(ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Rijal, Lc)
Al-Imam Ahmad t berkata:
حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ حَدَّثَنِيْ سُلَيْمَانُ بْنُ عَتِيقٍ عَنْ طَلْقِ بْنِ حَبِيبٍ عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ z عَنِ النَّبِيِّ n قَالَ: أَلاَ هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ -ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.
Yahya berkata kepada kami: Ibnu Juraij berkata kepada kami: Sulaiman bin ‘Atiq berkata kepadaku, dari Thalq bin Habib, dari Al-Ahnaf bin Qais, dari Abdullah bin Mas’ud z, dari Nabi n, beliau bersabda: “Sungguh, celaka orang-orang yang melampaui batas!” tiga kali.
Al-Imam Ahmad meriwayatkan hadits Ibnu Mas’ud z dalam Al-Musnad (1/386).
Hadits ini shahih. Semua rawinya tsiqah (terpercaya), termasuk perawi-perawi Al-Bukhari dan Muslim dalam Ash-Shahihain, kecuali Sulaiman bin ‘Atiq dan Thalq bin Habib, keduanya hanya dikeluarkan oleh Muslim.
Yahya, yang disebut dengan muhmal1 adalah Yahya bin Sa’id bin Farrukh Al-Qaththan Al-Bashri Abu Sa’id, meninggal 198 H. Ibnu Hajar dalam At-Taqrib mengatakan: “Tsiqatun mutqinun hafizhun.”
Ibnu Juraij, sebutan masyhur bagi Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij Al-Umawi, meninggal 150 H. Beliau tsiqah tetapi terkenal sebagai rawi mudallis.2 Ibnu Hajar Al-Asqalani menggolongkannya dalam Thabaqatul Mudallisin pada golongan ketiga, yaitu rawi-rawi mudallis yang tidak bisa diterima riwayatnya kecuali jika terang-terangan mendengar hadits dari gurunya. Dan pada hadits di atas, Ibnu Juraij mendengar langsung dari gurunya dengan ucapannya: “Haddatsani (berkata kepadaku)” sehingga keberadaannya sebagai mudallis tidak membahayakan keabsahan hadits.
Sulaiman bin ‘Atiq Al-Madani, seorang tabi’in, murid dari Jabir bin Abdillah z.3 Ada pembicaraan tentangnya, tetapi tidak membahayakan dan tidak menurunkannya dari derajat hasan, insya Allah. An-Nasa’i mengatakan: “Tsiqah (terpercaya).” (Al-Jarh Wat-Ta’dil, 4/135)
Al-Imam Muslim mengeluarkan haditsnya dalam Ash-Shahih. Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqrib: “Shaduq (jujur).” (haditsnya hasan)
Thalq bin Habib Al-‘Anazi Al-Bashri, seorang tabi’in, meriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah, dan Abdullah bin Zubair g. Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Shaduqun fil hadits (jujur dalam hadits).” (Al-Jarh Wat-Ta’dil 4/490)
Ibnu Sa’d berkata: “Kana murjiyan tsiqatan (Dia seorang Murji’ah yang terpercaya).” (Ath-Thabaqat 7/227)
Ibnu Hibban menyebutnya dalam Ats-Tsiqat (4/396), dan Al-‘Ijli berkata: “Makkiyun tabi’iyyun tsiqatun (Seorang tabi’in dari Makkah yang terpercaya).” (Tarikh Ats-Tsiqat)
Al-Ahnaf bin Qais, Al-Ahnaf adalah laqab (julukan), adapun nama beliau adalah Adh-Dhahhak bin Qais bin Mu’awiyah bin Hushain, meninggal tahun 67 H. Termasuk pembesar tabi’in yang tsiqah, murid dari Abdullah bin Mas’ud z.4
Hadits Ibnu Mas’ud z dikeluarkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya Kitab Al-’Ilmi (no. 2670), Abu Dawud As-Sijistani dalam As-Sunan, Kitab As-Sunnah Bab Luzumis Sunnah (no. 4608), Abu Ya’la Al-Mushili dalam Al-Musnad (no. 5004 dan 5242), dan At-Thabarani dalam Mu’jam Al-Kabir, demikian pula Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Ash-Shamt (hal. 109).
Seluruhnya meriwayatkan hadits dari jalan Yahya bin Sa’id dari Ibnu Juraij.5
Al-Haitsami mengatakan dalam Majma’ Az-Zawa’id (10/251): “Hadits ini dikeluarkan oleh Ath-Thabarani6 dan rawi-rawinya adalah perawi yang shahih.”
Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkannya dalam Shahih Sunan Abi Dawud. Allahu a’lam.
Makna Hadits
Al-Khaththabi t menerangkan bahwa Al-Mutanath-thi’ (الْمُتَنَطِّعُ), adalah sebutan bagi orang yang berdalam-dalam dan memaksakan diri dalam membahas sesuatu. Serupa dengan metode ahli kalam (filsafat), mereka selalu membicarakan dan menyelami perkara yang tidak bermanfaat, serta menekuni apa yang akal-akal mereka tidak mampu mencapainya.7
Al-Mutanath-thi’un (لْمُتَنَطِّعُونَ) merupakan bentuk jamak dari kata (مُتَنَطِّعٌ). Secara bahasa mengandung makna berdalam-dalam ketika berbicara dan menampak-nampakkan kefasihan. Adapun maksud (tanaththu’ dalam hadits ini) adalah tindakan melampaui batas dalam berbicara, melampaui batas dalam ber-istidlal (mengambil dalil), dan melampaui batas dalam beribadah.8
Ibnul Atsir t dalam An-Nihayah mendefinisikan bahwa asal (لْمُتَنَطِّعُونَ) diambil dari kata (النَّطْعُ) yaitu rongga atas dari mulut. Kata ini kemudian digunakan untuk segala bentuk berdalam-dalam, baik pada ucapan maupun perbuatan.9
Pembaca rahimakumullah, larangan dan celaan dari sikap berlebih-lebihan terpapar gamblang dalam firman Allah l dan hadits-hadits Nabi n dengan berbagai lafadz. Di antaranya ath-tanaththu’ sebagaimana dalam hadits Ibnu Mas’ud z. Disebut pula dengan lafadz al-ithra’, Rasulullah n bersabda:
لَا تُطْرُوْنِي كَمَا أَطَرَتْ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ مَرْيَمَ إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ، فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih (melampaui batas) dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih dalam memuji ‘Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah bahwa aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”10
Disebut pula dengan lafadz al-ghuluw, Rasulullah n bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ
“Jauhilah ghuluw, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian tidaklah mereka binasa kecuali karena ghuluw (melampaui batas) dalam agama.”11
Ketiga kata ini, Al-Ghuluw, Al-Ithra’, dan At-Tanaththu’ memiliki makna yang berdekatan, berserikat dalam sebuah makna yaitu melampaui batasan yang disyariatkan.12 Hanya saja Al-Ghuluw lebih umum, adapun Ath-Tanaththu’ merupakan bagian atau salah satu dari bentuk Al-Ghuluw.13
Pembaca rahimakumullah, kembali kepada sabda Rasulullah n. Perkataan beliau: “Sungguh, celaka orang-orang yang melampaui batas!”, sabda ini berisi kabar sekaligus doa kebinasaan bagi kaum yang melampaui batas.
Dipahami pula dari hadits adanya kewajiban bagi kita untuk berjalan di atas jalan lurus yang jauh dari tanaththu’. Jalan yang dimaksud adalah jalan Allah l yang tersebut dalam hadits Abdullah bin Mas’ud z:
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللهِ n يَومًا خَطًّا ثُمَّ قَالَ: هَذِهِ سَبِيلُ اللهِ. ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ: هذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيطَانٌ يَدْعُو إِلَيهِ. ثُمَّ تَلاَ: ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ
Suatu hari Rasulullah n menggoreskan sebuah garis untuk kami, lalu bersabda: “Ini adalah jalan Allah.” Kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanan dan kirinya kemudian bersabda: “Adapun garis-garis ini adalah jalan-jalan, pada masing-masing jalan ada setan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membacakan firman Allah l:
ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Al-An’am: 153)14
Jalan Allah l adalah satu-satunya jalan yang adil. Satu-satunya jalan pertengahan yang terbebas dari segala bentuk penyimpangan dan sikap melampaui batas.
Meskipun jalan Allah l telah tampak benderang sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasul-Nya n, namun banyaknya persimpangan kesesatan yang diserukan iblis dan pengikutnya benar-benar menakutkan, kecuali bagi mereka yang mendapat taufiq dari Allah l. Pergulatan hebat antara manusia dan iblis dalam menempuh jalan yang lurus itu pun harus terjadi sesuai dengan ketetapan Allah l, Rabbul ‘alamin.
At-Tanaththu’ adalah bagian dari persimpangan-persimpangan. Sejarah anak manusia mencatat bahwa melalui pintu ini iblis berhasil menyesatkan ribuan kaum dari jalan Allah l. Kaki-kaki pun bergeser dari Shirath Al-Mustaqim lalu tumbang binasa sebagaimana disabdakan Rasulullah n:
أَلاَ هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ
“Sungguh, celaka orang-orang yang melampaui batas!”
Lihatlah apa yang menimpa kaum Nuh dahulu. Renungkan pula sebab kesesatan Qadariyyah, Jabriyyah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, falasifah (filosof, ahli kalam), Khawarij, Haddadiyyah, dan firqah-firqah lainnya. Sebuah kesimpulan terucap dari lisan sejarah bahwa: “Tidaklah mereka menyimpang dari syariat kecuali karena mereka menapakkan kakinya di atas jalan tanaththu’, persimpangan kebinasaan.”
At-Tanaththu’ Terjadi Pada Pembicaraan, Istidlal, dan Ibadah
Penyakit At-Tanaththu’ menjangkit pada pembicaraan sebagaimana penyimpangan ini masuk dalam pengambilan dalil (istidlal) dan ibadah.15 Dengan memohon pertolongan Allah l, marilah sejenak kita melihat beberapa contoh jenis-jenis tanaththu’ tersebut.
Pertama: tanaththu’ dalam pembicaraan. Gejala orang yang terjatuh pada tanaththu’ jenis ini tampak pada pembicaraannya yang sering menggunakan istilah-istilah asing atau bahasa-bahasa tinggi yang tidak bisa dipahami khalayak. Dia juga terbiasa membahas tema-tema yang masyarakat tidak mampu mencernanya. Tujuan mereka tidak lain sekadar menampakkan keterpelajarannya, membanggakan tingkat pemahaman, atau menampakkan dirinya sebagai sosok orator ulung dan ahli bahasa.
An-Nawawi t menarik satu faedah dari hadits Ibnu Mas’ud z tentang dibencinya bicara dengan dibuat-buat atau memaksakan diri (takalluf) memoles kefasihan lisannya, atau menggunakan kalimat-kalimat asing dan i’rab (tata bahasa) yang mendetail saat berbicara dengan orang awam. Semua itu termasuk jenis tanaththu’ dalam pembicaraan. Demikian keterangan beliau dalam Syarah Shahih Muslim.
Mereka tidak menyadari, sesungguhnya masyarakat sangat memerlukan keterangan yang jelas tentang aqidah, ibadah, dan syariat Allah l. Bukan malah dijejali tema yang jauh dari kebutuhan atau di luar jangkauan akal dan pemahaman.
Sangat mengherankan ketika seorang da’i sibuk membicarakan urusan politik di tengah masyarakat awam, mengoceh urusan negara, perkembangan dunia internasional, perkembangan media masa, atau perkara-perkara lainnya yang masyarakat tidak memahami atau tidak mengambil faedah darinya, bahkan mungkin tidak membutuhkannya sama sekali. Sementara masalah pokok agama terkait dengan aqidah, ibadah, dan mu’amalah tidak disentuh.
Subhanallah! Apa akibatnya? Tidak diragukan lagi, kaum muslimin tetap buta dalam agamanya, tidak mengerti tauhid, tidak bisa tata cara wudhu, tayammum, dan mandi wajib yang benar sesuai tuntunan Rasulullah n, dan seterusnya dari perkara agama yang wajib diketahui.
Keberadaan mereka –ahli tanaththu’– hanyalah pembakar api fitnah di tengah umat ini. Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib z dalam sebuah nasihatnya yang sangat indah berkata:
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُرِيدُونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللهُ وَرَسُولُهُ؟
“Berbicaralah kepada manusia dengan apa yang mereka pahami. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan (karena kalian berbicara dengan apa yang tidak dipahami)?”16
Termasuk tanaththu’ dalam berbicara adalah berkata tanpa ilmu, memaksakan diri (takalluf) membahas, atau menjawab perkara yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya. Juga bertanya-tanya dengan pertanyaan yang melampaui batas syariat, dilarang oleh Allah l dan Rasul-Nya, dan tidak pernah salaf umat ini menanyakannya.17
Al-Imam Abu ‘Utsman Ash-Shabuni t (373-449 H), menerangkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berdalam-dalam serta melampaui batas dari batas yang diizinkan tidaklah muncul kecuali dari mereka, orang-orang yang suka bertanaththu’. Mereka membuat kebid’ahan-kebid’ahan dan membahas perkara yang tidak boleh dibahas. Mereka juga mendiskusikan apa yang ulama Islam dan salaf (pendahulu) umat ini tidak pernah membicarakannya.18
Kedua: Tanaththu’ dalam mengambil dalil (istidlal). Gejala tanaththu’ jenis ini adalah mengabaikan atau meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah sebagai dalil.
Ahlu kalam (filsafat/manthiq) dan yang sejenisnya menempuh jalan ini. Akal dan perasaan lebih mereka kedepankan. Yang dijadikan dalil justru kaidah-kaidah filsafat yang berasal dari filsafat Yunani. Bukan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Sederet tokoh filsafat yang menjadi pijakan berpikir pun dipasang dalam kerangka otak-otak mereka yang berpenyakit, seperti Aristoteles, Plato, dan sejenisnya. Kata mereka: “Dalil-dalil sam’i (Al-Kitab dan As-Sunnah) tidak memberikan keyakinan, keyakinan itu hanya didapatkan pada dalil-dalil ‘aqli (akal/rasio).” Apa yang masuk akal itulah yang diyakini, adapun perkara yang menurut mereka tidak masuk akal meskipun dari Al-Kitab dan As-Sunnah secara otomatis tumbang di depan teori-teori filsafat yang mereka agungkan.
Tidakkah mereka paham bahwa agama ini bukan dibangun di atas akal manusia? Ketahuilah bahwa agama ini dari Allah l, dibangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah, bukan akal dan perasaan! Ali bin Abi Thalib z berkata:
لَو كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيتُ رَسولَ اللهِ n يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيهِ
“Seandainya agama dibangun di atas akal tentulah bagian bawah dari khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah n mengusap bagian atas dua khufnya.”19
Melalui ilmu kalam mereka binasa, hati membatu, pendengaran tersumbat, ayat-ayat Al-Qur’an hanya dijadikan sebagai referensi sekunder. Itupun dalam pengawasan teori-teori manusia.
Tidakkah mereka mengambil pelajaran dari tokoh-tokoh besar filsafat dan ilmu kalam? Semakin lama mereka menekuni filsafat justru makin jauh menuju kesesatan dan kebingungan. Bahkan mereka telah menyimpulkan bahwa ilmu kalam tidaklah menambah kecuali kebingungan dan jauhnya dari al-haq.
Ketiga: Tanaththu’ dalam ibadah, yaitu seseorang melampaui batasan yang disyariatkan dalam ibadahnya baik dalam jenis, tata cara, ukuran, waktu atau tempat, atau batasan lain yang ditetapkan Rasulullah n.
Peringatan Sahabat Rasulullah n dari At-Tanaththu’
Para sahabat bergegas mengamalkan sabda Rasulullah n, hingga menjadi generasi terbaik. Mereka bergegas menempuh jalan pertengahan (wasath) dan meninggalkan segala bentuk tanaththu’. Manhaj tersebut tampak dalam sikap dan pengamalan, baik di zaman Rasulullah n atau sesudahnya. Sejarah pun mengukir kekokohan generasi ini dalam berjalan di atas jalan Rasulullah n.
Abdullah bin ‘Umar c murka dan berlepas diri ketika mendengar munculnya kaum yang mengingkari takdir. Beliau berkata:
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيئٌ مِنْهُمْ وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبدُ اللهِ ابْنُ عُمَرَ لَو أَنَّ لَأَحَدِهِمْ مثِْلُ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Jika engkau berjumpa dengan mereka kabarkanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan–Nya, seandainya mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud, mereka infakkan, Allah tidak akan menerimanya hingga mereka beriman dengan takdir.”20
Adalah Abdullah bin Mas’ud z, beliau jumpai sekelompok manusia berkumpul di masjid dalam halaqah (lingkaran). Masing-masing mereka memegang kerikil-kerikil, sementara di tengah mereka duduk seorang mengatakan: “Bertasbihlah kalian seratus (kali)!”, “Bertahlillah seratus (kali)!”, “Bertakbirlah seratus (kali)!”. Dengan kerikil-kerikil itu mulailah mereka menghitung zikir (bersama-sama/berjamaah). Maka berdirilah Abdullah bin Mas’ud z mengingkari seraya berkata: “Apa yang kalian lakukan ini?” Mereka menjawab: “Wahai Abu ‘Abdurrahman (kunyah Ibnu Mas’ud, red.), kami menghitung takbir, tasbih, dan tahlil dengan kerikil-kerikil ini.”
Berkatalah Ibnu Mas’ud z: “Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan kalian tidak disia-siakan sedikitpun. Wahai umat Muhammad n betapa celakanya kalian. Betapa cepatnya kehancuran kalian. (Bukankah) sahabat Nabi kalian masih banyak dan pakaian Rasulullah n belum lagi hancur. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah sesungguhnya yang kalian lakukan ini berada di atas agama yang lebih baik dari agama Muhammad n, ataukah kalian (memang) telah membuka pintu-pintu kesesatan!?” Mereka menjawab: “Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman. Tidaklah yang kami inginkan melainkan kebaikan!” Ibnu Mas’ud z berkata: “Betapa banyak orang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya.”21
Allahu Akbar! Lihatlah pembaca rahimakumullah, kecemburuan sahabat saat melihat syariat Allah l disimpangkan dan ajaran Rasulullah n dilampaui batasan-batasannya. Bahkan bila dipandang perlu atau memberikan maslahat, sahabat memberikan hukuman pada orang-orang yang bertanaththu’ dalam ucapan dan perbuatan, melampaui batas dari apa yang Allah l dan Rasul-Nya n tetapkan. Sebagaimana dilakukan Amirul Mukminin, Umar bin Al-Khaththab z, kepada Shabigh At-Tamimi, karena ulahnya yang selalu bertanya-tanya dan berdalam-dalam pada perkara-perkara yang tidak boleh dibicarakan dan salaf tidak pernah membahasnya.
Al-Imam Ad-Darimi dalam Sunan-nya meriwayatkan atsar dari gurunya Abu An-Nu’man –Muhammad bin Al-Fadhl–, dari Hammad bin Zaid, dari Yazid bin Hazim, dari Sulaiman bin Yasar, dia berkata: “Seorang bernama Shabigh datang ke Madinah. Dia (dikenal suka) banyak bertanya-tanya ayat-ayat mutasyabih (samar) dalam Al-Qur’an (menghendaki fitnah dengan pertanyaannya, -pen.). Dibawalah dia ke hadapan Umar bin Al-Khaththab z yang telah menyiapkan beberapa manggar dari pohon kurma. Umar z berkata: “Siapa kamu?” Dia menjawab: “Saya hamba Allah, Shabigh.” Lalu Umar z ambil manggar kemudian dipukullah Shabigh seraya berkata: “Aku hamba Allah, ‘Umar.” Beliau memukulnya hingga kepala Shabigh berdarah. Lalu dia berkata: “Wahai Amirul Mukminin, cukup. Sungguh telah pergi apa yang dulu aku dapatkan di kepalaku.”22
Demikian beberapa riwayat yang menunjukkan sikap sahabat dan kekokohan jalan mereka dalam menempuh kehidupan sesuai dengan jalan Rasulullah n, dan memerangi segala bentuk tanaththu’ dan penyimpangan agama.
Para sahabat, dengan segala kesungguhan berusaha menutup semua celah sikap tanaththu’, baik dengan lisan atau perbuatan. Mereka pun berpesan kepada umat ini agar selalu kembali kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, mengajak umat memberikan perhatian pada ilmu syariat sebagai benteng dari sikap tanaththu’ serta segala bentuk ghuluw dan perkara yang diada-adakan.
Dalam sebuah wasiatnya, Abdullah bin Mas’ud z berkata:
عَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ وَقَبْضُهُ أَنْ يَذْهَبَ بِأَصْحَابِهِ، عَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِي مَتَى نَفْتَقِرُ إِلَيْهِ أَوْ نَفْتَقِرُ مَا عِنْدَهُ، إِنَّكُمْ سَتَجِدُونَ أَقْوَاماً يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ يَدْعُونَكُمْ إِلَى كِتَابِ اللهِ وَقَدْ نَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ فَعَلَيْكُمْ بِالْعِلْمِ وَإِيَّاكُمْ وَالتَّبَدُّعَ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَطُّعَ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّعَمُّقَ وَعَلَيْكُمْ بِالْعَتِيقِ
“Tuntutlah ilmu (Al-Kitab dan As-Sunnah), sebelum dicabut. Dan tercabutnya ilmu adalah dengan diwafatkannya ulama. Tuntutlah selalu ilmu, karena salah seorang di antara kalian tidak tahu kapan kita membutuhkannya atau kita butuhkan apa yang ada padanya. Sungguh kalian akan jumpai kaum yang banyak, mereka mengaku menyeru kalian kepada Al-Kitab, padahal ternyata mereka telah melempar (Al-Kitab) di belakang punggung-punggung mereka. Maka wajib atas kalian menuntut ilmu dan berpegang kepadanya, dan tinggalkanlah perkara yang diada-adakan (bid’ah) tinggalkan pula At-Tanaththu’, At-Ta’ammuq, dan berpegang teguhlah dengan ajaran Rasulullah n.”23
Nasihat yang indah. Duhai seandainya seluruh kaum muslimin memegang nasihat ini dan mengamalkannya, niscaya kejayaaan umat –yang telah dijanjikan– dengan izin Allah l segera terwujud.
Peringatan Ahlu Hadits dari At-Tanaththu’
Jejak sahabat dalam menempuh jalan pertengahan dan tekad bulat meninggalkan tanaththu’ diikuti generasi terbaik berikutnya dari kalangan tabi’in, atba’ut tabi’in, dan ahlu hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Al-Imam Malik t, adalah contoh dari salaful ummah yang demikian teguh menanamkan ittiba’ kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman sahabat, sekaligus sosok ulama yang tegas dalam memerangi tanaththu’. Suatu saat beliau membacakan firman Allah l:
“Ar-Rahman di atas ‘Arsy beristiwa’.” (Thaha: 5)
Seseorang bertanya: “Wahai Malik, bagaimana cara Allah l beristiwa’?”
Mendengar pertanyaan seperti ini –yang tidak boleh untuk ditanyakan– menunduklah Al-Imam Malik. Merah padamlah mukanya, gemetarlah badannya, bercucuranlah keringatnya. Lalu beliau angkat kepala seraya mengucapkan kalimat yang sangat masyhur:
الْاِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْلُومٍ، وَالْإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَمَا أَدْرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ
“Al-Istiwa tidaklah asing (maknanya)24, adapun bagaimana istiwa’-Nya tidak diketahui. Dan mengimani sifat ini wajib, adapun menanyakan tentang (bagaimananya) adalah bid’ah, dan aku tidak dapati engkau kecuali seorang yang sesat.”
Kemudian Al-Imam Malik t memerintahkan agar mengeluarkan orang ini dari majelisnya.25
Disebutkan dalam sebuah atsar, suatu saat Yazid bin Harun t –salah seorang ulama ahlul hadits–26 di majelisnya meriwayatkan hadits Isma’il bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim, dari sahabat Jarir bin Abdillah z, tentang ru’yah (melihat Allah l) dan sabda Rasulullah n:
إِنَّكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَى رَبِّكُمْ كَمَا تَنْظُرُونَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ
“Sungguh kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian (bisa) melihat bulan di malam purnama.”27
Seorang lelaki di majelis bertanya: “Wahai Abu Khalid (kunyah Yazid bin Harun, red.), apa makna hadits ini?” (meminta rincian bagaimana melihat Allah l, pen.).
Marahlah Yazid, gemetarlah ia, lalu berkata: “Betapa miripnya kau dengan Shabigh (lihat penjelasan sebelumnya, red.). Betapa butuhnya kau diperlakukan seperti Shabigh! Celaka engkau! Siapa yang mengetahui bagaimana (kita melihat Allah l nanti)? Siapa yang dibolehkan untuk melampaui batas dari ucapan Rasulullah n? Siapa pula yang boleh berbicara sekehendaknya, melainkan seorang yang menghinakan diri dan agamanya?”28
Demikian pembaca rahimakumullah, beberapa riwayat tentang keteguhan salaf berjalan di atas jalan Rasulullah n yang jauh dari tanaththu’. Semoga kita diselamatkan dari segala jenis tanaththu’. Mudah-mudahan Allah l selamatkan umat ini, lebih khusus lagi shaf-shaf Ahlus Sunnah dari ahli tanaththu’ yang keberadaan mereka tidak lain hanya menyulut api fitnah dan mencabik persatuan umat. Berpeganglah dengan tali Allah l dan janganlah bercerai-berai. Bersatulah di atas Al-Kitab dan As-Sunnah untuk meraih keridhaan Allah l.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 6-7)
Wallahu a’lam.
1 Muhmal dalam ilmu musthalah hadits adalah penyebutan rawi tanpa menyebutkan nasabnya.
2 Tadlis adalah menyembunyikan riwayat yang terputus seakan-akan bersambung. Di antara buku bagus yang menyebutkan rawi-rawi yang biasa melakukan tadlis adalah kitab Jami’u At-Ta’shil fi Ahkamil Marasil karya Al-‘Ala’i t dan Maratibul Mudallisin karya Ibnu Hajar t.
3 Di antara hadits Jabir z yang diriwayatkan Sulaiman bin ‘Atiq t adalah apa yang diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya no. 1554:
أَنَّ النَّبِيَّ n أَمَرَ بِوَضْعِ الْجَوَائِحِ
4 Faedah: Lathaiful Isnad (keunikan sanad): Pada hadits di atas ada riwayat tiga orang tabi’in, Sulaiman bin ‘Atiq dari Thalq bin Habib, dari Al-Ahnaf bin Qais rahimahumullah.
5 Hafsh bin Ghiyats mengikuti Yahya bin Sa’id dalam meriwayatkan hadits dari Ibnu Juraij, sebagaimana dikeluarkan oleh Muslim no. 2670, Abu Ya’la Al-Mushili dalam Al-Musnad no. 5007, dan Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3396.
6 Faedah: Jika dikatakan hadits ini diriwayatkan Ath-Thabarani tanpa ada keterangan di kitab apa, maka yang dimaksud adalah dalam kitabnya Al-Mu’jam Al-Kabir.
7 Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh menukil ucapan Al-Khaththabi dalam Fathul Majid (270-271) dari Ma’alimus Sunan.
8 I’anatul Mustafid Bi Syarh Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Dr. Shalih Fauzan (1/278).
9 An-Nihayah fi Gharibil Hadits karya Ibnul Atsir (5/63).
10 HR. Al-Bukhari no. 3445, 6830 dan Muslim no. 1691 dalam Shahih keduanya.
11 Shahih, diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnad (1/215, 347), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/466), Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra (5/127), dan Ibnu Majah dalam As-Sunan no. 3029.
12 At-Tamhid Lisyarhi Kitabit Tauhid karya Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hal. 247
13 Al-Qaulul Mufid (1/321) karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
14 Diriwayatkan Ad-Darimi dalam As-Sunan no. 208 (cet. Darul Ma’rifah)
15 Lihat I’anatul Mustafid Bi Syarh Kitabit Tauhid (1/278-280) karya Asy-Syaikh Dr. Shalih Fauzan.
16 Diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya Kitabul ‘Ilmi no. 127
17 Seperti bertanya tentang hakikat bagaimana (kaifiyah) sifat Allah l.
18 Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits hal 34, tahqiq Badr Al-Badr.
Faedah: Al-Imam Ad-Darimi membuat satu bab khusus dalam As-Sunan, Bab Man Haaba Al-Futya wa Kariha At-Tanaththu’ wa At-Tabaddu’ (Orang yang takut berfatwa serta membenci tanaththu’ dan kebid’ahan) hal. 67-72 (cet. Daarul Ma’rifah) meriwayatkan beberapa atsar yang menunjukkan bagaimana salaf berhenti mencukupkan diri pada batasan syariat dan tidak melewati apa yang mereka tidak ketahui. Mereka selalu berhati-hati dalam berbicara atau berfatwa dalam masalah agama. Yang ada di depan mata mereka adalah tanggung jawab di hadapan Allah l, bukan celaan atau sanjungan manusia.
19 Shahih, diriwayatkan Abu Dawud dalam As-Sunan no. 162, dishahihkan Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’us Shahih mimma Laisa fish Shahihain.
20 Diriwayatkan Muslim dalam Shahih-nya, hadits yang pertama dari kitab yang pertama, Kitabul Iman (1/36).
21 Shahih, diriwayatkan Ad-Darimi dalam As-Sunan dan disebutkan Al-Albani dalam Silsilah As-Sahihah no. 2005.
22 Diriwayatkan Ad-Darimi dalam Sunan-nya no. 146 (cet. Darul Ma’rifah), Al-Ajurri hal. 73, dan Al-Lalikai no. 1138. Sanad riwayat ini munqathi’ antara Sulaiman bin Yasar dan ‘Umar bin Al-Khaththab. Kisah Shabigh disebutkan pula Abu ‘Utsman Ash-Shabuni
23 Sunan Ad-Darimi (1/66 no. 143), Al-Ibanah (1/324 no. 169), dan Ushul I’tiqad Al-Lalikai (1/87 no. 108).
24 Makna Allah l beristiwa’ di atas ‘Arsy yaitu Allah l tinggi di atas ‘Arsy-Nya.
25 Lihat atsar Al-Imam Malik t dalam Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits hal. 38-40, tahqiq Badr Al-Badr.
Faedah: Perkataan semisal diucapkan pula oleh ulama-ulama seperti Rabi’ah Ar-Rai dan Abu Ja’far At-Tirmidzi rahimahumallah. Dinisbatkan pula kepada Ummu Salamah x, akan tetapi riwayatnya lemah. Ibnu Taimiyah t berkata dalam Majmu’ Fatawa (5/365): “Jawaban ini diriwayatkan pula dari Ummu Salamah secara marfu’ dan mauquf, akan tetapi sanadnya tidak bisa dijadikan sandaran (lemah, pen.).”
26 Yazid bin Harun bin Za-dzan Abu Khalid Al-Wasithi t. Ibnu Hajar t mengatakan dalam At-Taqrib: “Tsiqatun Mutqin.” Haditsnya diriwayatkan penulis Kutubus Sittah (Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
27 Hadits ru’yatullah tergolong hadits mutawatir. Ibnul Qayyim t menyebutkan riwayat-riwayat tentang ru’yatullah di akhir-akhir kitabnya Hadil Arwah ila Biladil Afrah.
28 Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhid (1/408-411), Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah hal. 258, Al-Baghawi dalam Tafsir-nya (4/232), dan Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya (16/133).