(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq)
Ada beberapa wirid yang pernah dibaca oleh Rasulullah n saat berdiri i’tidal ini. Suatu saat Rasulullah n membaca satu zikir, di saat lain membaca zikir yang lain pula.
1. Rasulullah n membaca:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
“Wahai Rabb kami, hanya untukmulah segala pujian.” (HR. al-Bukhari no. 732 dan Muslim no. 866 dari Abu Hurairah z)
2. Rasulullah n kadang membacanya tanpa huruf wawu (HR. Bukhari no. 789), yaitu:
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
3. Kadang-kadang pula Rasulullah n menambahkan kata Allahumma (yang bermakna: Ya Allah) di depan wirid di atas sehingga bacaannya menjadi:
اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
“Ya Allah, Rabb kami, hanya untukmulah segala pujian.” (HR. al-Bukhari no. 795 dari Abu Hurairah z)
4. Atau beliau membacanya tanpa wawu:
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
(HR. Muslim no. 902 dari Abu Musa al-Asy’ari z)
Faedah
Al-Imam an-Nawawi t berkata, “Terdapat hadits-hadits sahih yang menetapkan adanya huruf wawu dan tidak dibacanya huruf wawu. Riwayat yang banyak menyebutkan kedua-duanya. Pendapat yang terpilih adalah keduanya dibolehkan1, tanpa ada yang perlu ditarjih (dikuatkan).” (al-Minhaj, 4/342)
Yang utama dilakukan dalam hal ini adalah sekali waktu mengucapkan zikir yang ini, dan di waktu lain mengucapkan zikir yang lain lagi, demikian seterusnya. Melakukan keragaman demikian akan memberi tiga faedah:
1. Menjaga sunnah
2. Mengikuti sunnah
3. Menghadirkan hati/mengingatkannya. (asy-Syarhul Mumti’, 3/98)
5. Terkadang setelah mengucapkan: اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ, Rasulullah n menambahkan dengan:
مِلْءَ2 السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
“Sepenuh langit dan sepenuh bumi, serta sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya.” (HR. Muslim no. 1067 dari hadits Abdullah ibnu Abi Aufa z)
6. Terkadang dengan:
مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّناَءِ وَالْمَجْدِ، لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Sepenuh langit dan sepenuh bumi, serta sepenuh apa yang ada di antara keduanya dan sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya. Engkau adalah Dzat yang berhak mendapat pujian dan kemuliaan. Tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau tahan. Tidak bermanfaat bagi-Mu kemuliaan/kedudukan orang yang memiliki kemuliaan.” (HR. Muslim no. 1072 dari Ibnu Abbas z)
7. Terkadang dengan:
مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْد، أَهْلَ الثَّناَءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ. اللَّهُمَّ، لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Sepenuh langit dan sepenuh bumi, serta sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya. Engkau adalah Dzat yang berhak mendapat pujian dan kemuliaan. (Ucapan ini) yang paling pantas diucapkan seorang hamba. Dan semua kami adalah hamba-Mu semata. Ya Allah, tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau tahan. Tidak bermanfaat dari-Mu kemuliaan/kedudukan orang yang memiliki kemuliaan. (HR. Muslim no. 1071 dari Abu Sa’id al-Khudri z)3
8. Sekali waktu dalam shalat Lail, Rasulullah n mengucapkan:
لِرَبِّي الْحَمْدُ، لِرَبِّي الْحَمْدُ
“Hanya untuk Rabb segala pujian, hanya untuk Rabbku segala pujian.”
Beliau terus mengulang-ulangi ucapan ini, hingga lama berdirinya saat itu sama dengan lama ruku’nya. Padahal lama ruku’ beliau mendekati lamanya beliau berdiri pada rakaat yang pertama, yang beliau membaca surat al-Baqarah.4 (HR. Abu Dawud no. 874 dan yang lainnya dari hadits Hudzaifah z, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan al-Irwa’ no. 335)
9. Pernah seseorang yang shalat di belakang Rasulullah n membaca bacaan di bawah ini saat bangkit dari ruku’ setelah ucapan سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَه:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ5
“Wahai Rabb kami, hanya untuk-Mu lah segala pujian. Pujian yang banyak, yang baik, yang diberkahi di dalamnya.”
Seselesainya dari shalat, Rasulullah n bertanya, “Siapa yang mengucapkannya6 tadi?”
Orang itu berkata, “Saya, wahai Rasulullah.”
Rasulullah n bersabda, “Sungguh aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang paling dahulu mencatatnya.” (HR. al-Bukhari no. 799 dari hadits Rifa’ah ibnu Rafi’ z)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (bersambung)
Catatan Kaki:
1 Boleh membacanya dengan memakai huruf wawu dan boleh pula tidak.
2 Kata (مِلْءَ) bisa dibaca dengan dhammah atau dengan fathah.
3 Hadits ini, kata al-Imam asy-Syaukani t, merupakan dalil disyariatkannya memanjangkan i’tidal dari ruku dan mengucapkan zikir ini. Banyak hadits yang menyebutkan panjangnya i’tidal ini. (Nailul Authar, 2/111)
4 Keterangan ini membantah pendapat yang mengatakan bahwa berdiri i’tidal adalah rukun yang pendek, sebagaimana sebuah pendapat dalam mazhab Syafi’iyyah. Yang benar, berdiri i’tidal merupakan rukun yang panjang. Yang lebih memperjelas lagi tentang panjangnya rukun ini adalah hadits Anas ibnu Malik z yang dibawakan oleh Tsabit dari beliau. Anas berkata, “Aku ingin shalat mengimami kalian dengan tata cara yang pernah aku lihat Rasulullah n mengimami kami.”
Tsabit berkata, “Anas melakukan sesuatu yang aku belum pernah melihat kalian melakukannya. Apabila Anas mengangkat kepalanya dari ruku, ia berdiri tegak (dalam waktu lama) sampai-sampai ada yang berkata, ‘Anas lupa.’ Saat mengangkat kepalanya dari sujud, ia diam lama, hingga ada yang mengira, ‘Sungguh, Anas lupa’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
5 Dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan selainnya ada tambahan pada akhir bacaan lelaki tersebut yaitu:
مُبَارَكًا عَلَيْهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضى
Tambahan ini sahih, sebagaimana dinyatakan demikian oleh al-Imam al-Albani dalam Shifat Shalat Nabi n.
6 Rasulullah n mengisyaratkan bacaan yang dibaca lelaki yang disebutkan di atas.