Asysyariah
Asysyariah

bahaya menyelisihi ulama

13 tahun yang lalu
baca 7 menit
Bahaya Menyelisihi Ulama

Menyelisihi ulama bisa berakibat sangat fatal. Banyak kisah orang-orang terdahulu yang menyelisihi ucapan ulama berakhir dengan kehancuran.

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa ia menyatakan, Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di majelis dan bicara di hadapan orang-orang, datang seorang Arab Badui seraya menyatakan, kapan hari kiamat? Tapi Rasul tetap meneruskan pembicaraannya, sehingga sebagian yang hadir menyatakan, beliau mendengar apa yang dikatakan tapi beliau tidak suka dengan apa yang dikatakan. Sebagian yang lain menyatakan beliau tidak mendengarnya.

Sampai beliau menyudahi pembicaraannya lalu berkata, “Di mana orang yang bertanya tentang hari kiamat?”

Maka penanya berkata, “Ini saya, ya Rasulullah.”

Beliau berkata: “Jika amanah telah ditelantarkan maka tunggulah hari kiamat.” Ia menyatakan, “Bagaimana terlantarnya?” Jawabannya, “Jika sebuah perkara diserahkan kepada selain ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.”

Dalam hadits lain terdapat ancaman kesesatan untuk yang tidak rujuk kepada ulama dalam fitnah. Sabdanya, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba akan tetapi mencabutnya dengan mewafatkan para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan lagi seorang ulama. Manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pimpinan, maka ditanyalah pimpinan-pimpinan itu sehingga berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr)

Mudah-mudahan dua hadits ini bisa mencegah kelalaian banyak kaum muslimin terhadap perkara tersebut.

Fitnah Ibnu Muthi’

لَقَدۡ كَانَ فِي قَصَصِهِمۡ عِبۡرَةٞ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِۗ

“Sungguh benar-benar pada kisah mereka itu ada ibrah (pelajaran) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (Yusuf: 111)

Dalam sejarah Islam, kejadian Al-Harrah adalah kejadian yang sangat masyhur sekaligus sangat menyedihkan. Orang yang mendengarnya niscaya akan berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala darinya.

Mulanya ketika Yazid bin Mu’awiyah menjabat sebagai khalifah setelah ayahnya, tersebar berita-berita buruk tentangnya, khususnya berita tentang kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukannya. Sampailah berita itu kepada sebagian kaum muslimin, di antaranya Abdullah bin Muthi’. Mendengar hal itu, bangkit ghirah keagamaannya.

Ringkas cerita, ia bertekad mencabut baiatnya terhadap Yazid dan melakukan kudeta. Maka ia mengirim utusan guna mengultimatum Yazid dan mengajaknya untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan diberi waktu sampai tiga hari. Sepulangnya mereka ke Madinah, Abdullah bin Muthi’ bersama rekan-rekannya mendatangi Muhammad bin Hanafiyah, putra Ali bin Abi Thalib. Mereka menginginkan beliau untuk bersama-sama memberontak Yazid, tapi beliau menolaknya.

Berkatalah Ibnu Muthi’, “Sesungguhnya Yazid minum khamr, meninggalkan shalat dan melanggar hukum Al Qur’an.”

Muhammad bin Hanafiyah menjawab, “Aku tidak melihat apa yang kalian sebutkan pada dirinya. Dan aku pernah mendatanginya bahkan tinggal di sana, justru yang aku lihat dia selalu shalat, mencari kebaikan, bertanya masalah fiqh dan berpegang kuat dengan sunnah.”

Mereka menyatakan, “Itu dibuat-buat karena dia di hadapanmu.”

Jawabnya: “Apa yang dia takutkan atau yang dia harapkan dariku sehingga dia perlu menampakkan kekhusyukannya di hadapanku? Apakah dia menampakkan kepada kalian meminum khamr? Jika dia menampakkan kepada kalian yang demikian berarti kalian sama dengan dia. Tapi jika tidak, maka tidak halal bagi kalian bersaksi tentangnya sesuatu yang kalian tidak ketahui.”

Mereka katakan, “Sesungguhnya menurut kami benar adanya walaupun kami tidak melihatnya.”

Beliau menjawab, “Allah subhanahu wa ta’ala menolak yang demikian pada orang yang bersaksi. Firman-Nya: ‘Kecuali orang yang bersaksi dengan Al Haq sedang mereka mengetahui’. Aku tidak ikut-ikutan urusan kalian sedikitpun.”

Mereka katakan, “Mungkin engkau tidak suka kalau yang memimpin selainmu, jika demikian kami jadikan engkau pimpinan kami.”

Beliau menjawab, “Aku tidak menghalalkan pemberontakan ini sebagaimana yang kalian inginkan dariku baik aku jadi pemimpin atau yang dipimpin.”

Mereka katakan, “Dulu engkau ikut bersama ayahmu berperang (yakni melawan Muawiyah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala ridha pada mereka).”

Jawabnya, “Datangkan kepadaku orang yang seperti ayahku. Aku akan memerangi seperti yang diperangi ayahku.”

Mereka katakan, “Kalau begitu perintahkan dua anakmu Abul Qosim dan Qosim untuk berperang bersama kami.”

Beliau menjawab, “Kalau aku perintahkan keduanya, aku juga akan berperang.”

Mereka katakan, “Kalau begitu bangkitlah bersama kami untuk sekedar menganjurkan orang berperang bersama kami.”

Beliau menjawab, “Subhanallah, apakah aku akan memerintahkan kepada orang-orang sesuatu yang aku tidak melakukan dan meridhainya? Kalau begitu aku tidak punya maksud baik pada hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala.”

Mereka katakan, “Kalau begitu kami akan membencimu.”

Beliau menjawab, “Kalau begitu aku akan memerintahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak mencari ridhanya mahkluk dengan kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala.” Lalu beliau pergi ke Makkah.

Datang Abdullah bin Umar kepada Abdullah bin Muthi’, maka Ibnu Muthi’ menyatakan, “Berikan bantal kepada Abi Abdirahman (yakni Ibnu Umar).”

Ibnu Umar menjawab, “Aku tidak datang kepadamu untuk duduk, akan tetapi aku datang untuk memberitahumu sebuah hadits yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Barangsiapa mencabut tangannya dari bai’at, ia akan bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barangsiapa meninggal sedangkan tiada bai’at di lehernya dia akan meninggal seperti meninggalnya orang-orang jahiliyah.” (Shahih, HR. Muslim bersama kisahnya)

Ibnu Katsir menuturkan, “Ketika orang-orang Madinah keluar dari ketaatan Yazid dan menjadikan Ibnu Muthi’ dan Ibnu Handhalah sebagai pimpinan mereka, mereka tidak menyebutkan tentang Yazid -mereka adalah orang-orang yang sangat benci terhadapnya- kecuali bahwa Yazid minum khamr dan melakukan hal-hal yang kotor…

Sedang Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma  dan banyak dari keluarga Nabi tidak mencabut bai’at dari Yazid bin Muawiyah. Ibnu Umar bahkan mengumpulkan anak-anak dan keluarganya kemudian menyatakan, ‘Sungguh kita telah berbai’at kepada orang ini di atas bai’at kepada Allah dan Rasul-Nya dan sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh orang yang berkhianat, nanti pada hari kiamat akan ditancapkan untuknya sebuah bendera, lalu dikatakan ini adalah pengkkhianatan fulan.” (ShahihHR. Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi. Lihat Shahihul Jami’ 1682)

Dan sungguh, termasuk pengkhianatan yang paling besar -selain syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala– adalah seorang yang berbai’at kepada orang lain di atas bai’at kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya lalu ia membatalkannya. Maka janganlah seorangpun di antara kalian mencabut bai’atnya dari Yazid dan jangan seorangpun di antara kalian melampaui batas dalam masalah ini sehingga ini menjadi pemisah antara aku dan dia’.”

Pada tahun 63 H sampai berita kepada Yazid bahwasanya orang-orang Madinah ingin memberontak dan keluar dari kepemimpinannya. Maka ia mengirim tentara yang cukup besar dengan perintah memerangi mereka yang dipimpin oleh Muslim bin Uqbah. Mereka diperingatkan untuk kembali taat kepada Yazid bin Mu’awiyah dalam waktu tiga hari. Jika tidak, mereka akan memasuki kota Madinah dengan pedang. Akhirnya tentara-tentara itu membunuh, merampas, dan menyingkap kehormatan wanita.

As-Suyuthi menukilkan dari Al-Hasan Al-Bashri, ucapannya: “Demi Allah, hampir-hampir tidak ada seorang pun yang selamat darinya.”

Beberapa shahabat meninggal dalam kejadian itu, di antaranya Buraidah bin Khushaib dan Ummu Salamah. (Bidayah dan Nihayah, 8/232-233, Wasiyat Kubra Ibnu Taimiyah hal. 45, Tarikh-Khulafa` hal. 237-238, Mu’amalatul Hukkam hal. 19-22)

Sungguh menyedihkan kejadian itu. Kota Madinah yang Allah subhanahu wa ta’ala muliakan, para shahabat yang Allah subhanahu wa ta’ala ridhai, wanita-wanita yang Allah subhanahu wa ta’ala kasihi, semuanya seakan tak bernilai dalam kejadian itu. Apakah sebab sebenarnya? Nampak jelas dalam kisah itu bahwa hal ini disebabkan mereka tidak mengambil nasehat para ulama dalam fitnah ini. Mereka lebih mengikuti dorongan semangat dan ghirah keagamaan yang tidak dilandasi dengan ketakwaan yang hakiki dan ilmu yang mapan. Jadikanlah kisah ini sebagai pelajaran.

Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi,Lc.