya mengatakan, ‘Ya Allah, berilah kebinasaan kepada orang yang bakhil’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Adapun ancaman di hari akhirat sungguh lebih dahsyat. Di antaranya bahwa hartanya akan dijadikan lempengan yang panas lalu disetrikakan pada lambung, dahi, dan punggungnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ٣٤ يَوۡمَ يُحۡمَىٰ عَلَيۡهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكۡوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمۡ وَجُنُوبُهُمۡ وَظُهُورُهُمۡۖ هَٰذَا مَا كَنَزۡتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمۡ تَكۡنِزُونَ ٣٥
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu’.” (at-Taubah: 34—35)
Baca juga: Simpanan yang Tak Akan Sirna
Harta yang tidak ia keluarkan zakatnya kalau itu berupa unta, sapi, dan kambing, nanti di padang mahsyar akan menanduk dan menginjak-injak pemiliknya. Hal tersebut terjadi dari awal hingga akhir, terus-menerus, pada suatu hari yang ukurannya 50.000 tahun, sampai diputuskan di antara para hamba, seperti dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu.
Disebutkan pula di antara siksaannya bahwa hartanya akan dijadikan ular yang melilit lehernya dan memakan tubuhnya. (Lihat Shahih at-Targhib, no. 751 dan 754)
Demikianlah nasib orang yang tidak mensyukuri pemberian Allah subhanahu wa ta’ala. Bukan ketenangan dunia yang didapat, bukan pula kenikmatan atau akhirat yang digapai.
Kebakhilan bertingkat-tingkat. Ada yang bakhil pada dirinya dan menyuruh orang untuk bakhil. Bahkan, dia memuji dan membela orang yang bakhil. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِ وَيَكۡتُمُونَ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا ٣٧
“(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (an-Nisa: 37)
Termasuk orang yang paling bakhil adalah yang bakhil dengan salam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَعْجَزُ النَّاسِ مَنْ عَجَزَ عَنِ الدُّعَاءِ وَأَبْخَلُ النَّاسِ مَنْ بَخِلَ بِالسَّلَامِ
“Manusia yang paling lemah ialah yang melemah dari memohon (kepada Allah), dan manusia yang paling bakhil ialah yang bakhil dengan salam.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath, dan dinyatakan sanadnya bagus dan kuat oleh al-Mundziri rahimahullah)
Baca juga: Arti Salam bagi Seorang Muslim
Maksudnya, orang yang paling lemah pikirannya dan buta penglihatan hatinya adalah orang yang lemah dari meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala, terutama di saat kesulitan. Sebab, ia telah meninggalkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala (untuk memohon kepada-Nya) dan meremehkan sesuatu yang tidak ada kesulitan padanya.
Demikian pula orang yang paling bakhil adalah yang bakhil dengan salam terhadap kaum mukminin yang ia temui, baik yang ia kenal maupun yang tidak. Padahal yang demikian tidak membutuhkan banyak modal, tetapi besar pahalanya. Tidak ada yang meremehkan yang seperti ini kecuali orang yang bakhil dengan kebaikan dan mencegah dirinya dari mendapat pahala.
Orang seperti ini dikatakan paling bakhil karena orang yang bakhil dengan hartanya masih ada sisi kewajaran dari sisi bahwa pada umumnya harta disukai oleh jiwa. Adapun mengucapkan salam, tidak perlu mengeluarkan biaya. (Lihat Faidhul Qadir, 1/710—711)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الْبَخِيْلُ الَّذِي ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang bakhil adalah yang aku disebut di sisinya lalu dia tidak bershalawat kepadaku.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 3546)
Baca juga: Faedah Shalawat Nabi & Hukum Menyingkat Tulisan Shalawat
Ini adalah kebakhilan yang paling jelek. Padahal bila dia bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam satu kali, Allah subhanahu wa ta’ala akan bershalawat kepadanya sepuluh shalawat. Adakah orang yang lebih bakhil daripada orang yang bakhil atas dirinya untuk tidak mendapat pahala?
Dalam setiap urusan, manusia ada yang cenderung berlebih-lebihan dan ada yang meremehkan. Sangat jarang yang bersikap tengah-tengah. Tidak terkecuali dalam menyikapi harta benda. Ada dari mereka yang memubazirkan hartanya sehingga habis hartanya dan terpaksa meminta-minta. Adapula yang sangat kikir sampai-sampai dirinya sendiri tidak mendapat bagian dari hartanya, apalagi orang lain.
Para ulama menyebutkan beberapa contoh orang-orang yang bakhil dalam kitab-kitab mereka. Hal ini untuk dijadikan ibrah (pelajaran) bahwa kebakhilan setidaknya telah menjadikan lembaran sejarah seseorang menjadi tercoreng. Hal ini akan mendorong orang lain untuk menjauhi perangai yang tercela ini.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa dahulu ada seorang lelaki bangsawan Arab yang bernama Hajib. Dia seorang yang bakhil. Ia tidak mau menyalakan api di malam hari (untuk penerang). Sebab, ia tidak ingin ada orang yang melihat api yang dinyalakan, lantas mengambil manfaat dari cahayanya.
Jika ia ingin menyalakan api, ia pun menyalakannya. Namun, apabila ada orang yang ikut memanfaatkan cahaya apinya, ia memadamkannya.
Ada seorang lelaki paling jelek yang biasa menyapu masjid-masjid dan mengumpulkan debu masjid. Lantas ia membuat debu tersebut menjadi batu bata. Dia ditanya, “Untuk apa batu bata ini?”
Ia menjawab, “Ini debu yang diberkahi dan aku ingin (kalau mati) mereka menjadikan bata-bata itu di atas liang lahatku.”
Tatkala orang ini mati, dijadikanlah bata itu di atas lahatnya. Bata itu berlebih. Akhirnya, sisa bata itu mereka buang di rumah. Tatkala turun hujan, batu bata itu terbelah hancur. Ternyata di dalamnya ada uang emas. Orang-orang lalu pergi ke kuburannya dan mengambil batu batanya. Ternyata seluruh batu bata itu berisi penuh uang emas miliknya.
Baca juga: Hukum Membongkar Kuburan
Dahulu ada seorang yang bakhil mempunyai dua anak laki-laki dan satu perempuan. Ketika ia sakit keras dikerumuni oleh keluarganya, ia berkata kepada salah seorang anak laki-lakinya yang akan dikhususkan dengan pemberian untuk tidak beranjak keluar.
Sang ayah mengatakan kepadanya bahwa ia punya uang seribu dinar di suatu tempat. Jika ia mati, anak laki-laki ini yang akan mengambilnya. Ketika orang ini sakit keras, sang anak pergi dan mengambil harta itu. Ternyata sang ayah sembuh, sementara harta sudah di tangan anak laki-lakinya. Ia memintanya, tetapi sang anak tidak memberinya.
Tatkala sang anak sakit keras dan hampir mati, sang ayah meminta dengan sangat agar hartanya diberikan karena khawatir harta akan hilang sia-sia. Sang anak akhirnya menunjukkan tempat disimpannya harta itu. Lalu sang ayah mengambilnya.
Suatu saat sang ayah sakit keras. Anak tersebut meminta ditunjukkan tempat penimbunan harta itu. Akan tetapi, sang ayah tidak mau menunjukkannya. Akhirnya, ia mati dan hartanya lenyap tidak diketahui. (Lihat Mukhtashar Minhajul Qasidin, hlm. 264, dan Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi, hlm. 608—612, cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
Baca juga: Membalas Kebaikan Orang Lain
Hikayat orang-orang bakhil sangat panjang. Cukup bagi kita untuk mengetahui seberapa mengerikannya hukuman atas orang yang bakhil dan celaan yang terus-menerus atas mereka. Ini balasan terhadap orang yang tidak syukur nikmat.
Sebagai muslim, kita yakin akan janji Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya bahwa orang yang memberikan hartanya untuk kebaikan, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala memberi ganti yang lebih baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٍ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya.” (Saba: 39)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim)
Baca juga: Bersedekahlah
Sejarah telah membuktikan bahwa orang yang mengimani firman Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam tersebut lalu mengamalkannya, Allah berkahi hartanya dan menjaganya dari kejahatan. Jadi, hartanya terus bertambah dan namanya senantiasa harum.
Akan tetapi, jika sebaliknya, Allah subhanahu wa ta’ala akan cabut berkah hartanya dan melenyapkannya. Ada yang habis hartanya karena dicuri, kebanjiran, untuk berobat, ditipu, dan yang lainnya. Ini baru sebagian hukuman dunia. Hukum di akhirat tentunya lebih dahsyat. Orang yang berakal tentu bisa melihat jalan mana yang sekiranya akan ditempuh.
Baca juga: Dahsyatnya Neraka
Akhirulkalam, hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita memohon agar Ia menjadikan kita orang yang mensyukuri nikmat-Nya. Semoga Dia menjaga kita agar tidak menjadikan dunia sebagai puncak tujuan kita.