Asysyariah
Asysyariah

bahaya laten penyimpangan akidah

13 tahun yang lalu
baca 14 menit
Bahaya Laten Penyimpangan Akidah

Bagi seorang muslim, keharusan memiliki akidah yang benar merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Baginya, kedudukan akidah yang benar seperti kepala bagi jasad. Di atas akidah yang benar inilah akan dibangun segala amal perbuatannya, yang nantinya akan menentukan bermanfaat atau tidaknya amalan tersebut di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.

Dalam pembahasan yang telah lewat, kita telah mengenal tentang awal mula terjadinya kerusakan fitrah pada manusia dan siapa yang mendalangi kerusakan tersebut. Kerusakan terbesar yang menodai kesucian fitrah setiap insan adalah penyimpangan di dalam akidah. Kerusakan inilah yang menjadi tujuan akhir dari setiap gerakan setan, yang berlayar dan berlabuh di atas kesucian fitrah manusia dengan senjata yang sulit tertandingi kecuali oleh orang-orang yang mendapat rahmat dan taufik serta hidayah dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Two-dua-2

Dua senjata ampuh setan dalam merusak fitrah manusia adalah syubhat dan syahwat. Dengan syubhat yang disebarkan setan, sesuatu yang haq bisa menjadi samar-samar bahkan menjadi batil dan sebaliknya yang batil bisa menjadi haq dalam pandangan orang yang terfitnah (menyimpang). Dengan syubhatnya pula, tauhid bisa menjadi syirik dan sebaliknya syirik bisa menjadi tauhid. Pun dengan syubhatnya, sunnah bisa menjadi bid’ah dan bid’ah bisa menjadi sunnah, demikian seterusnya.

Adapun syahwat, maka dengannya semua keharaman akan mudah dilakukan serta menjadi sesuatu yang menyenangkan dan mendatangkan kepuasan hidup; berzina, berjudi, minum khamr, membunuh, mencaci-maki, menyakiti, berbuat sihir, mencuri, dan segala bentuk keharaman lainnya.

Bila umat berkubang dalam kerusakan fitrah dan akidah, maka tidak ada penyebabnya selain syubhat dan syahwat. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan di dalam Al-Qur’an:

وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَئِمَّةٗ يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا لَمَّا صَبَرُواْۖ وَكَانُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ ٢٤

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (as-Sajdah: 24)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dengan kesabaran dan keyakinan akan didapatkan kepemimpinan dalam agama di muka bumi ini.”

As-Sa’di dalam Tafsir-nya (hlm. 656) mengatakan, “Derajat yang tinggi ini mereka peroleh dengan kesabaran dalam belajar dan mengajar, berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, bersabar terhadap gangguan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, dan menahan diri-diri mereka untuk berlabuh dalam lautan maksiat dan lautan syahwat.

‘Mereka yakin dengan ayat-ayat Kami’ artinya dengan keimanan mereka terhadap ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala, mereka sampai ke derajat yakin, yaitu ilmu yang sempurna yang menuntut amal. Mereka sampai ke derajat yakin karena mereka belajar dengan benar dan mengambil ilmu tersebut dengan dalil-dalilnya yang membuahkan keyakinan. Mereka mempelajari terus-menerus ilmu dengan dalil-dalilnya sehingga mengantarkan mereka ke derajat yakin. Maka dengan kesabaran dan keyakinan akan diperoleh kepemimpinan dalam agama.”

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pelajaran besar bahwa untuk mematahkan kedua senjata iblis tersebut adalah dengan cara mempelajari ilmu dan bersabar. Dengan ilmu, akan terpatahkan segala wujud dan bahaya syubhat, serta dengan kesabaran akan bisa terpadamkan kobaran api syahwat.

Akidah adalah Fondasi Islam

pondasi batu

Akidah adalah sesuatu yang sangat penting karena di atasnya dibangun amalan-amalan seorang muslim. Artinya, bila akidah ini rusak maka amalan yang terbangun di atasnya akan ikut rusak pula. Akidah terhadap amalan bagaikan ruh terhadap jasad seseorang. Nilai sebuah amalan tergantung pada bagus atau tidaknya dasar amalan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma:

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: بُنِيَ الْإِسْلاَمُ عَلىَ خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Islam di bangun di atas lima dasar: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 7 dan Muslim no. 16)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya hadits ini adalah dasar yang agung dalam mengilmui agama dan di atas dasar inilah Islam tegak. Hadits ini telah menghimpun rukun-rukun agama.” (Syarah Shahih Muslim, 1/152)

Akidah yang Benar

Telah disebutkan bahwa akidah merupakan ruh dari seluruh amalan di dalam Islam. Akan tetapi pada kenyataannya banyak jenis akidah berkembang di tengah kaum muslimin. Manakah yang menjadi fondasi Islam tersebut? Dan manakah akidah yang bukan menjadi fondasinya?

Akidah yang benar adalah akidah yang terambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akidah inilah yang menjadi fondasi Islam dan yang menjadi asas diterimanya seluruh amalan. Inilah makna ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika beliau menyatakan, “Aku beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan (kepada) apa-apa yang diutus-Nya sesuai dengan apa yang dimaukan-Nya.”[1] (ar-Risalah, hlm. 7, Majmu’ Fatawa, 4/182—184, dan Ijtima’ al-Juyusy, hlm. 164—165)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ucapan asy-Syafi’i (tersebut) adalah haq, wajib atas setiap muslim untuk meyakininya. Barang siapa meyakininya dan tidak melakukan apa-apa yang akan membatalkannya maka sungguh dia telah menempuh jalan keselamatan di dunia dan di akhirat.”

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ucapan al-Imam asy-Syafi’i mengandung keimanan kepada apa yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala di dalam kitab-Nya sesuai dengan apa yang dimaukan-Nya tanpa menambah, mengurangi, dan menyelewengkannya.” (Lum’atul I’tiqad, hlm. 37)

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Telah jelas dengan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa amalan-amalan serta semua ucapan akan sah diterima apabila muncul dari akidah yang benar. Apabila akidah tersebut batil maka batal pula seluruh amalan dan ucapan yang dibangun di atasnya. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَٰنِ فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُۥ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٥

“Barang siapa yang mengingkari keimanan maka sungguh telah terhapus amalannya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (al-Maidah: 5)

وَلَقَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكَ لَئِنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ ٦٥

Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu (bahwa) jika kamu menyekutukan Allah niscaya benar-benar amalmu akan terhapus dan kamu benar-benar termasuk orang-orang yang merugi.” (az-Zumar: 65)

Ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak sekali. Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa akidah yang benar adalah akidah yang terhimpun dan terangkum di dalam rukun iman yaitu beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari kiamat, dan kepada takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang baik ataupun buruk. Perkara yang enam ini merupakan prinsip-prinsip dasar akidah yang benar, yang karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur’an dan Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. (al-‘Aqidah ash-Shahihah, hlm. 3)

Tauhid

Kesimpulannya, akidah yang benar adalah akidah yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akidah yang benar ini adalah asas yang Islam dibangun di atasnya dan fondasi dibangunnya seluruh amalan dan ucapan yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.

Akidah yang Rusak

Akidah yang rusak adalah lawan akidah sahihah. Yaitu akidah yang terambil dari peninggalan nenek moyang (taklid), dari fanatisme golongan, jamaah, atau individu, dan yang terambil dari akal. Tentang akidah yang rusak ini, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan di dalam firman-Nya:

وَكَذَٰلِكَ مَآ أَرۡسَلۡنَا مِن قَبۡلِكَ فِي قَرۡيَةٖ مِّن نَّذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتۡرَفُوهَآ إِنَّا وَجَدۡنَآ ءَابَآءَنَا عَلَىٰٓ أُمَّةٖ وَإِنَّا عَلَىٰٓ ءَاثَٰرِهِم مُّقۡتَدُونَ ٢٣ ۞قَٰلَ أَوَلَوۡ جِئۡتُكُم بِأَهۡدَىٰ مِمَّا وَجَدتُّمۡ عَلَيۡهِ ءَابَآءَكُمۡۖ قَالُوٓاْ إِنَّا بِمَآ أُرۡسِلۡتُم بِهِۦ كَٰفِرُونَ ٢٤

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata, ‘Apakah kamu akan mengikuti mereka, sekalipun aku membawa untuk kalian (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami mengingkari yang kamu diutus untuk menyampaikannya’.” (az-Zukhruf: 23—24)

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡ‍ٔٗا وَلَايَهۡتَدُونَ ١٧٠

“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir), ‘Ikutilah apa yang diturunkan oleh Allah!’ Mereka mengatakan, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?” (al-Baqarah: 170)

فَلَمَّا جَآءَهُم مُّوسَىٰ بِ‍َٔايَٰتِنَا بَيِّنَٰتٖ قَالُواْ مَا هَٰذَآ إِلَّا سِحۡرٞ مُّفۡتَرٗى وَمَا سَمِعۡنَا بِهَٰذَا فِيٓ ءَابَآئِنَا ٱلۡأَوَّلِينَ ٣٦

“Maka tatkala Musa datang kepada mereka dengan membawa mukjizat-mukjizat Kami yang nyata, mereka berkata, ‘Ini tidak lain hanyalah sihir yang dibuat-buat dan kami belum pernah mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami dulu’.” (al-Qashash: 36)

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَقَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓۚ أَفَلَا تَتَّقُونَ ٢٣ فَقَالَ ٱلۡمَلَؤُاْ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَوۡمِهِۦ مَا هَٰذَآ إِلَّا بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُرِيدُ أَن يَتَفَضَّلَ عَلَيۡكُمۡ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَأَنزَلَ مَلَٰٓئِكَةٗ مَّا سَمِعۡنَا بِهَٰذَا فِيٓ ءَابَآئِنَا ٱلۡأَوَّلِينَ ٢٤ إِنۡ هُوَ إِلَّا رَجُلُۢ بِهِۦ جِنَّةٞ فَتَرَبَّصُواْ بِهِۦ حَتَّىٰ حِينٖ ٢٥

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah  Allah oleh kalian, (karena) sekali-kali tidak ada sembahan bagi kalian selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya).’

Maka pemuka-pemuka orang yang kafir di antara kaumnya menjawab, ‘Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kalian, yang bermaksud hendak menjadi orang yang lebih tinggi dari kalian. Dan kalau Allah menghendaki, tentu dia mengutus beberapa orang malaikat, belum pernah kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada masa nenek moyang kami dahulu.

Ia tidak lain hanyalah seseorang lelaki yang berpenyakit gila, maka tunggulah (sabarlah) terhadapnya sampai suatu waktu’.” (al-Mu’minun: 23—25)

ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُوٓاْ إِلَٰهٗا وَٰحِدٗاۖ لَّآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ سُبۡحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشۡرِكُونَ ٣١

“Mereka menjadikan orang alim dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa.” (at-Taubah: 31)

Ayat ini ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu ketika ia datang dalam keadaan sudah menjadi seorang muslim (sebelumnya ia adalah seorang Nasrani) sebagaimana riwayat al-Imam Ahmad dalam Musnad beliau (4/378) dan al-Imam at-Tirmidzi (no. 3094). ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu menemui Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat ini.

‘Adi bin Hatim berkata, “Mereka tidak menyembahnya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bahkan (mereka menyembahnya), (bukankah) mereka (orang alim dan pendeta-pendeta tersebut) telah mengharamkan apa yang dihalalkan atas mereka, dan menghalalkan apa yang telah diharamkan atas mereka, lantas mereka mengikutinya? Itulah penyembahan kepada mereka.” (Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Ghayatul Maram no. 6)

gelas-penuh

Ayat-ayat di atas menjelaskan corak akidah batil yang diambil dari ajaran nenek moyang, ajaran individu, atau kelompoknya. Ayat-ayat di atas juga menjelaskan corak kehidupan jahiliah yang melilit leher-leher mereka dengan belenggu taklid. Juga corak kehidupan Yahudi dan Nasrani yang dikungkung dalam penjara ghuluw (berlebihan) dalam menyikapi tokoh-tokoh mereka.

Oleh karena itu, mereka terus-menerus berlayar di lautan kebodohan dengan perahu tanpa nakhoda. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah dalam kitab Masa’il al-Jahiliah mengatakan, “Sesungguhnya keyakinan (agama) mereka dibangun di atas prinsip-prinsip dasar yang paling besar yaitu taklid (mengekor), dan ini merupakan kaidah besar pada seluruh agama kekafiran yang dulu ataupun yang terakhir.”

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan bahwa orang-orang yang menyelisihi akidah yang benar dan terus berjalan dalam memeranginya jumlahnya banyak sekali.

makam-keramat-cinunuk-garut

Pertama, para penyembah patung, berhala, malaikat, wali-wali, jin, pohon-pohon, batu-batu, dan lain sebagainya.

Kedua, orang-orang yang berakidah ilhad (ingkar/menyeleweng) di masa sekarang ini, yang mereka adalah pengikut Marxis dan Lenin serta penyeru-penyeru ilhad dan kufur selain mereka, apa pun istilah mereka; kapitalisme, komunisme, ba’tsiyyah (sosialisme), dan sebagainya. Karena konsep dasar mereka adalah tidak ada Tuhan dan bahwa kehidupan itu hanyalah materi. Termasuk prinsip dasar mereka adalah ingkar kepada hari akhir, ingkar kepada surga, neraka, dan seluruh agama.

Ketiga, apa-apa yang diyakini oleh sebagian aliran kebatinan atau sebagian orang-orang sufi bahwa di antara tokoh atau wali-wali mereka ada yang berkedudukan seperti Allah subhanahu wa ta’ala dalam pengaturan alam ini dan mereka namakan dengan aqthab, autad, aqwas, dan sebagainya. (disarikan dari al-‘Akidah ash-Shahihah secara ringkas, hlm. 20 dan seterusnya)

Bahaya Kerusakan Akidah

Bahaya kerusakan akidah bersifat laten baik terhadap individu, jamaah, maupun umat di dunia dan di akhirat. Di antara bahaya-bahayanya adalah:

  1. Menjerumuskan seseorang atau jamaah ke dalam lubang kesyirikan dan kekufuran serta pengingkaran terhadap akidah yang benar yang diturunkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan dibawa oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Menolak ketentuan-ketentuan syariat dan mengutamakan ajaran nenek moyang, fanatisme akal, dan sebagainya daripada ketentuan-ketentuan syariat tersebut.
  3. Mengakibatkan kehinaan, keterbe-lakangan, dan kerendahan umat Islam sepanjang masa dan tempat.
  4. Memecah-belah persatuan umat, menghancurkan kejayaan mereka serta kemenangan demi kemenangan yang telah mereka raih.
  5. Menjauhkan kaum muslimin dari pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
  6. Menyebabkan terjatuh ke dalam neraka dan kekal di dalamnya (dinukil secara makna dari al-‘Akidah al-Islamiyyah, hlm. 22 dan seterusnya).

Seruan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Umat

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ٱتَّبِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُمۡ وَلَا تَتَّبِعُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَۗ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ ٣

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya, amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran (darinya).” (al-A’raf: 3)

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ ١١٦

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta.” (al-An’am: 116)

قُلۡ يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ غَيۡرَ ٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوٓاْ أَهۡوَآءَ قَوۡمٖ قَدۡ ضَلُّواْ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرٗا وَضَلُّواْ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ ٧٧

“Katakanlah, ‘Wahai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (al-Maidah: 77)

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman


Sumber Bacaan:

  • Al-Qur’an Al-Karim
  • Shahih al-Bukhari
  • Shahih Muslim
  • Riyadhush Shalihin
  • Tafsir as-Sa’di
  • Syarah Masa’il al-Jahiliah
  • al-‘Aqidah ash-Shahihah
  • al-’Aqidah al-Islamiyyah
  • Lum’atul I’tiqad, dll.

 


 

[1] Dalam riwayat lain, “Aku beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan semua yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.” (Syarah Lum’atul I’tiqad, hlm. 36) [red.]