Profesi dukun banyak bertebaran di sekitar kita. Mereka mengklaim bisa membantu urusan manusia dalam banyak hal, mulai dari mencari kesembuhan sampai meluluskan berbagai hajat. Bolehkah kita meminta tolong pada dukun? Bahasan berikut menjawab pertanyaan ini sekaligus melengkapi pembahasan edisi lalu.
Hukum mendatangi dukun secara umum adalah haram sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa sabdanya.
Beberapa orang bertanya kepada Rasulullah tentang dukun-dukun. Rasulullah berkata kepada mereka “Mereka tidak (memiliki) kebenaran sedikit pun.”
Mereka (para sahabat) berkata, “Terkadang para dukun itu menyampaikan sesuatu dan benar terjadi.”
Rasulullah menjawab, “Kalimat yang mereka sampaikan itu datang dari Allah yang telah disambar (dicuri, red) oleh para jin, lalu para jin itu membisikkan ke telinga wali-walinya sebagaimana berkoteknya ayam dan mereka mencampurnya dengan seratus kedustaan.” ( HR. al-Bukhari no. 5429, 5859, 7122 dan Muslim no. 2228)
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, saya baru masuk Islam yang datang dari sisi Allah, dan sesungguhnya di antara kami ada yang suka mendatangi para dukun.”
Beliau bersabda, “Jangan kalian mendatangi para dukun.”
Dia (Mu’awiyah ibnul Hakam) berkata, Aku berkata, “Di antara kami ada yang gemar melakukan tathayyur (percaya bahwa gerak-gerik burung memiliki pengaruh pada nasib seseorang).”
Beliau berkata, “Demikian itu adalah sesuatu yang terlintas dalam dada mereka, maka janganlah menghalangi mereka dari aktivitas mereka (untuk berangkat -pen./yakni gerakan burung itu jangan menghalangi orang-orang tersebut untuk berbuat sesuatu -ed).” (HR. Muslim, no. 735)
“Barang siapa yang mendatangi tukang ramal maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh malam.” (HR. Muslim, no. 2230)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memakan harga anjing (keuntungan dari menjual anjing -ed), hasil pelacuran dan hasil perdukunan.” (HR. al-Bukhari no. 5428, dan Muslim no. 1567)
“Barang siapa mendatangi tukang ramal atau dukun lalu dia membenarkan “Katakan bahwa tidak ada seorang pun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara gaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” apa-apa yang dikatakan maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 2006, dinukil dari al-Qaulul Mufid)
Asy-Syaikh Muhammad bin Saleh al-’Utsaimin mengatakan, “Dari hadits ini diambil hukum haramnya mendatangi dan bertanya kepada mereka (dukun) kecuali apa-apa yang dikecualikan dalam masalah ketiga dan keempat (sebagaimana pada paragraf selanjutnya-red). Sebab dalam mendatangi dan bertanya kepada mereka terdapat kerusakan yang amat besar, yang berakibat mendorong mereka untuk berani (mengerjakan hal-hal perdukunan-red) dan mengakibatkan manusia tertipu dengan mereka, padahal mayoritas mereka datang dengan segala bentuk kebatilan.” (al-Qaulul Mufid, 2/64)
Adapun jawaban secara rinci tentang hukum mendatangi para dukun dan
bertanya kepada mereka adalah:
“Barang siapa mendatangi tukang ramal atau dukun lalu dia membenarkan apa-apa yang dikatakan maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.”
Penetapan adanya ancaman dan siksaan karena bertanya kepada mereka, menunjukkan haramnya perbuatan itu, sebab tidak datang sebuah ancaman melainkan bila perbuatan itu diharamkan.
“Katakan bahwa tidak ada seorang pun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara gaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.” (an-Naml: 65)
“Apa yang aku sembunyikan buatmu?”
Ibnu Shayyad berkata, “Addukh (asap).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Diam kamu! Kamu tidak lebih dari seorang dukun.” (HR. al-Bukhari no. 1289 dan Muslim no. 2930)
Dukun, Penciduk Agama dan Harta
Tidak ada keraguan bagi orang yang telah menikmati ilmu as-Sunnah dan tidak ada sesuatu yang tersembunyi bagi mereka tentang kejahatan para dukun dan tukang ramal. Mereka adalah para penciduk agama dan juga harta.
Penciduk agama artinya mereka telah merusak keyakinan kaum muslimin khususnya dalam masalah ilmu gaib. Bahkan dengan sebab mereka, seseorang bisa menjadi kafir keluar dari agama.
Mereka adalah perusak salah satu prinsip agama bahkan fondasi keimanan yaitu beriman dengan perkara yang gaib, karena perkara gaib ilmunya hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Itulah al-Kitab yang tidak ada keraguan padanya menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang beriman dengan perkara yang gaib.” (al-Baqarah:2—3)
“Katakan: Tidak ada siapa pun yang ada di langit dan di bumi mengetahui perkara gaib selain Allah dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (an-Naml: 65)
“Allah tidak memperlihatkan kepada kalian hal-hal yang gaib.” (Ali ‘Imran:179)
“Di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib, tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (al-An’am: 59)
“Maka katakanlah: Sesungguhnya yang gaib itu hanya kepunyaan Allah.” (Yunus: 20)
“Katakanlah: Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentunya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-A’raf: 177)
Dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kunci-kunci perkara gaib itu ada lima dan tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah: Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi besok kecuali Allah; tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang ada di dalam rahim kecuali Allah; tidak ada satu jiwapun mengetahui apa yang akan diperbuatnya besok; tidak mengetahui di negeri mana (seseorang) meninggal kecuali Allah; tidak ada yang mengetahui kapan turunnya hujan melainkan Allah; dan tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat kecuali Allah.” ( HR. al-Bukhari no. 992, 4351, 4420, 4500, 6944 dan Ahmad, 2/52)
Adapun sebagai gerombolan penciduk harta artinya mereka melakukan penipuan terhadap umat sehingga betapa banyak harta hilang dengan sia-sia dan termakan penipuan mereka. Betapa banyak harta terkorbankan karena kedustaan para dukun, sementara persoalan setiap orang yang datang kepada mereka tidak juga tuntas dan tidak terjawab. Persyaratan demi persyaratan datang silih berganti mulai dari tingkat yang paling kecil sampai tingkat yang paling besar, dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Persyaratan itu harus terpenuhi sehingga umat pun berusaha untuk memenuhinya.
Mereka masuk dalam peringkat pertama sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa menipu kami maka dia tidak termasuk (golongan) kami.” (HR. Muslim)
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Dukun
Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi menyebutkan akidah Ahlus Sunnah terhadap dukun dalam kitab beliau al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, “Kita tidak boleh membenarkan dukun dan tukang ramal, dan tidak boleh membenarkan orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’.”
Ibnu Abi ‘Izzi mengatakan, “Wajib bagi pemerintah dan orang yang memiliki kesanggupan untuk melenyapkan para dukun dan tukang ramal serta permainan-permainan sihir sejenisnya seperti menggunakan garis di tanah atau dengan kerikil atau undian. Dan mencegah mereka untuk duduk-duduk di jalan dan memperingatkan mereka supaya jangan masuk ke rumah-rumah orang.
Cukuplah bagi orang yang mengetahui keharamannya lalu dia tidak berusaha melenyapkannya padahal dia memiliki kesanggupan, (cukup baginya) firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Mereka tidak saling mengingkari perbuatan mungkar yang telah mereka kerjakan, amat buruklah apa yang telah mereka perbuat.” (al-Maidah: 79) (Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah hlm. 342)
Al-Lajnah ad-Da’imah (Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi) berkata, “Kaum muslimin tidak boleh shalat di belakang mereka (para dukun) dan tidak sah shalat di belakang mereka. Bila seseorang kemudian mengetahui hal itu hendaklah dia meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mengulangi shalatnya.” (Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, 1/394)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah an-Nawawi