Kemungkaran terpampang jelas di depan kita. Pelacuran dan hiburan malam di mana-mana, majalah/tabloid/VCD porno/semiporno mudah didapatkan di pinggir-pinggir jalan, situs porno mudah diakses anak-anak kita, judi dengan beragam jenisnya telah demikian mengakar, miras dan narkoba merajalela, seks bebas menjadi biasa, artis seronok dan pezina dibela serta dipuja-puja, klenik dan syirik—dengan beragam kemasan—membudaya, penistaan agama dipelihara, yang haram—seperti rokok—dicarikan dalil-dalil pembenarnya.
Di bulan suci umat Islam, Ramadhan, suasananya tak kalah menyedihkan. Di siang hari, warung makan atau restoran buka secara terang-terangan. Sementara itu, yang tutup malah bisa dihitung dengan jari. Orang bebas makan dan minum di tempat terbuka tanpa rasa sungkan lagi. Di malam hari, gempita suasana malam tak sedikit pun menyiratkan bahwa siang hari sebelumnya, (sebagian) kaum muslimin baru saja menunaikan salah satu ibadah yang agung, berpuasa. Tanya seakan terus menerpa, benarkah negara ini adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia?
Miris memang. Betapa agama telah demikian tak berharga. Ketika itu semua ditentang, gelombang pembelaan dari media dan tokoh-tokoh “nyeleneh” justru datang. Kalau hiburan malam ditutup bagaimana nasib pekerjanya, kalau lokalisasi ini ditutup bagaimana dengan nasib “penghuni”-nya dan warung-warung yang dihidupi oleh lokalisasi ini?, “Seni jangan dikaitkan dengan agama”, “Ini kebebasan berekspresi!” dan seterusnya.
Agama justru dikalahkan oleh persoalan perut. Islam mesti bersimpuh di hadapan seni. Na’udzubillah! Jika mengikuti emosi kita, rasanya kita ingin melibas habis itu semua secepatnya. Ingin kita geruduk sarang-sarang prostitusi, ingin kita bakar diskotek dan tempat hiburan malam, ingin kita “sweeping” warung penjual miras, dan seterusnya.
Namun, apakah itu semua menyelesaikan masalah? Apakah ini solusi bagi umat Islam yang memang sangat jahil (bodoh) terhadap agamanya? Sudahkah kita berbekal ilmu yang benar dan mengedepankan sikap hikmah dan lemah lembut dalam amar ma’ruf nahi mungkar ini? Di manakah kesabaran kita? Sudahkah kita menempuh tahapan demi tahapan yang digariskan syariat?
Niat baik dan semangat semata, nyata tak pernah cukup. Di tengah masyarakat dan media yang bodoh, orang yang berdiri di barisan penegak amar ma’ruf nahi mungkar justru sering diposisikan negatif. Terlebih jika “amar ma’ruf nahi mungkar” itu dibarengi tindakan anarki. Muncullah istilah-istilah yang sejatinya melecehkan Islam: preman berpeci atau preman bersorban.
Memang, seseorang yang beramar ma’ruf nahi mungkar berarti telah memosisikan dirinya sebagai penyampai kebenaran, padahal tidak setiap orang ridha dan suka dengan kebenaran. Oleh karena itu, wajar jika ia mendapat beragam “gangguan”. Masalahnya, kita perlu menyadari, ada kewenangan-kewenangan yang hanya dimiliki oleh pemerintah melalui aparaturnya, seperti kepolisian atau Satpol PP. Kala semua pihak mengubah kemungkaran dengan kekuatan menurut cara-caranya sendiri, yang terjadi justru fitnah dan kekacauan, bahkan memicu munculnya kemungkaran baru yang lebih besar.
Dalam hal membangun serta membina akidah dan akhlak seorang muslim, Islam tidak sekadar menjadikannya sebagai pribadi yang saleh. Akan tetapi, juga mendorongnya untuk menjadi pribadi yang mushlih (selalu mengupayakan terciptanya perbaikan), saleh bagi dirinya dan mengupayakan kesalehan bagi selainnya.
Maka, ketika amar ma’ruf nahi mungkar dilakukan secara serampangan, bahkan dijiwai anarkisme, berarti itu bukan amar ma’ruf nahi mungkar yang sesungguhnya.