Perjalanan hidup suatu umat seringkali tidak selalu dalam satu keadaan. Pasang surutnya iman, berat ringannya tantangan, dan besar kecilnya godaan sangat berpengaruh bagi eksistensi mereka dalam kehidupan. Terkadang ia mampu bertahan di atas kebaikan, dan terkadang pula terseok-seok diempaskan oleh badai kemungkaran. Mahasuci Allah dengan segala hikmah-Nya yang telah membimbing para hamba untuk saling menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, serta menjadikannya sebagai amalan mulia dalam semua syariat (agama) yang dibawa oleh para nabi dan rasul-Nya. Bahkan, karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan kitab suci dan mengutus para rasul di muka bumi. Demikianlah penuturan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab al-Istiqamah (2/198).
Dalam istilah agama, amalan menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran disebut dengan al-amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil mungkar
– al-amru (اَلْأَمْرُ): menyeru/memerintah.
– bil ma’ruf (بِالْمَعْرُوفِ): dengan (kepada) kebaikan.
– wan nahyu (وَالنَّهْيُ): dan mencegah/melarang.
– ‘anil mungkar (عَنِ الْمُنْكَرِ): dari kemungkaran.
Istilah itu pun kemudian lebih dikenal di masyarakat kita dengan sebutan amar ma’ruf nahi mungkar..
Para pembaca yang mulia, amar ma’ruf nahi mungkar adalah simbol keimanan dan kepedulian suatu umat. Keberadaannya pada suatu umat laksana tonggak bagi kehidupan mereka. Ketika tonggak amar ma’ruf nahi mungkar itu roboh, akan roboh pula tatanan kehidupan mereka dan akan berakhir dengan kebinasaan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain (selalu) tidak saling mencegah dari kemungkaran yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (al-Maidah: 78—79)
“Mengapa orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka tidak mencegah mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.” (al-Maidah: 63)
Sebaliknya, ketika tonggak amar ma’ruf nahi mungkar pada suatu umat itu tegak, akan tegak pula tatanan kehidupan mereka dan akan berakhir dengan keberuntungan. Dengan sebab itulah Allah subhanahu wa ta’ala menyematkan gelar “sebaik-baik umat” kepada umat Islam yang dipelopori oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 110)
Dengan sebab itu pula, terbedakan antara kehidupan orang-orang yang beriman dengan kehidupan orang-orang yang munafik. Allah subhanahu wa ta’ala memuji kehidupan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyeru (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, serta mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
Allah subhanahu wa ta’ala pun mencela kehidupan orang-orang yang munafik, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Orang-orang munafik lelaki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama. Mereka menyeru membuat yang mungkar dan mencegah berbuat yang ma’ruf, serta menggenggamkan tangannya (berlaku kikir). Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” (at-Taubah: 67)
Kewajiban Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar adalah tonggak yang kuat untuk mempertahankan keberadaan suatu umat, kemuliaan dan keutuhannya. Dengannya, suatu umat tidak bisa diporak-porandakan oleh hawa nafsu dan tidak bisa pula dicerai-beraikan oleh jalan-jalan kesesatan.” (Majalis Syahri Ramadhan, al-Majlis al-‘Isyrun)
Betapa tinggi kedudukan amar ma’ruf nahi mungkar itu. Betapa besar manfaatnya bagi kehidupan umat. Ketika ia dicampakkan, ilmu tentangnya diremehkan, dan pelaksanaannya tidak dipedulikan, niscaya akan tersebar kesesatan dan kebodohan di tengah umat, negeri-negeri akan hancur, dan umat manusia pun akan binasa.
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amar ma’ruf nahi mungkar merupakan poros terkuat agama ini. Dengan misi itulah, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para nabi dan rasul. Ketika ia dicampakkan, ilmu tentangnya diremehkan, dan pelaksanaannya tidak dipedulikan, niscaya akan tersebar kesesatan dan kebodohan (di tengah umat, pen.), negeri-negeri akan hancur, dan umat manusia pun akan binasa.” (ad-Durar as-Saniyyah 15/15)
Tak heran jika Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan amar ma’ruf nahi mungkar tersebut sebagai kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam kalam ilahi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Demikian halnya dalam as-Sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lisannya yang mulia bersabda:
“Demi (Allah subhanahu wa ta’ala) Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh tegakkanlah oleh kalian amar ma’ruf nahi mungkar (perintah kepada yang ma’ruf dan larangan dari yang mungkar). Jika kalian tidak melakukannya, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan menurunkan kepada kalian hukuman dari-Nya, kemudian doa kalian tidak lagi dikabulkan-Nya.” (HR. at-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya, no. 2169 dari sahabat Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu. Dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Misykah, no. 5140 dan Shahih at-Targhib wat Tarhib, no. 2313)
Al-Hafizh Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sungguh telah sepakat (dalil-dalil) dari Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) ulama tentang kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar.” (Syarh Shahih Muslim 2/212)
Al-Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Amar ma’ruf nahi mungkar termasuk kewajiban terbesar dalam syariat (Islam) yang suci ini. Ia adalah salah satu landasannya yang utama dan tonggaknya yang terkokoh. Dengan amar ma’ruf nahi mungkar, segala aturan dalam syariat ini menjadi sempurna dan puncak kemuliaannya pun tampak semakin tinggi.” (Fathul Qadir, tafsir Ali Imran: 104)
Mungkin di antara pembaca ada yang bertanya, “Apakah kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar itu berlaku untuk semua elemen umat ataukah ada rinciannya?”
Al-Hafizh Yahya bin Syaraf an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar itu sifatnya fardhu kifayah. Apabila sebagian dari umat ini ada yang melakukannya, gugurlah kewajiban tersebut dari sebagian yang lain. Namun, jika semua elemen umat meninggalkannya, semua yang berkemampuan tanpa ada uzur dan rasa takut, akan berdosa karenanya. Beramar ma’ruf nahi mungkar pun bisa menjadi kewajiban bagi orang tertentu secara khusus, ketika tidak ada yang mengetahui hal itu selain dia atau tidak ada yang mampu mencegah dari kemungkaran selainnya. (Lihat Syarh Shahih Muslim 2/213)
Al-Imam Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh rahimahullah menambahkan bahwa kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar itu dapat dilakukan dengan menggunakan tangan, lisan, dan hati dalam lingkup yang dimampui. Kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar dengan menggunakan tangan dan lisan hukumnya fardhu kifayah. Apabila sebagian umat ini ada yang melakukannya, gugurlah kewajiban tersebut dari sebagian yang lain. Namun, jika semua elemen umat meninggalkannya, semuanya pun berdosa karenanya. Adapun kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar dengan menggunakan hati berlaku bagi setiap muslim dalam segala kondisinya. (Lihat ad-Durar as-Saniyyah 8/62)
Kaidah Penentuan yang Ma’ruf dan yang Mungkar
Para Pembaca yang mulia, kewajiban beramar ma’ruf nahi mungkar tidak mungkin terlaksana tanpa mengilmui (memahami dengan baik) sesuatu yang ma’ruf dan yang mungkar. Demikian pula pelaku amar ma’ruf nahi mungkar, tidak mungkin menegakkannya dengan benar tanpa mengilmui (memahami dengan baik) sesuatu yang ma’ruf dan yang mungkar itu. Bahkan, mudarat (efek negatif) yang ditimbulkannya seringkali lebih besar daripada manfaatnya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Seseorang yang melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar harus mengilmui (memahami dengan baik) hukum-hukum syar’i terkait dengan yang ma’ruf dan yang mungkar. Jika pelaku amar ma’ruf nahi mungkar tidak memahaminya dengan baik, lalu menyeru orang kepada sesuatu yang dianggapnya ma’ruf padahal dalam pandangan syariat bukan ma’ruf, mudarat (efek negatif) yang ditimbulkannya akan lebih besar daripada manfaatnya.” (Majmu’ah Rasail asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 5/208)
Jika demikian, apa kaidah penentuan yang ma’ruf dan yang mungkar itu?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah (2/329) menjelaskan bahwa sesuatu yang ma’ruf adalah yang dinilai baik oleh syariat. Adapun yang mungkar adalah yang dinilai jelek oleh syariat. Segala sesuatu yang diperintahkan dalam syariat adalah ma’ruf, sedangkan segala sesuatu yang dilarang dalam syariat adalah mungkar. Dalam Syarh Riyadhish Shalihin “Bab al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar”, beliau memperjelas bahwa sesuatu yang ma’ruf adalah yang dinilai baik dan ditetapkan oleh syariat, berupa berbagai ibadah yang bersifat ucapan dan perbuatan, baik yang lahir maupun yang batin. Adapun yang mungkar adalah segala sesuatu yang diingkari oleh syariat dan dilarangnya, berupa berbagai kemaksiatan, kekufuran, kefasikan, pelanggaran, dusta, ghibah (menceritakan kejelekan sesama muslim), namimah (mengadu-domba), dan sebagainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab al-Istiqamah (2/311) berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyeru kita agar berbuat yang ma’ruf, yaitu ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang ma’ruf itu mencakup ash-shalah (kesalehan), al-hasanat (kebagusan), al-khair (kebaikan), dan al-bir (kebajikan). Allah subhanahu wa ta’ala juga mencegah dari kemungkaran, yaitu kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang mungkar itu mencakup al-fasad (kerusakan), as-sayyiat (keburukan), asy-syar (kejelekan), dan al-fujur (kejahatan).”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa sesuatu yang ma’ruf itu adalah yang dinilai baik oleh syariat dan akal sehat, yang meliputi hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala dan hak-hak sesama hamba. Beliau rahimahullah juga menjelaskan bahwa segala sesuatu yang tanpa keberadaannya tidak terwujud yang ma’ruf maka ia juga termasuk hal yang ma’ruf. Demikian pula segala sesuatu yang dengan keberadaannya menjadi terwujud sebuah kemungkaran maka ia juga termasuk dari kemungkaran. (Lihat Taisir al-Karimirrahman, tafsir al-Hajj: 41)
Para Pembaca yang mulia, dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa:
Jika demikian, apa contoh nyata dari yang ma’ruf dan yang mungkar itu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab al-Istiqamah (2/209) menyebutkan beberapa contoh nyata dari yang ma’ruf, antara lain:
Dinamika Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Para Pembaca yang mulia, telah berlalu keterangan seputar kedudukan amar ma’ruf nahi mungkar, perannya yang besar dalam kehidupan, dan kewajiban untuk menegakkannya dengan terlebih dahulu mengilmui (memahami dengan baik) kaidah penentuan yang ma’ruf dan yang mungkar. Bagaimanakah agar penegakan amar ma’ruf nahi mungkar itu berjalan dengan baik, mendapat ridha dari Allah subhanahu wa ta’ala, dan berbuah berkah dalam kehidupan? Untuk meraih semua itu, hendaknya memerhatikan hal-hal penting berikut ini.
Di antara niat yang lurus dalam beramar ma’ruf nahi mungkar adalah mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala, kekhawatiran akan azab-Nya jika tidak melakukannya, marah karena Allah subhanahu wa ta’ala ketika syariat-Nya dilanggar, untuk menasihati orang-orang yang beriman dan menyayangi mereka, menginginkan keselamatan bagi mereka dari kemarahan dan azab Allah subhanahu wa ta’ala di dunia dan akhirat, serta karena pengagungan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan kecintaan kepada-Nya bahwa Dialah yang berhak ditaati tanpa dimaksiati, diingat tanpa dilupakan, dan disyukuri tanpa dikufuri nikmat-Nya. Demikian faedah dari al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul Ulum wal Hikam, hadits ke-34.
Ada tambahan faedah dari asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam koleksi fatwa beliau no. 199, yaitu:
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Seseorang tidak boleh melakukan amar ma’ruf nahi mungkar melainkan ada pada dirinya tiga perangai: lemah lembut ketika menyeru dan mencegah, adil ketika menyeru dan mencegah, mengilmui sesuatu yang diseru dan dicegahnya.” (Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam, hadits ke-34)
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu dengan lisannya, dengan hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim, no. 78 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Siapakah pelaku pada masing-masing tahapan tersebut? Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menjelaskan bahwa yang berhak mengingkari/mencegah kemungkaran dengan menggunakan tangan adalah pihak yang berwenang dari pemerintah kaum muslimin,[1] demikian pula setiap kepala rumah tangga terhadap anggota keluarganya secara khusus. Adapun selain mereka, dengan menggunakan lisan apabila memang ada kemampuan. Jika tidak mampu dengan lisan, dengan hati, yaitu dengan cara membencinya dan merasakan kebencian tersebut pada hati, itulah selemah-lemah iman. (Lihat Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arbain, hadits ke-34)
Para Pembaca yang mulia, demikianlah sajian “Manhaji” seputar amar ma’ruf nahi mungkar. Semoga berbuah faedah bagi kehidupan kita semua; amar ma’ruf nahi mungkar ditegakkan, dilakukan sesuai dengan bimbingan, dan dibangun di atas lurusnya niatan. Dengan harapan, semua itu dapat mengantarkan kepada ridha ar-Rahman dan berbuah berkah dalam kehidupan.
Amin, Ya Mujibas Sailin.
Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi
[1] Menurut asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan rahimahullah dalam koleksi fatwa beliau no. 203, agar penegakan amar ma’ruf nahi mungkar itu berjalan lebih rapi dan membuahkan hasil yang maksimal, maka pemerintah kaum muslimin bisa membentuk secara resmi badan khusus di bidang tersebut yang terdiri dari para ulama dan orang-orang yang mempunyai semangat tinggi untuk menegakkan kebaikan, dengan segala sarana penunjangnya, sebagaimana yang ada di Kerajaan Saudi Arabia.