Asysyariah
Asysyariah

asy syaikh albani rahimahullah membantah para pelaku jihad palsu (membantah para pelaku penculikan dan pengeboman atas nama jihad)

13 tahun yang lalu
baca 16 menit

Siapakah Asy-Syaikh Al-Albani t?
Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz t ditanya tentang hadits:

“Sesungguhnya Allah akan mengutus bagi umat ini di penghujung tiap seratus tahun, orang yang memperbaharui agama mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4291, dan hadits ini shahih)
Beliau t ditanya: “Siapakah pembaharu di abad ini?”
Beliau t menjawab: “Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dialah pembaharu abad ini menurut dugaan saya. Dan Allah I-lah yang lebih tahu.”
Al-’Allamah Asy-Syaikh Muham-mad bin Shalih Al-’Utsaimin t ditanya tentang orang yang menuduh Asy-Syaikh Al-Albani dengan tuduhan berpaham Murji’ah (satu aliran sesat yang menganggap dosa besar tidak berpengaruh negatif terhadap iman, -pent), maka beliau menjawab:
“Orang yang menuduh Al-Albani dengan tuduhan paham Murji’ah maka dia telah keliru. Mungkin karena dia tidak tahu siapa Al-Albani, atau dia tidak tahu apa itu Murji’ah.
Al-Albani adalah salah seorang dari Ahlus Sunnah –semoga Allah I memberinya rahmat–. Ia membela Ahlus Sunnah. Dia seorang imam dalam ilmu hadits, saya tidak tahu ada seorangpun yang dapat menan-dinginya di masa ini. Namun sebagian manusia –saya mohon keselamatan dari Allah I– menyimpan kedengkian dalam qalbunya bila melihat seseorang diterima (umat) maka ia mulai menyindirnya. Bagaikan orang-orang munafiq yang menyindir orang-orang yang bersedekah dari kaum mukminin, dan menyindir orang-orang yang tidak mendapatkan kecuali sesuatu yang sedikit dengan jerih payah mereka. Mereka menyindir orang yang bersedekah dalam jumlah banyak dan orang fakir yang bersedekah.
Al-Albani –semoga Allah I merahma-tinya–, aku mengenalinya dari buku-bukunya. Dan aku mengenalinya dengan bermajlis dengan beliau beberapa kali. Dia berakidah salaf, manhajnya bersih. Tapi sebagian orang hendak mengkafirkan hamba-hamba Allah I (umat) dengan sesuatu yang Allah I tidak kafirkan mereka dengannya, lalu menganggap –secara dusta, palsu dan kebohongan yang nyata– siapa saja yang menyelisihinya dalam cara pengkafiran seperti ini sebagai golongan Murji’ah. Oleh karenanya jangan kalian dengar ucapan itu, dari siapapun keluarnya.” (Diambil dari Fatawal ‘Ulama Al-Akabir, buah karya Abdul Malik Ramdhani)

Asy-Syaikh Al-Albani t Membantah Pelaku Jihad Palsu: Para Pelaku Penculikan dan Pengeboman
Atas dasar kejadian akhir-akhir ini berupa peledakan (bom) di negeri-negeri Islam, kami mengemukakan pandangan dari Asy-Syaikh Al-Albani tentang masalah ini, dalam rangka menjelaskan hukum syar’i yang benar, yang berdasarkan ilmu yang kokoh, untuk menerangi jalan di depan orang yang mempunyai syubhat (kerancuan) dan kesamaran seputar masalah hukum-hukum jihad, dan sebagai bantahan kepada orang yang menisbatkan/ mengatasnamakan perbuatan yang salah itu kepada manhaj Salafush Shalih.
Yang mulia Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t –seorang Muhaddits (ahli hadits) negeri-negeri Islam dan seorang yang sangat alim pada masa ini– ditanya pada tanggal 29 Jumadal Ula 1416 H yang bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1995.
(Sumber: Kaset dengan judul ‘Di antara Manhaj Khawarij’)

Pertanyaan:
Pada akhir-akhir ini, wahai Syaikh!! Terutama berbagai bencana dan fitnah yang terjadi, yang kini dengan cara peledakan-peledakan yang merenggut nyawa puluhan manusia, kebanyakan mereka dari orang-orang yang tidak berdosa, dan di antara mereka adalah para wanita, anak-anak dan orang-orang seperti yang engkau ketahui. Dan ketika kami mendengar sebagian manusia yang terpandang, mereka mencela diamnya sebagian ulama dan pemberi fatwa dari para Syaikh yang besar, dan tidak adanya pengingkaran atas perbuatan semacam ini yang tentunya tidak Islami. Dan kami beritahukan kepada orang-orang tersebut tentang pendapat para ulama dan pendapat Anda dalam masalah ini, mereka menolaknya dengan kebodohan terhadap perkataan ulama atau perkataan Anda, dan dengan alasan tidak adanya kaset-kaset yang tersebar untuk menjelaskan kebenaran di dalam masalah ini. Oleh karena itu kami lontarkan sebuah pertanyaan dengan susunan yang tegas sehingga manusia mengetahui pandangan Anda dan pendapat orang yang Anda nukilkan darinya. Maka terangkanlah kebenaran di dalam perkara ini supaya kebenaran ini diketahui oleh setiap muslim, barangkali Asy-Syaikh telah mendengar apa yang terjadi sekarang, ataukah kami akan menjelaskan sebagian dari apa yang terjadi?

Jawaban Asy-Syaikh Al-Albani t:
(Yang pertama: Mukadimah; Penjelasan Asy-Syaikh bahwa perbuatan ini merupakan kejahatan yang tidak disyariatkan dan dilakukan di atas kebodohan, hawa nafsu dan prinsip-prinsip yang rusak)
“Sesungguhnya segala puji milik Allah kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, meminta ampunan-Nya dan kami berlindung kepada Allah dari kejelekan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan amal-amal kami. Barangsiapa yang Allah beri hidayah kepadanya maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang mem-berinya hidayah. Dan aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah saja yang tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali ‘Imran: 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisa: 1)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 70-71)
Amma ba’du,
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad n. Adapun sejelek-jelek perkara adalah perkara yang baru (di dalam perkara agama, pent.), dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan kesesatan kem-balinya ke neraka.
Engkau, –semoga Allah I membalasmu dengan kebaikan– telah mengisyaratkan bahwa kami telah berbicara dalam masalah ini. Dan engkau telah menyebutkan bahwa mereka menolak dengan kebodohan tanpa ilmu. Apabila suatu penjelasan berasal dari orang yang diperkirakan mempunyai ilmu, kemudian dihadapi oleh orang yang tidak berilmu dengan membantahnya dan menolaknya, maka apa faedahnya membicarakan masalah ini?
Namun kami akan menjawab untuk orang yang mempunyai syubhat (yaitu dengan menganggap perbuatan yang mereka lakukan ini merupakan sesuatu yang boleh menurut syariat) dan bukanlah untuk memuaskan pengikut hawa nafsu dan orang yang bodoh. Akan tetapi untuk memuaskan orang yang ragu untuk menerima bahwa perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas tersebut merupakan perkara yang tidak disyariatkan.
Sebelum masuk pada perincian, sudah seharusnya bagiku untuk mengingatkan –dan peringatan itu bermanfaat bagi kaum muslimin– tentang perkataan ulama:

“Perkara yang dibangun di atas sesuatu yang rusak maka perkara itu juga rusak.”
Sebagai permisalan, shalat yang tidak dibangun di atas thaharah (kesucian), maka itu bukanlah shalat. Kenapa? Karena tidak tegak di atas azas syarat yang telah disebutkan oleh Peletak syariat yang bijaksana, pada semisal sabda Rasulullah n:

“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak berwudhu.”1
Bagaimanapun seseorang yang shalat tanpa berwudhu, maka shalat yang dibangun di atas sesuatu yang rusak itu juga rusak. Dan contoh-contoh semacam ini di dalam  syariat banyak dan banyak sekali.”
(Yang kedua: Penjelasan Asy-Syaikh tentang haramnya memberontak kepada penguasa yang muslim dengan anggapan kafirnya mereka)
“Maka kami selalu mengingatkan bahwa memberontak kepada para penguasa –walaupun mereka telah dipastikan kekafirannya– tidak secara mutlak disyariatkan. Karena jika memang pemberontakan mesti dilakukan, tetap harus sesuai syariat. Seperti shalat yang baru saja kami katakan seharusnya dilakukan di atas thaharah yaitu wudhu. Dan kami berhujjah pada masalah seperti ini dengan semisal firman Allah I:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Al-Ahzab: 21)
(Yang ketiga: Asy-Syaikh mencoba ‘mengalah’ dengan anggapan para penentang, lalu beliau membantah mereka)
“Sesungguhnya kondisi yang dialami oleh kaum muslimin sekarang ini di bawah hukum sebagian penguasa –anggaplah mereka atau kekafiran mereka merupakan kekafiran yang jelas dan gamblang seperti kekafiran kaum musyrikin–, apabila kita anggap seperti ini. Maka kami katakan sesungguhnya keadaan di mana kaum muslimin hidup sebagai rakyat dalam naungan para penguasa tersebut –dan anggap kita katakan mereka kafir dalam rangka mengikuti alur Jamaatut Takfir secara lafadz bukan secara makna, karena kami dalam masalah tersebut mempunyai perincian yang sangat diketahui–, maka kami katakan bahwa sesungguhnya kehidupan yang dijalani kaum muslimin sekarang di bawah hukum para penguasa tersebut tidaklah terlepas dari kehidupan yang dijalani oleh Rasulullah n dan para shahabatnya yang mulia pada masa yang dikenal dalam istilah para ulama dengan periode Makkah.
Sungguh Rasulullah n hidup di bawah hukum thaghut yang kafir, musyrik, dan yang menolak dengan tegas untuk menyambut dakwah Rasulullah agar mereka mengatakan kalimatul haq –Laa ilaaha illallah– sampai-sampai paman beliau Abu Thalib di akhir kehidupannya berkata kepada Rasulullah n: “Seandainya aku tidak khawatir dicerca kaumku, benar-benar aku akan menyejukkan pandanganmu (yakni akan masuk Islam).”
Mereka, orang-orang kafir yang menampakkan kekafirannya yang menentang dakwah Nabi mereka, yang Rasulullah n hidup di bawah hukum dan aturan mereka, beliau tidak mengatakan kepada mereka kecuali “Sembahlah Allah saja yang tidak ada sekutu baginya.”
Kemudian datang periode Madinah, lalu hukum syariat turun secara berturut-turut dan dimulailah peperangan antara kaum muslimin dan musyrikin sebagaimana telah diketahui dari sirah/ sejarah nabi.
Adapun dalam periode pertama –periode Makkah– tidak ada pemberontakan sebagaimana yang sekarang dilakukan oleh banyak kaum muslimin pada sejumlah negeri Islam. Maka pemberontakan ini tidaklah di atas petunjuk Rasul yang kita diperintahkan untuk meneladaninya, lebih khusus pada ayat:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Al-Ahzab: 21)
(Yang keempat: Asy-Syaikh menguatkan dengan kejadian-kejadian masa kini dan menetapkan hukum syar’i yang benar)
“Sekarang sebagaimana kita dengar di Aljazair, di sana ada dua kelompok, dan saya memanfaatkannya sebagai kesempatan, jika engkau atau salah satu hadirin mengetahui dengan jelas jawaban dari soal berikut:
Saya katakan: Saya mendengar dan membaca, di sana ada dua kelompok kaum muslimin yang memusuhi penguasa di sana. Satu kelompok misalnya “Jabhatul Inqaadz (FIS)”, dan saya kira di sana ada juga Jamaatut Takfir.”
Maka dikatakan kepada Asy-Syaikh: “Jaisyul Inqaadz inilah yang bersenjata bukannya Jabhatul (Inqaadz).”
Asy-Syaikh berkata: “Akan tetapi bukankah ada kaitan dengan Jabhatul (Inqaadz)?”
Dikatakan kepada Asy-Syaikh: “Ia terpisah darinya, yaitu sebuah kelompok garis keras.”
Asy-Syaikh berkata: “Kalau begitu ini musibah yang lebih besar! Saya ingin mengklarifikasi tentang keberadaan lebih dari satu jamaah Islam dan masing-masing mem-punyai jalan dan manhaj dalam memberontak kepada penguasa. Coba kamu bayangkan, seandainya penguasa ini telah dikalahkan, dan salah satu kelompok dari kelompok-kelompok yang mengumumkan keislamannya dan peperangannya terhadap penguasa yang kafir –menurut anggapan mereka– berhasil menang. Apakah dua kelompok yang ada ini akan bersepakat –lebih-lebih apabila ada kelompok lain– dan mereka akan menegakkan hukum Islam yang mereka berperang atas namanya? Namun yang akan terjadi justru perselisihan di antara mereka.
Sebagai penguat, sekarang apa yang ada di Afghanistan. Di mana perang tersebut diproklamirkan di atas jalan Islam dan untuk memerangi komunisme!! Maka hampir-hampir mereka tidak menghabisi komunisme –sementara kelompok-kelompok ini dahulu ada di tengah-tengah peperangan– tiba-tiba sebagian mereka berbalik menjadi musuh atas sebagian yang lain.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyelisihi petunjuk Rasulullah n maka niscaya akan merugi. Dengan demikian, petunjuk Nabi n tentang penegakan hukum Islam dan pendirian negara Islam yang benar untuk menegakkan hukum Islam di negara tersebut, hanyalah bisa terwujud dengan dakwah.”
(Yang kelima: Asy-Syaikh menje-laskan tentang jalan yang benar untuk memperbaiki negara-negara Islam)
“Oleh karena itu, barangsiapa  menyelisihi petunjuk Rasulullah n niscaya  akan merugi pada akhirnya. Dengan demikian, petunjuk Nabi n tentang penegakan hukum Islam dan pendirian negara Islam yang benar untuk menegakkan hukum Islam di negara tersebut hanyalah bisa terwujud dengan dakwah. Yang pertama, dakwah tauhid dan membimbing kaum muslimin dengan didasari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan ketika kami isyaratkan prinsip yang penting ini dengan dua kalimat ringkas, yaitu harus dengan tashfiyah (pembersihan) dan tarbiyah (pendidikan). Dan tentu, tidaklah kami maksudkan dengan keduanya bahwasanya supaya berjuta-juta kaum muslimin itu menjadi umat yang satu. Hanyalah yang kami maksudkan: Bahwa barangsiapa ingin mengamalkan Islam dengan sebenar-benarnya, dan ingin membuat sarana-sarana yang akan membuka jalan baginya dalam menegakkan hukum Allah I di muka bumi ini, maka dia harus mencontoh Rasulullah n, baik dalam hukum maupun cara penegakannya.
Dengan ini kami katakan: Bahwasanya apa yang terjadi di Aljazair atau di Mesir adalah menyelisihi Islam. Karena Islam memerintahkan untuk melakukan tashfiyah dan tarbiyah. Saya katakan: tashfiyah dan tarbiyah, berdasarkan alasan yang telah diketahui oleh ulama.
Dan sekarang kita berada di abad yang kelimabelas (hijriyah). Kita mewarisi agama Islam ini sesuai dengan apa yang datang kepada kita setelah berabad-abad lamanya. Kita tidak mewarisi Islam sebagaimana Allah I turunkan pada qalbu Nabi n. Dan oleh karena itu, Islam yang membuahkan hasil pada generasi awal adalah Islam yang akan menghasilkan buahnya di generasi akhir. Sebagaimana sabda Rasulullah n:

“Umatku laksana hujan, tidak diketahui kebaikan berada pada awal atau akhirnya.”2
Apabila umat Islam menginginkan kehidupannya penuh dengan kebaikan seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah n pada hadits ini dan hadits lain yang lebih terkenal, yaitu sabda beliau:

“Senantiasa akan ada sekelompok dari umatku yang berada di atas kebenaran, tidak memadharatkan mereka orang yang menyelisihi mereka sampai datang keputusan Allah.”3
Saya katakan (lagi): Kami tidak maksudkan dengan dua kalimat ini (tashfiyah dan tarbiyah) bahwa jutaan dari kaum muslimin sudah harus menerapkan Islam secara murni dan mendidik diri-diri mereka di atas Islam yang murni ini. Namun kami maksudkan, bagi mereka yang menginginkan kebenaran hendaknya mereka mendahulukan pendidikan pada diri-diri mereka. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan bagi mereka yang di bawah kekuasaannya. Dan seterusnya…, dan seterusnya…, sehingga sampailah perkara ini (tashfiyah dan tarbiyah) kepada penguasa, yang tidak mungkin meluruskan, memperbaiki, atau menurunkannya kecuali dengan urutan/ tahapan yang syar’i dan rasional ini.
(Yang keenam: Penjelasan Asy-Syaikh tentang tercelanya perpecahan, pertentangan dan perbedaan serta penjelasan tentang rusaknya aksi memberontak dan peledakan, dan bahwa hal tersebut menyelisihi tujuan dan cara-cara syar’i)
“Dengan ini kami mengatakan bahwasanya tindakan-tindakan pemberon-takan dan kudeta yang dilakukan, sampai pun jihad di Afghanistan, kami tidak mendukung hal tersebut, atau pesimis terhadap hasil akhirnya ketika kami mendapatkan mereka terpecah menjadi lima kelompok, dan sekarang yang berkuasa dan yang menentangnya adalah orang-orang sufi sebagaimana diketahui.
Maksudnya, bahwasanya sebagian dalil-dalil Al-Qur’an menunjukkan perpecahan adalah kelemahan, yang Allah I menyebut-kan di antara sebab-sebab pembunuhan adalah pertentangan dan perselisihan.

“Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Oleh karena itu apabila kaum muslimin terpecah menjadi kelompok-kelompok, tidak mungkin mereka menang. Karena perpecahan ini hanyalah tanda kelemahan bagi mereka.
Oleh karena itu wajib bagi Ath-Thaifah Al-Manshurah (golongan yang tertolong) yang ingin menegakkan negara Islam dengan benar, hendaknya mereka mewujudkan sebuah kalimat yang saya anggap sebagai kata hikmah di masa ini dari salah seorang da’i yang telah mengucapkannya, namun para pengikutnya tidak mengikuti dia. Yaitu perkataannya: “Dirikanlah negara Islam pada qalbu kalian, niscaya akan ditegakkan negara Islam di bumi kalian.”
Maka kami sekarang menyaksikan bahwasanya… –saya tidak mengatakan (anggota) kelompok-kelompok yang mela-kukan pemberontakan-pemberontakan ini–, bahkan saya bisa katakan bahwasanya kebanyakan pemimpin dari kelompok-kelompok ini, mereka tidaklah menerapkan ucapan hikmah ini; yang bermakna apa yang kita katakan dengan dua kata: tashfiyah dan tarbiyah. Sebagian mereka tidak melaksa-nakan tashfiyah (pembersihan) Islam dari hal-hal (di luar Islam) yang masuk dalam (ajaran) Islam yang tidak boleh dijadikan sandaran baik perkara aqidah, ibadah, atau akhlak. Mereka tidak menerapkan tashfiyah pada diri-diri mereka, terlebih lagi untuk merealisasikan tarbiyah pada kerabat mereka.
Maka darimana mereka akan mewujudkan tashfiyah dan tarbiyah pada kelompok yang mereka pimpin dan bersama mereka memberontak terhadap pemerintah?! Saya katakan, apabila kita mengetahui secara rinci kalimat itu (Apa-apa yang dibangun di atas sesuatu yang rusak maka hal tersebut adalah rusak), maka jawaban kita sangat jelas: bahwasanya apa yang terjadi di Aljazair dan Mesir serta yang lainnya adalah bukan saatnya, ini yang pertama; dan menyelisihi syariat Islam, baik tujuan maupun cara mereka, ini yang kedua. Namun harus ada perincian pada pertanyaan tersebut.”
(Yang ketujuh: Ucapan terakhir dari Asy-Syaikh dalam menjelaskan hukum jihad yang benar)
“Kami mengetahui bahwasanya Allah I –dengan keadilan dan hikmah-Nya– telah melarang pasukan muslimin terdahulu untuk menyerang kaum wanita. Maka Allah I melarang membunuh para wanita dan anak-anak, bahkan melarang membunuh para pendeta yang sedang berkonsentrasi untuk beribadah pada tuhan-tuhan mereka –seperti yang mereka sangka– padahal mereka di atas kesyirikan dan kesesatan. Allah Yang Maha Bijaksana melarang para pemimpin kaum muslimin untuk mengarahkan serangan kepada mereka. Hal tersebut dalam rangka merealisasikan prinsip dari prinsip-prinsip Islam yang ada, yaitu firman Allah I dalam Al-Qur’an:

“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada pada lembaran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji ? (Yaitu) bahwasanya orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya.” (An-Najm: 36-39)
Sehingga membunuh anak-anak tersebut, para wanita dan laki-laki yang tidak berperang di antara kedua belah pihak, dilarang oleh Islam. Dan sesungguhnya telah ada di sebagian hadits-hadits: “Bahwasanya Nabi n melihat manusia sedang mengerumuni sesuatu. Kemudian beliau bertanya, maka mereka menjawab: ‘Dia adalah seorang wanita yang terbunuh.’ Maka Nabi n bersabda:

“Tidaklah sepantasnya wanita itu ikut berperang.”
Dan dari sini kita bisa mengambil dua hukum yang saling berhadapan: Yang pertama; telah lewat penjelasannya, yaitu tidak boleh membunuh wanita dalam peperangan karena wanita tidak boleh berperang. Namun hukum yang kedua; yaitu apabila kita mendapatkan sebagian wanita ikut berperang di pasukan musuh, maka pada saat itu boleh bagi kaum muslimin untuk memerangi atau membunuh wanita tersebut yang telah ikut serta bersama para laki-laki dalam berperang.
Apabila pertanyaannya sekarang adalah ketika mereka menjebak –sebagaimana kata mereka– beberapa kendaraan, kemudian meledakkannya maka pecahan-pecahan ini akan menimpa kepada orang yang sama sekali tidak bersalah secara hukum syar’i. Maka yang demikian ini bukanlah merupakan ajaran Islam sama sekali. Akan tetapi kita katakan: Ini baru merupakan bagian kecil dari sesuatu yang besar. Yang paling berbahaya adalah pemberontakan ini, yang telah berlangsung beberapa tahun, dan tidaklah bertambah perkaranya kecuali kejelekan. Oleh karena itu kami katakan: Hanyalah amalan-amalan itu tergantung pada penutupnya, dan penutup dari suatu amalan tidak akan baik kecuali apabila ditegakkan di atas Islam, dan segala sesuatu yang di bangun di atas sesuatu yang menyelisihi Islam maka tentu tidak akan membuahkan kecuali kehancuran dan kebinasaan.” [Sumber: www.alalbany.net]

Hukum Membunuh Turis Kafir
Dalam ceramah yang lain, Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Apabila seorang kafir –sebagaimana dalam pertanyaan– dari kalangan turis/pelancong mereka tidaklah masuk ke negeri kita yang Islam kecuali dengan seijin pemerintah yang muslim. Oleh karena itu tidak boleh untuk berbuat jahat terhadap mereka karena mereka statusnya adalah mu’ahad4. Kemudian seandainya terjadi –dan sudah terjadi bukan hanya sekali– seorang muslim berbuat jahat kepada mereka maka akibatnya dia (si muslim ini) akan dibunuh atau bahkan juga yang lain atau akan dipenjara atau… atau… Maka tidak dihasilkan faidah Islami dari kejahatan terhadap darah turis ini di negeri muslim. Bahkan menyelisihi hadits yang tadi disebutkan:

“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad di selain waktunya (yakni dalam jaminan keamanannya), maka dia tidak akan mencium bau surga… (sampai akhir hadits).”
Demikianlah fatwa Asy-Syaikh Al-Albani t yang bisa kami nukilkan, semoga dapat mengobati kerinduan kita kepada kebenaran.
Wallahu a’lam.


1 Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Baihaqi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah z. (Shahihul Jami’ no. 7514, lihat pula Al-Irwa’ no. 81 dan Al-Misykat no. 404)

2 Shahih, HR. At-Tirmidzi dan Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Hasan Shahih. (Shahih Sunan At-Tirmidzi, no. 2869)

3 Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim

4  Mu’ahad adalah orang yang dijamin keamanannya oleh pemerintah muslim.

5 Asy-Syaikh membaca  , tapi dalam Sunan Abu Dawud (no. 2760) dan Sunan An-Nasa‘i (no. 4761) dengan lafadz . Barangkali Asy-Syaikh keliru melafadzkan hadits tersebut. Hadits ini sendiri dishahihkan oleh beliau dalam Shahih Sunan Abu Dawud.