Ketika mendengar kata bai’at, sebagian kita barangkali akan terbayang pada sebuah sikap ketundukan dan kesetiaan dari seorang pengikut jamaah (baca: Islam sempalan) kepada pemimpinnya. Realita yang ada memang menunjukkan mayoritas jamaah yang ada menerapkan aturan bai’at ini kepada anggota kelompoknya. Tentu dengan pemahaman keliru dari masing-masing kelompok tersebut.
Dari pemahaman keliru itu kemudian lahir perilaku menyimpang yang menjurus kepada perbuatan ekstrem, seperti rela menyerahkan sebagian besar hartanya untuk kelompoknya atau menganggap kafir orang-orang yang tidak berbai’at kepada pemimpin kelompoknya. Tulisan berikut mencoba mendudukkan permasalahan bai’at dalam perspektif Ahlus Sunnah, supaya kita mendapatkan pemahaman yang benar tentang bai’at dan menerapkannya secara benar pula.
Masalah bai’at merupakan salah satu topik menarik untuk dikaji saat ini. Pasalnya, masalah yang satu ini cukup ramai dibicarakan di dunia dakwah. Simpang siur pendapat dalam masalah ini pun cukup membuat bingung kaum muslimin bahkan para aktivis dakwah itu sendiri. Sementara itu, realita yang berkembang menunjukkan tidak sedikit dari mereka yang memahami hadits-hadits tentang bai’at dengan akal pikiran mereka semata, tanpa merujuk kepada penjelasan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Kondisi pun semakin runyam ketika kepentingan pribadi, kepentingan kelompok ataupun ideologi kelompok ikut berkompeten, sehingga tak ayal bila bai’at akhirnya menjadi senjata pamungkas untuk menjaring para pengikut jamaah dakwah agar tidak lepas darinya. Kalaulah akhirnya lepas juga, maka vonis khianat,
murtad dari jamaah, kafir, bahkan target operasi pembunuhan pun terkadang dijatuhkan, sebagaimana yang kerap dilakukan oleh ahlul bid’ah wal furqah. Wallahul musta’an.
Apa Itu Bai’at?
Bai’at ( بَيْعَةٌ ) merupakan bentuk mashdar dari ( بَاعَ-يَبِيعُ ), yang maknanya: Berjabat tangan atas terjadinya jual beli atau berjabat tangan untuk berjanji setia dan taat. (Lisanul ‘Arab, 1/195, cet. Daar Shadir)
Adapun secara terminologi maka maknanya adalah: Pengikatan janji setia dan taat kepada seorang pimpinan untuk selalu menaati perintahnya baik di kala senang ataupun terpaksa, serta menyerahkan segala urusan dirinya dan urusan kaum muslimin kepadanya, dengan tidak menentangnya sedikit pun dalam urusan itu. (Iklilul Karamah, karya al-Imam Shiddiq Hasan Khan, hlm. 26)
Pelaksanaan bai’at dilakukan dengan menjabat tangan pimpinan yang dibai’at, seraya mengatakan, “Aku membai’atmu” atau “Aku membai’atmu untuk selalu mendengar dan taat, di masa sulit atau mudah dan di kala senang atau terpaksa (sebatas kemampuanku –pen.).” Bila pembai’at itu dari kalangan wanita, maka cukup dengan ucapan tanpa berjabat tangan. (Lihat I’lamul Muwaqqi’in, 3/97)
Dan bai’at yang dilaksanakan ahlul halli wal ‘aqdi, sudah mewakili kaum muslimin di suatu negeri tertentu. Sehingga dengan bai’at mereka kaum muslimin di negeri tersebut menjadi wajib untuk mendengar dan taat kepada pemimpin yang telah dibai’at itu. (Lihat al-Ajwibah al-Mufidah, hlm. 134)
Siapakah yang Berhak Dibai’at?
Bai’at hanya berhak diberikan kepada seorang imam (pemimpin) kaum muslimin. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah kepada Ishaq bin Ibrahim bin Hani, “Tahukah kamu siapakah yang dimaksud dengan imam? Dia adalah seorang yang disepakati oleh kaum muslimin sebagai pemimpin mereka, itulah makna imam.” (Masa’il Ibni Hani no. 2011, dinukil dari Nashihah Dzahabiyyah, karya Masyhur Hasan Salman, hlm. 281; as-Sunnah karya al-Khalal, 1/81)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bai’at tidak (boleh) diberikan kecuali kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin. Adapun aneka ragam bai’at yang diberikan kepada selain pemimpin kaum muslimin maka merupakan bai’at yang bid’ah.” (Fiqhus Siyasah Asy-Syar’iyyah, hlm. 9—10)
Lalu bagaimana bila kaum muslimin tidak mempunyai pemimpin (khalifah) yang memimpin mereka secara keseluruhan di dunia ini, kepada siapakah mereka berbai’at?
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Para imam dari setiap mazhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam (khalifah) dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama sebelum al-Imam Ahmad sampai hari ini tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemimpin semata.” (ad-Durar as-Saniyyah, 7/239, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 34, lihat pula masalah ini dalam Iklilul Karamah hlm. 127)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di masing-masing daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasa pun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karena itu, (dalam kondisi seperti itu -pen.) tidak mengapa berbilangnya pemimpin dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing -pen.). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan -pen.) pimpinan tersebut untuk menaatinya.” (as-Sailul Jarrar, 4/512 dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 37)
Berdasarkan penukilan yang demikian jelas dari sebagian ulama di atas tentang boleh berbilangnya pemimpin, dikarenakan darurat dan kebutuhan (kaum muslim kepadanya-pen.), maka para pemimpin kaum muslimin yang ada di dunia ini (baik yang memimpin kerajaan ataupun negara-pen.) secara syar’i (sah) mempunyai wewenang sebagaimana wewenang al-Imam al-A’zham (khalifah) ketika masih ada, sehingga mereka berwenang untuk menegakkan hudud dan yang sejenisnya, mereka berhak untuk didengar dan ditaati serta tidak diperbolehkan keluar dari ketaatan terhadap mereka (baik dengan cara memberontak ataupun yang lainnya -pen.). (Mu’amalatul Hukkam, karya asy-Syaikh Abdus Salam Barjas hlm. 38)
Demikianlah perspektif Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Adapun ahlul bid’ah wal furqah, mereka terbagi menjadi 2 kelompok yang saling bertolak belakang :
Berkeyakinan bahwa bai’at hanya berhak diberikan kepada seorang khalifah yang memimpin kaum muslimin secara keseluruhan di dunia ini, lebih dari itu harus dari kalangan Quraisy.
Maka dari itu, seluruh pemimpin kaum muslimin yang ada di dunia saat ini baik presiden maupun raja tidak berhak dibai’at serta tidak berhak didengar dan ditaati perintah-perintahnya. (Disarikan dari al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hlm. 108)
Bantahan:
مَنْ خَرَجَ عَنِ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الَجمَاعَةَ وَمَاتَ فَمِيْتَتُهُ مِيْتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
“Barang siapa keluar dari ketaatan (kepada penguasa) dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin, lalu meninggal dunia, maka meninggalnya dalam keadaan jahiliah.” (HR. Muslim, Kitabul “Imarah,” 3/1476)
Beliau berkata, “Yang dimaksud keluar dari ketaatan (dalam hadits di atas-pen.) adalah (keluar dari) ketaatan terhadap pemimpin yang disepakati. Dan tampaknya yang dimaksud adalah pemimpin di wilayahnya masing-masing, karena sejak masa Daulah Abbasiyyah kaum muslimin di dunia ini tidak lagi berada dalam kepemimpinan seorang pemimpin (khalifah), bahkan masing-masing dari penduduk suatu daerah berdiri sendiri bersama seorang pemimpin yang mengatur urusan mereka. Kalaulah hadits ini diterapkan hanya pada seorang khalifah yang memimpin kaum muslimin secara keseluruhan di dunia ini, maka sangatlah sedikit fungsinya.” (Subulus Salam 3/347, cet. Darul Hadits)
Sementara itu, tidak ada seorang ulama Ahlus Sunnah pun di masa itu yang mengatakan bahwa para pemimpin daulah-daulah tersebut tidak berhak dibai’at, didengar, dan ditaati perintahnya.
Kalau kita perhatikan, hakikat kondisi kelompok pertama ini, maka sangatlah parah dan saling bertolak belakang. Bukankah tidak sedikit dari mereka yang meratapi runtuhnya Daulah Utsmaniyyah dengan ratapan histeris dan berlebihan? Padahal khalifah Daulah Utsmaniyyah ketika itu bukanlah khalifah yang memimpin kaum muslimin secara keseluruhan di dunia ini, lebih dari itu bukan dari kalangan Quraisy. (Lihat al-Quthbiyyah hlm.109)
Yang lebih memprihatinkan lagi, ternyata keyakinan di atas dijadikan sebagai motor penggiring bagi para pemuda Islam untuk bersikap berani, arogan, bahkan memberontak terhadap pemerintahnya. Atau sebagai doktrin agar para pemuda Islam benci dan memusuhi negeri tauhid Kerajaan Saudi Arabia. (Lihat al-Quthbiyyah, hlm. 107)
Tidak bisa dibayangkan bila kaum muslimin selalu berselisih dengan pemerintahnya… tidak pula terbayang bila kaum muslimin dipisahkan dengan negeri tauhid, pusat, dan jantung kekuatan Islam dunia… Bukankah musuh-musuh Islam akan bergembira dan bersorak-sorai?!
Berkeyakinan bahwa bai’at kepada para pemimpin kelompok-kelompok Islam itu boleh, bahkan wajib. (Lihat al-Quthbiyyah, hlm. 109)
Bantahan:
Hal ini sebagaimana pernyataan al-Imam Ahmad bin Hanbal (Masa’il Ibnu Hani no. 2011), al-Hafizh Ibnu Hajar (Fathul Bari, Kitabul Ahkam 13/122—131), al-Imam an-Nawawi (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Kitabul Imarah 12/403—448), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah 3/390, Majmu’ Fatawa 28/390—391), al-Imam Ibnul Qayyim (Miftah Darissa’adah 1/62), al-Imam Ibnu Rajab (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/222), al-Imam asy-Syaukani (as-Sailul Jarrar 4/556), al-Imam al-Ajurri (asy-Syari’ah, hlm. 28), al-Imam ath-Thahawi (Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 368), asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di (ar-Riyadhun Nadhirah, hlm. 49—50)[1], asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz (al- Ma’lum Min Wajibil ‘Ilaqah Bainal Hakim wal Mahkum), dan para ulama lainnya yang tak terhitung jumlahnya.
Hal itu—wallahu a’lam—karena dalam hadits-hadits bai’at dan imamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan beberapa lafadz, “Amir” (HR.Muslim no.1835, 1849), “Khalifah” (HR.Muslim no. 1853), “Imam” (HR.Muslim no.1841, 1844), “Waalin” (HR.Muslim, Kitabul Imarah no. 66), “Sulthan” (HR. Muslim, Kitabul Imarah no. 56), lafadz yang berbeda-beda namun maknanya satu, yakni pemimpin/penguasa kaum muslimin.
Karena kepemimpinan amir safar tidaklah bertentangan dengan bai’at yang diberikan kepada penguasa, kalau seandainya bertentangan maka tidak boleh dilakukan. Selain itu, kepemimpinan amir safar khusus di waktu safar saja. Jika telah berakhir safar tersebut maka berakhir pula kepemimpinannya, bahkan jika mereka saling berpisah (masih dalam keadaan safar) karena suatu hal yang mendesak berakhirlah kepemimpinan tadi. Bukankah bai’at dan kepemimpinan amir jamaah (menurut mereka) tidak berakhir sebagaimana berakhirnya safar?!
Bukankah di dalam praktiknya ketaatan kepada amir jamaah benarbenar segala-galanya, bahkan melebihi ketaatan kepada pemerintah?! Atas dasar itulah maka tidaklah sama antara keduanya.
Begitulah kebiasaan hizbiyyun dan ahlul bid’ah ketika kedok kesesatan mereka terbongkar, berusaha menutupi kesesatannya dengan kedok baru yang diharapkan dengannya bisa menipu dan menjaring pengikutnya.
Bahkan orang yang melakukan demikian ini tak ubahnya mirip dengan Jenghis Khan dan yang semisalnya, yang berkebiasaan memosisikan orang yang mendukungnya sebagai kawan dekatnya dan orang yang menyelisihinya sebagai musuh yang keji.” (Majmu’ Fatawa, 28/16)
Para pembaca, bukankah dengan aneka ragam bai’at/’ahd yang bid’ah ini kaum muslimin menjadi terkotak-kotak, saling menjatuhkan bahkan mengkafirkan orang-orang yang di luar kelompok/jamaahnya atau yang tidak berbai’at kepada pimpinannya?!
Cukuplah yang demikian itu sebagai bukti atas kebatilannya. Oleh karena itu, jauh-jauh hari seorang ulama besar dari kalangan tabi’in yang bernama Mutharrif bin Abdullah bin asy-Syikhkhir menolak dan mengingkari bai’at/ahd yang semacam ini, ketika Zaid bin Shuhan memerintahkan kepadanya dan para hadirin untuk membai’at dirinya. (Lihat Hilyatul Auliya’ 2/204, dan Siyar A’lamin Nubala’ 4/192)
Hukum Berbai’at
Dari keterangan yang lalu, tidaklah diragukan lagi bahwa berbai’at kepada pemimpin/penguasa kaum muslimin di negeri masing-masing merupakan sesuatu yang disyariatkan dalam agama Islam, sedangkan berbai’at kepada syaikh/murabbi/pimpinan jamaah dan yang sejenisnya tidaklah disyari’atkan bahkan termasuk perkara bid’ah.
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya bai’at (kepada pemimpin/penguasa kaum muslimin) tersebut adalah :
كُنَّا نبُاَيِعُ رَسُولَ اللهِ عَلىَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ. يَقُولُ لَنَا: فِيْمَا اسْتَطَعْتُ
“Dahulu kami membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan menaati perintah beliau, kemudian beliau katakan kepada kami, ‘(Katakanlah dalam bai’atmu), di dalam perkara yang aku mampu’.” (HR. Muslim no. 1867, lihat keterangan an-Nawawi tentang hadits ini)
Di antaranya adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa meninggal dunia dalam keadaan tidak berbai’at (kepada pemimpin/penguasanya -pen.) maka meninggalnya dalam keadaan jahiliah.” (HR. Muslim no. 1851 dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma)
مَنْ فَارَقَ الَجمَاعَة شِربًا فَقَدْ خَلعَ رِبقَة الِإْسْلَامِ مِنْ عُنُقِهِ
“Barang siapa memisahkan diri dari jamaah (kesatuan kaum muslimin) sejengkal saja, dia telah melepas kalung Islam dari lehernya.” (HR. Abu Dawud dari sahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 4758)
Hukum Orang yang Tidak Mau Berbai’at atau Mencabut Bai’atnya
Hukum orang yang seperti ini adalah berdosa besar, namun tidak dikafirkan. Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas “meninggalnya dalam keadaan jahiliah,” maka:
Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya, “Maka dia telah melepas kalung Islam dari lehernya,” maka tidak pula berarti kafir:
Demikian pula yang dijelaskan oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (8/131), al-Munawi dalam Faidhul Qadir (6/11), as-Suyuthi dalam syarahnya terhadap Sunan an-Nasa’i (8/65), tidak ada seorang pun dari mereka yang menggolongkannya ke dalam kekafiran.
Demikianlah secercah cahaya seputar masalah bai’at yang terpancar dari al-Qur’an dan as-Sunnah dengan keterangan para ulama tepercaya. Semoga hal ini menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.
Wallahu Waliyyut Taufiq.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc. & Al-Ustadz Qomar Su’aidi Lc.
[1] Sumber-sumber di atas, sebagian besarnya kami nukilkan dari kitab Wujubu Tha’atis Sulthan fi Ghairi Ma’shiyatir Rahman, karya Muhammad bin Nashir al-‘Uraini, hlm. 21-27.