Berhasil mendidik anak, tentu menjdadi harapan besar orang tua, pengajar, ataupun setiap individu yang berkompeten dalam masalah pendidikan anak. Berbagai kiat ditempuh. Di antaranya dengan memberikan penghargaan dalam keberhasilan anak dan hukuman dalam kesalahan yang dilakukannya.
Namun, sejauh mana langkah ini akan menunjang keberhasilan, kita perlu mendapat bimbingan dari orang-orang yang berilmu. Nukilan tulisan Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu tentang masalah ini dari kitab beliau, Nida ilal Murabbiyyin wal Murabbiyyat, memberikan penjelasan dan faedah yang sangat berharga bagi kita.
Keberhasilan kita sebagai mendidik anak tidaklah bersandar pada hukuman fisik. Bahkan, hal itu dilakukan seminimal mungkin, sesuai dengan kebutuhan. Pemberian penghargaan justru lebih dikedepankan daripada pemberian hukuman. Sebab, hal ini akan lebih memotivasi anak untuk belajar dan menyemaikan keinginan untuk mendapat tambahan pendidikan dan pengajaran.
Baca juga: Pentingnya Pendidikan Anak
Berbeda halnya dengan hukuman. Hukuman akan meninggalkan pengaruh buruk dalam jiwa si anak, yang akhirnya justru menjadi penghalang baginya untuk memahami serta mencerna ilmu yang diberikan. Selain itu, hukuman akan mengubur optimisme dan keberaniannya. Betapa banyak terjadi, seorang anak keluar dari sekolah karena melihat beragam kekasaran dan kezaliman yang dilakukan oleh sebagian gurunya. Lebih dari itu, mereka biasa menyebut gurunya yang keras dan kasar dengan sebutan ‘orang zalim’.
Karena itu, hendaknya kita mendahulukan segala bentuk pemberian penghargaan sebelum memberikan hukuman. Sebab, sebenarnya inilah hukum asalnya.
Sewajarnya kita memuji anak bila melihatnya berperilaku baik atau bersungguh-sungguh. Kita bisa sampaikan, misalnya, “Bagus, semoga Allah azza wa jalla memberikan berkah kepadamu!” atau “Memang, Fulan ini anak yang paling baik!” atau ucapan-ucapan baik yang sejenis. Ucapan ini akan memotivasi anak, menguatkan jiwanya, dan memberikan pengaruh yang sangat baik dalam dirinya. Hal ini akan mendorongnya untuk mencintai orang yang mendidiknya. Terbuka pula pikirannya untuk terus belajar.
Di samping itu, dalam waktu yang sama pujian akan memotivasi anak lain untuk mencontoh si anak yang dipuji dalam adab, perilaku, atau kesungguhannya, agar memperoleh pujian pula. Ini lebih baik daripada memberikan hukuman fisik pada mereka.
Anak memiliki tabiat menyukai hadiah. Biasanya, mereka begitu ingin mendapatkannya. Karena itu, layak kiranya jika kita berikan apa yang mereka sukai ini pada kesempatan tertentu.
Anak yang rajin, berakhlak baik, melaksanakan kewajiban shalat atau perbuatan baik lainnya, kemudian mendapat hadiah, akan merasa gembira dan puas dengan apa yang didapatkannya.
Semestinya pula kita memberikan motivasi kepada anak yang rajin, beradab, atau rajin menegakkan shalat dengan mendoakannya. Misalnya, kita mendoakan,
وَفَّقَكَ اللهُ، أَرْجُو لَكَ مُسْتَقْبِلاً بَاهِرًا
“Semoga Allah memberikan taufik kepadamu. Mudah-mudahan masa depanmu cerah.”
Kepada seorang anak yang biasa lalai atau berperilaku jelek, kita bisa mendoakan,
أَصْلَحَكَ اللهُ وَهَدَاكَ
“Semoga Allah azza wa jalla memperbaiki dirimu dan memberikan petunjuk kepadamu.”
Jika kita seorang pendidik di sebuah sekolah, kita bisa pula memasang semacam papan pengumuman di tempat yang mudah dilihat. Di situ ditulis nama-nama anak sesuai kelebihannya, baik dalam perilaku, kesungguhan, kebersihan, maupun yang lainnya. Pengumuman semacam ini akan menjadi motivasi bagi yang lainnya untuk mencontoh mereka agar nama mereka juga ditulis di papan tersebut.
Ketika anak mampu dengan baik menerangkan suatu pelajaran di depan kelas, menyampaikan hafalan, memecahkan suatu soal, atau membacakan salah satu surah Al-Qur’an, kita bisa menepuk bahunya untuk memotivasinya sambil mengatakan,
بَارَكَ اللهُ فِيْكَ
“Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan berkah kepadamu!”
Bila kita ingin memberikan penghargaan pada anak-anak yang memiliki kelebihan, bisa pula dengan menyatakan bahwa kita merupakan bagian dari mereka. Ini akan menjadi penghargaan besar bagi mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَوْلاَ الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنَ الْأَنْصَارِ
“Seandainya bukan karena hijrah, tentu aku akan menjadi salah seorang dari kaum Anshar.” (HR. al-Bukhari no. 7244)
Penghargaan pada seorang anak yang baik bisa pula berupa wejangan kepada anak-anak dan pendidik yang lain untuk berbuat baik pada si anak. Ini merupakan motivasi bagi anak itu sendiri dan bagi anak-anak yang lain. Mereka pun akan mencontoh kesungguhan dan akhlaknya.
Kita bisa pula menulis surat untuk keluarga anak yang ingin kita berikan penghargaan, berisi kebaikan-kebaikan si anak dan pujian untuknya. Ini akan mendorong keluarganya untuk memperlakukan si anak dengan baik, serta mendorong si anak untuk terus berperilaku terpuji.
Semestinya pula, kita menanyakan bagaimana akhlak dan perilaku anak-anak di rumahnya dan penjagaan mereka terhadap shalat lima waktu. Bagi anak laki-laki, tentunya bisa dengan membuat lembaran yang diisi oleh walinya maupun imam masjid sehingga dapat diketahui penunaian shalat jamaah mereka.
Cara lain yang dapat kita tempuh adalah menyeleksi beberapa anak untuk mengumpulkan sedekah bagi anak lain yang membutuhkan pakaian, bahan makanan, buku-buku, atau alat sekolah. Kita sendiri turut ambil bagian dalam kegiatan ini agar anak-anak mau mengikuti.
Setelah itu, kita sampaikan ucapan terima kasih kepada anak-anak yang telah memberikan bantuan di depan teman-teman mereka untuk memotivasi mereka semuanya. Dengan demikian, mereka akan tergerak untuk bersedekah dan memperoleh pahala di sisi Allah azza wa jalla karena Allah subhanahu wa ta’ala akan mengganti harta yang mereka infakkan.
Kita ingatkan pada mereka firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن شَيۡءٍ فَهُوَ يُخۡلِفُهُۥۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلرَّٰزِقِينَ
“Dan segala sesuatu yang kalian infakkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia sebaik-baik Pemberi rezeki.” (Saba: 39)
Bisa pula kita sisihkan sebagian infak untuk membeli hadiah bagi anak yang rajin, yang taat kepada pengajar dan orang tuanya, yang bersih pakaiannya, atau anak yang baik perilakunya.
Sebaliknya, kita hendaknya menjauhi bentuk-bentuk hukuman fisik karena hal ini membahayakan, baik bagi diri si anak maupun bagi diri kita sendiri. Selain itu, hukuman fisik juga membuang-buang waktu. Terkadang, malah si anak mendapat mudarat karena pukulan yang mengenainya, yang membuahkan ketakutan si anak terhadap diri kita.
Bahkan, kadang permasalahannya berkembang lebih jauh sehingga pendidik yang melakukan hukuman fisik itu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan pengadilan dan wali si anak. Semua ini berawal dari hukuman fisik.
Baca juga: Hukuman yang Mendidik
Oleh karena itu, penggunaan hukuman fisik hendaknya dijauhi kecuali dalam keadaan yang benar-benar memaksa. Misalnya, mendidik anak-anak bandel yang tidak mempan dengan cara selain hukuman fisik atau untuk menjaga kewibawaan serta kelancaran jalannya kegiatan belajar-mengajar. Tentu saja, ini setelah didahului dengan nasihat dan pengarahan kepada anak-anak, tetapi mereka tak juga berhenti. Ini ibarat pepatah Arab, “Obat yang paling akhir diberikan adalah kay[1].”
Jika suatu waktu kita merasa perlu memberikan hukuman pada anak, kita harus menghindari bentuk-bentuk hukuman seperti di bawah ini.
Tamparan atau pukulan di wajah bisa mengenai mata atau telinga. Bahkan, kadang menyebabkan rusaknya salah satu indra. Akibatnya, terkadang si pengajar harus menanggung akibat perbuatannya di pengadilan dan membayar ganti rugi. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang memukul wajah dalam sabdanya,
إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ فَلْيَتَّقِ الْوَجْه
“Apabila salah seorang di antara kalian memukul pembantunya, hendaknya menghindari memukul wajah.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 130)
Pengajar yang biasa memberikan pukulan keras bisa jadi akan dijuluki ‘pengajar yang zalim’ oleh murid-muridnya. Ini cukup menjadi kejelekan bagi dirinya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ يُحْرَمِ الْخَيْرَ
“Barang siapa terhalang dari kelembutan, dia akan terhalang dari seluruh kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali pasti menghiasinya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu kecuali akan menjelekkannya.” (HR. Muslim no. 2594)
Caci maki justru akan membuat anak semakin jauh dan menyimpang. Bahkan, bisa jadi nantinya membuat si anak semakin senang berbuat dosa. Anak juga akan ‘belajar’ mencaci maki, lalu mempraktikkannya di hadapan teman sekolahnya atau saudaranya di rumah. Kitalah yang akan bertanggung jawab apabila terjadi demikian.
Dalam hadits yang sahih, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa membuat suatu sunnah yang jelek, dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang ikut melakukannya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)
Abu Mas’ud radhiallahu anhu pernah mengisahkan,
“Aku pernah mencambuk budakku. Tiba-tiba, kudengar suara di belakangku, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!”
Namun, aku tak bisa memahami ucapan itu karena emosi. Ketika mendekat, tahulah aku, ternyata itu suara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Beliau mengatakan, “Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!”
Segera kulemparkan cambuk di tanganku. Beliau pun berkata,
اعْلَمْ أَبَا مَسْعُوْدٍ، أَنَّ اللهَ أَقْدَرُ عَلَيْكَ مِنْكَ عَلَى هَذَا الْغُلاَمِ
“Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya, Allah lebih mampu memberikan hukuman kepadamu daripada dirimu terhadap budak ini!”
Aku pun mengatakan, “Aku tak akan lagi memukul budak setelah ini selama-lamanya.” (HR. Muslim no. 1659)
Kadang tendangan mengenai organ tubuh yang penting sehingga membahayakan jiwa anak. Pertanggungjawaban pun dituntut. Akhirnya kesudahannya hanyalah penyesalan saat tak ada gunanya lagi penyesalan. Sementara itu, kita pun tahu bahwa menendang bukan perangai manusia.
Kita harus bisa mengendalikan emosi dan memahami kekhasan masa kanak-kanak sehingga kita bisa memaklumi segala tingkah mereka. Kita pun harus ingat, bagaimana tingkah kita semasa kanak-kanak dahulu yang mungkin malah lebih jelek lagi. Dengan begitu, amarah pun akan reda dan kita akan bisa menahan diri.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah orang yang menang bergulat. Namun, orang yang kuat itu yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim no. 2609)
Jangan pula kita menghukum anak ketika amarah memuncak agar tidak menyakiti si anak sehingga berbuntut akibat yang buruk.
Ada bentuk-bentuk hukuman yang mendidik yang layak kita terapkan. Di antaranya:
Ini merupakan metode dasar dalam mendidik dan mengajari anak, yang tak dapat ditinggalkan. Metode ini telah ditempuh oleh sang pendidik yang agung (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, -pen.) terhadap anak-anak kecil dan orang dewasa.
Penerapan metode ini pada anak-anak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika melihat seorang anak yang tangannya menjelajahi makanan yang terhidang saat itu. Beliau pun mengajarinya tata cara makan yang benar:
يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Nak, sebutlah dulu nama Allah, makan dengan tangan kananmu, dan makan dari makanan yang dekat denganmu.” (HR. al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)
Tak seorang pun mengatakan bahwa metode ini hanya memberikan pengaruh yang minim pada anak-anak.
Baca juga: Nasihat Ulama Seputar Pendidikan Anak
Adapun nasihat dan bimbingan beliau terhadap orang-orang yang telah dewasa, lebih banyak lagi contoh yang menunjukkan pengaruhnya. Seperti kisah A’rabi (Arab badui) yang diceritakan oleh Anas bin Malik radhiallahu anhu berikut ini.
Suatu ketika, kami sedang berada di masjid bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Tiba-tiba, datang seorang Arab badui lalu dia berdiri dan buang air kecil di dalam masjid. Para sahabat menyergah, “Hus! Hus!”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, “Jangan kalian putuskan kencingnya! Biarkan dia dulu!”
Para sahabat pun membiarkannya sampai selesai buang air. Setelah itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memanggil dan menasihatinya,
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ القَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ القُرْآنِ- أَوْ كَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya, masjid-masjid ini tidak pantas untuk buang air kecil ataupun buang kotoran. Masjid-masjid ini hanyalah untuk zikir kepada Allah, untuk shalat, dan membaca Al-Qur’an.”—atau sebagaimana yang beliau katakan.
Kemudian, beliau menyuruh seseorang untuk mengambil setimba air, lalu dituangkan pada bekas kencing tersebut. (HR. al-Bukhari no. 219 dan Muslim no. 285)
Kadangkala, boleh pula kita menunjukkan wajah masam pada anak-anak apabila melihat mereka gaduh. Ini lebih baik daripada membiarkan mereka berbuat gaduh, lalu baru memberikan hukuman setelah mereka keterlaluan.
Biasanya, apabila kita menegur dengan keras anak yang berbuat salah, dia akan berhenti berbuat kesalahan dan duduk kembali dengan penuh adab.
Metode ini diterapkan pula oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat melihat seseorang yang menggiring unta hadyu (hewan kurban bagi jamaah haji) dalam perjalanannya berhaji dan tidak mau menungganginya. Beliau mengatakan, “Tunggangi hewan itu!”
Orang itu menyangka bahwa hewan hadyu tidak boleh ditunggangi. Ia pun menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini hewan hadyu!”
Setelah dua atau tiga kali, beliau menghardiknya, “Tunggangi hewan itu! Celaka kamu!” (HR. al-Bukhari no. 6160 dan Muslim no. 1322)
Jika anak ribut berbicara dalam pelajaran, kita bisa menghentikannya dengan suara keras. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengatakan pada seseorang yang bersendawa di hadapan beliau,
كُفَّ عَنَّا جُشَاءَكَ
“Hentikan sendawamu di hadapan kami!” (HR. at-Tirmidzi no. 2478, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Ketika anak berbohong, memaksa minta sesuatu yang tak layak, atau berbuat kesalahan yang lain, kita boleh memalingkan wajah darinya agar si anak tahu kemarahan kita dan menghentikan perbuatannya.
Boleh pula kita mendiamkan anak yang melakukan kesalahan, seperti meninggalkan shalat, menonton film, atau perbuatan-perbuatan yang tidak beradab lain. Paling lama waktunya tiga hari karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” (HR. al-Bukhari no. 6064 dan Muslim no. 2559)
Jika anak melakukan dosa besar, kita boleh mencercanya bila nasihat dan bimbingan tidak lagi berpengaruh.
Anak yang malas atau bandel bisa dihukum dengan menyuruhnya duduk qurfusha[2] sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Posisi seperti ini akan membuatnya capai dan menjadi hukuman baginya. Ini jauh lebih baik daripada kita memukulnya dengan tangan atau tongkat.
Apabila murid terus-menerus mengulang kesalahannya setelah diberi nasihat, kita bisa menulis surat untuk walinya dan menyerahkan kepada wali untuk menghukumnya. Dengan cara ini, akan sempurna kerja sama antara sekolah dan keluarga dalam mendidik anak.
Bisa pula kita menggantungkan cambuk di dinding sehingga anak mudah melihatnya dan merasa takut mendapatkan hukuman. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
عَلِّقُوا السَّوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ الْبَيْتِ، فَإِنَّهُ لَهُمْ أَدَبٌ
“Gantungkanlah cambuk di tempat yang mudah dilihat anggota keluarga. Seabb, hal ini merupakan pendidikan bagi mereka.” (HR. ath-Thabarani, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 1447)
Namun, yang dimaksud bukanlah untuk memukul. Beliau tidak memerintahkan demikian.
Apabila metode lain tidak membuahkan hasil, kita boleh memukul dengan pukulan ringan, terutama ketika memerintah mereka menunaikan shalat saat telah berumur sepuluh tahun. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا أُوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun. Pukullah mereka apabila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun. Pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Ahmad. Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 5744 bahwa hadits ini hasan.)
Baca juga: Membiasakan Anak Shalat
Inilah beberapa catatan penting bagi kita dalam memberikan hukuman dan penghargaan kepada anak. Seraya kita memanjatkan doa dan permohonan pada Rabb semesta alam, semoga terwujud keinginan kita agar anak-anak menjadi penyejuk mata.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dinukil dengan beberapa perubahan dari kitab Nida ilal Murabbiyyin wal Murabbiyat li Taujihil Banin wal Banat, hlm. 83—98)
[1] Kay adalah cara pengobatan menggunakan besi panas yang ditempelkan pada tempat yang sakit
[2] Duduk qurfusha adalah duduk dengan menekuk kedua kaki, telapak kaki menempel di tanah dan paha menempel ke perut.