Asysyariah
Asysyariah

amirul mukminin umar bin al-khaththab (9)

9 tahun yang lalu
baca 9 menit
Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab (9)

 

Traditional-Arabic-Chair

Memberhentikan Pejabat

Di antara bukti kezuhudan para pejabat yang sangat diperhatikan oleh beliau radhiallahu ‘anhu ketika menugaskannya adalah sikap zuhud mereka terhadap jabatan itu sendiri. ‘Umar radhiallahu ‘anhu menganggap orang-orang yang memiliki keinginan terhadap jabatan tertentu adalah orang-orang yang tidak mampu menjalankan tugas, apalagi ikhlas dalam melaksanakannya.

Dalam beberapa kesempatan, ‘Umar radhiallahu ‘anhu menegaskan, “Siapa saja yang berambisi terhadap kepemimpinan, niscaya dia tidak akan bisa berlaku adil di dalamnya.”

Dalam benaknya, urusan kaum muslimin adalah persoalan yang sangat penting dan berat. Beliau radhiallahu ‘anhu pernah berandai-andai, jika saja tokoh utama di antara para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di tengah-tengah mereka, tentu merekalah yang akan ditugaskan memimpin kaum muslimin di daerah mereka.

“Berangan-anganlah kalian,” katanya suatu ketika kepada para sahabat dekatnya.

“Aku ingin, seandainya rumah ini penuh dengan emas, lalu aku infakkan di jalan Allah ‘azza wa jalla dan aku sedekahkan,” kata sebagian mereka.

“Aku ingin, seandainya rumah ini penuh dengan intan permata, lalu aku infakkan dan sedekahkan di jalan Allah ‘azza wa jalla,” kata yang lain.

“Berangan-anganlah kalian,” lanjut ‘Umar radhiallahu ‘anhu.

“Kami tidak mengerti, wahai Amirul Mukminin,” sahut mereka.

“Aku ingin, seandainya negeri ini dipenuhi oleh orang-orang yang keadaannya seperti Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Salim maula Abu Hudzaifah, dan Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu ‘anhum, lalu aku angkat mereka menjadi pejabat di atas ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla.”

Nama-nama sahabat g yang disebutkan oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu ini adalah orang-orang yang utama di kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang yang mula-mula masuk Islam, dikenal takwa, wara’, zuhud, berilmu, ahli fikih, pemberani, dan sifat terpuji lainnya.

Karena itulah, dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan kaum muslimin, ‘Umar radhiallahu ‘anhu benar-benar meneliti secara cermat orang-orang yang akan ditugaskannya di sebagian wilayah Islam. Sudah tentu, ketika melihat sebagian pejabatnya ternyata kurang baik menjalankan tugasnya, ‘Umar radhiallahu ‘anhu segera menggantinya dengan yang lain.

Dari sejarah hidup beliau radhiallahu ‘anhu, disimpulkan oleh sebagian ulama bahwa ada beberapa alasan beliau radhiallahu ‘anhu mencopot pejabat yang pernah ditunjuknya. Hal ini memberikan gambaran bahwa ‘Umar betul-betul cermat dalam memilih dan menggeser kedudukan seseorang, bukan karena sentimen pribadi.

Beberapa alasan itu antara lain sebagai berikut.

  1. Ketidakmampuan pejabat itu dalam bertugas atau kurang sempurna dalam menjalankannya.

Siapapun tidak meragukan keutamaan ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu, sahabat yang diberitakan diselamatkan oleh Allah ‘azza wa jalla dari neraka. Akan tetapi, ketika sebagian sahabat lain menjadi saksi akan kelemahannya dalam sebagian kewajibannya, ‘Umar radhiallahu ‘anhu mencopot ‘Ammar radhiallahu ‘anhu dari kedudukannya sebagai pemimpin.

Demikian pula yang dialami oleh Syurahbil bin Hasanah radhiallahu ‘anhu. Panglima ini dicopot oleh ‘Umar dan digantikan dengan orang yang lebih ahli daripadanya.

  1. Adanya pengaduan rakyat tentang pejabat tersebut

Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat yang dijamin oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk surga. Beliau radhiallahu ‘anhu pernah diberi tugas sebagai gubernur di Kufah. Akan tetapi, sebagian penduduk Kufah mencelanya dan menuduh bahwa Sa’ad radhiallahu ‘anhu tidak shalat dengan benar ketika mengimami mereka. Sa’ad radhiallahu ‘anhu juga dituduh tidak membagi dengan adil.

Meskipun yakin bahwa tuduhan itu tidak benar, ‘Umar radhiallahu ‘anhu tetap mencopot Sa’ad radhiallahu ‘anhu dari kedudukannya sebagai gubernur. Semua itu beliau radhiallahu ‘anhu lakukan untuk menutup celah timbulnya kejelekan, yaitu tidak senangnya rakyat kepada penguasa mereka lalu tidak mau menaatinya dalam kebaikan.

Dalam sebagian kesempatan, beliau radhiallahu ‘anhu menjelaskan bahwa Sa’ad radhiallahu ‘anhu dicopot bukan karena dia khianat atau ketidakmampuannya menjalankan tugas.

radhiallahu ‘anhuma. Pejabat melakukan perbuatan yang tidak disukai oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu

Seperti yang beliau radhiallahu ‘anhu lakukan terhadap Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang pulang membawa harta yang cukup banyak dari Bahrain. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ditanya dari mana kekayaan tersebut. Abu Hurairah menjelaskan dengan jujur. Akan tetapi, tabiat ‘Umar yang tidak ingin pejabatnya dicurigai oleh rakyatnya menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri, mencopot Abu Hurairah dari jabatannya. Setelah diteliti dengan saksama, ternyata harta itu memang sebagaimana yang diterangkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. ‘Umar radhiallahu ‘anhu memanggilnya untuk ditugaskan kembali.

Akan tetapi, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menolak, karena khawatir kehormatannya rusak dan punggungnya dicambuk, apabila salah melangkah.

Bahkan, seringan apapun kesalahan seorang pejabatnya, tetapi tidak layak dilakukannya karena dia adalah orang yang menjadi ikutan, beliau radhiallahu ‘anhu tidak segan-segan mencopotnya dari kedudukannya. Seperti yang beliau radhiallahu ‘anhu lakukan terhadap seorang sahabat yang menyenandungkan syair berisi pujian terhadap khamr. Meskipun hanya sekadar bersyair dan alasan itu diterima oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu, namun ‘Umar tetap menurunkan sahabat tersebut dari jabatannya.

  1. Pejabat mengajukan uzur syar’i untuk menolak tugas.

Seperti yang terjadi pada Nu’man bin Muqarrin radhiallahu ‘anhu.

Wallahu a’lam.

 

Penyayang terhadap Rakyatnya

Kita mengenang kembali ‘Umar radhiallahu ‘anhu sebelum masuk Islam. Betapa ganas dan tanpa belas kasihan dia menyiksa seorang budak wanita yang beriman. Siksaan itu berhenti setelah ‘Umar radhiallahu ‘anhu kepayahan, sedangkan budak itu tetap tegar dalam keimanannya.

Hampir tidak kita dapati dalam riwayat bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu pernah merasa iba melihat penderitaan orang lain, lebih-lebih kaum muslimin. Kecuali saat itu, ketika dia melihat Ummu ‘Abdillah bintu Abi Hatsmah radhiallahu ‘anha yang menyiapkan bekal untuk hijrah ke Habasyah. Ummu ‘Abdillah radhiallahu ‘anha melihat seolah-olah ‘Umar radhiallahu ‘anhu merasa kasihan kepada mereka. Akan tetapi, ‘Amir radhiallahu ‘anhu sang suami mengingkari, “Dia tidak akan masuk Islam sampai keledai al-Khahthab masuk Islam.” Abu ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu merasa putus asa melihat kekejaman dan kekasaran ‘Umar radhiallahu ‘anhu terhadap kaum muslimin.

Itulah ‘Umar radhiallahu ‘anhu sebelum masuk Islam.

Setelah masuk Islam, hampir sepanjang kehidupannya yang sampai kepada kita, banyak menceritakan betapa pilu hatinya ketika mengetahui kesengsaraan dan kepedihan yang dirasakan oleh sebagian kaum muslimin.

Beliau radhiallahu ‘anhu juga tidak rela apabila kesulitan yang dirasakan oleh rakyat itu diperparah oleh kelakuan sebagian pejabat yang ditugaskannya.

Diceritakan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu selalu meminta para pejabatnya bertemu dengannya di setiap musim haji. Di situ, Amirul Mukminin radhiallahu ‘anhu selalu mengingatkan mereka, “Hai kaum muslimin, saya tidak mengangkat petugas kalian atau pejabatku itu untuk memukul kalian atau merampas harta kalian. Tidak pula meruntuhkan kehormatan kalian. Akan tetapi, saya mengangkat seorang pejabat untuk menjadi pelindung kalian dan membagi ghanimah di antara kalian. Karena itu, siapa saja di antara kalian yang terzalimi oleh mereka, hendaklah dia berdiri.”

Namun, tidak ada yang berdiri kecuali seorang laki-laki yang berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seorang petugasmu memukulku seratus kali cambukan.”

Kata beliau radhiallahu ‘anhu, “Bangkitlah dan balaslah.”

Tiba-tiba ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu berdiri dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, seandainya Anda membuka masalah ini terhadap para pejabatmu, tentu akan menjadi sunnah yang tetap diberlakukan oleh orang-orang yang datang sesudahmu.”

Beliaupun berkata, “Saya tidak mengkisasnya, tetapi saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan dirinya untuk dikisas.”

Kata ‘Amr radhiallahu ‘anhu, “Biarkan kami meminta kerelaannya.”

“Buatlah dia rela,” kata ‘Umar radhiallahu ‘anhu.

Akhirnya, mereka membuat orang itu rela dengan menerima tebusan sebanyak duaratus dinar. Setiap cambukan dihargai dua dinar.[1]

Itulah ‘Umar al-Faruq putra al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Dia juga tidak senang keluarganya menerima fasilitas negara karena hubungan mereka dengan pribadinya. Oleh sebab itu, ketika dibuat sensus penduduk untuk menerima jatah subsidi dari pemerintah, ada beberapa orang menyarankan agar memasukkan keluarga ‘Umar (Bani ‘Adi) di deretan atas. Akan tetapi, dengan tegas beliau menolak dan justru menempatkannya di bagian paling akhir.

“Jangan sampai orang mengatakan bahwa mereka menerima fasilitas atau jatah itu karena keluarga Amirul Mukminin.”

Pernah diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunannya, al-Kubra, dari Salim, bahwa ayahnya, ‘Abdullah bin ‘Umar bercerita,

Dahulu kami pernah tinggal di Mesir, pada masa ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu menjadi gubernur. Saudaraku, ‘Abdurrahman bin ‘Umar dan Abu Sirwa’ah ‘Uqbah bin al-Harits radhiallahu ‘anhuma minum khamr sampai mabuk. Setelah keduanya sadar, mereka menemui ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu dan berkata, “Sucikan kami, karena kami mabuk oleh minuman yang kami minum.”

Kata ‘Abdullah, “Saya tidak tahu kalau mereka ternyata sudah menemui ‘Amr bin ‘Ash.”

Saudaraku itu mengatakan bahwa dia mabuk.

Kata ‘Abdullah radhiallahu ‘anhu, “Masuklah ke rumah, aku akan menghukummu.”

Dia mengatakan bahwa dia telah menyampaikan kepada gubernur.

Kata ‘Abdullah radhiallahu ‘anhu, “Demi Allah, kamu tidak akan dicukur di hadapan orang banyak. Masuklah, aku akan mencukur kepalamu.”

Dahulu, mereka mencukur rambut orang yang mabuk ditambah dengan hukuman had (cambukan). Diapun masuk bersamaku, lalu aku mencukur saudaraku dengan tanganku sendiri, kemudian dicambuk oleh ‘Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu.

Ternyata, peristiwa ini didengar oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, maka beliau radhiallahu ‘anhu menulis surat memerintahkan ‘Amr radhiallahu ‘anhu mengirim ‘Abdurrahman radhiallahu ‘anhu pulang ke Madinah.

Setelah sampai di Madinah, ‘Umar zmencambuk putranya dan menghukumnya karena kedudukannya sebagai putra Amirul Mukminin. Setelah itu, beliau melepaskan putranya. Beberapa bulan kemudian, dalam keadaan sudah sehat, takdir Allah ‘azza wa jalla harus dijalaninya, ‘Abdurrahman radhiallahu ‘anhu meninggal dunia. Orang banyak mengira dia meninggal karena dicambuk oleh ayahnya, Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, padahal tidak demikian.

Sesungguhnya demikianlah, ‘Abdurrahman radhiallahu ‘anhu dicambuk oleh ayahnya sendiri bukan sebagai hukuman had, melainkan ta’zir (hukuman ringan), karena hukuman had itu tidak diulangjika sudah dijatuhkan.

Wallahu a’lam.

 (insya Allah bersambung)

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits


[1] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (al-Kubra) secara maushul dan mursal.