(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
“Apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)
Para ulama ahli tafsir menyebutkan, ketika ayat ini turun, Rasulullah n bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah (musibah yang menimpa pada seorang hamba) berupa goresan kayu (yang melukai badan), salah urat, terkena batu, terkilir, melainkan karena dosa, dan apa yang Dia maafkan dari dosa itu lebih banyak.” Riwayat ini diriwayatkan oleh Hannad secara mursal pada kitab az-Zuhud melalui al-Hasan al-Bashri.
Riwayat ini dikuatkan oleh riwayat dari Abu Musa al-Asy’ari yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dengan lafadz, “Tidaklah suatu musibah berat atau ringan, menimpa seorang hamba melainkan karena dosa, dan yang Dia l maafkan lebih banyak.”
Juga riwayat dari al-Bara’ bin Azib yang dikeluarkan oleh ath-Thabarani. Al-Imam as-Suyuthi t dalam kitabnya ad-Durrul Mantsur menisbahkan riwayat tersebut dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur, Abd bin Humaid, Ibnul Mundzir, dan Abu Hatim.
Ibnu Sa’d meriwayatkan dari Abu Mulaikah, dari Asma’ bintu Abu Bakr ash-Shiddiq c, beliau pernah pusing kemudian meletakkan tangannya di kepala seraya berkata, “Ini karena dosaku dan apa yang Allah l ampuni lebih banyak.”
Penjelasan Mufradat Ayat
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu.”
Yaitu, segala musibah yang menimpa manusia di dunia ini, baik pada jiwa, keluarga, maupun harta, seperti sakit dan yang lainnya.
“… adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.”
Artinya, disebabkan oleh dosa-dosa yang kalian lakukan. Al-Baghawi t berkata, “Orang-orang Syam membaca ayat ini tanpa huruf fa’ بِمَا كَسَبَتْ, demikian pula yang tertulis pada mushaf mereka. Huruf مَا yang ada di awal ayat bermakna الَّذِي sebagai isim mausul (bermakna ‘yang’).” Dihikayatkan dari Ibnu Malik t bahwa beliau berkata, “Perbedaan dua bacaan dalam ayat ini menunjukkan bahwa مَا pada awal ayat adalah isim maushul, terkadang pada khabarnya ada fa’ dan terkadang tidak.”
Asy-Syaukani berkata dalam tafsirnya Fathul Qadir, “Termasuk yang membaca tanpa fa’ dalam ayat ini adalah Nafi’ dan Ibnu Amir. Adapun yang lainnya memakai fa’. Huruf مَا pada awal ayat adalah syarthiyah. Oleh karena itu, fa’ masuk pada jawabu syarth, menurut bacaan jumhur qurra’. Menurut Sibawaih dan jumhur, fa’ dalam ayat ini (secara aturan bahasa Arab) tidak boleh dibuang/dihapus. Adapun al-Akhfas membolehkannya, semacam firman Allah l:
tanpa huruf fa’ sebelum ﮔ .
“(Dan) Allah memaafkan sebagian besar.”
Ibnu Katsir t berkata, “Maksudnya, (memaafkan) kesalahan-kesalahan sehingga tidak menghukum kalian atas dosa-dosa (tersebut), namun justru memaafkannya. Hal ini sebagaimana firman Allah l:
“(Dan) kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi ini suatu makhluk yang melata pun (manusia).” (Fathir: 45)
Demikian pula sabda Rasulullah n:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya juga sebagai penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari, no. 5318)
Penjelasan Ayat
Al-Imam ath-Thabari t memaparkan ucapan Ibnu Abbas tentang tafsir ayat ini, “Allah l menjadikan hukuman bagi orang-orang mukmin karena dosa-dosa mereka (di dunia) dan tidak akan menyiksa mereka di akhirat karena dosa.”
Al-Hasan al-Bashri t mengatakan bahwa ayat ini diterapkan pada permasalahan hukum-hukum had (seperti qishash, rajam, dan yang lain, -pen.).
Al-Alusi t mengatakan bahwa ayat ini tertuju secara khusus kepada para pelaku dosa dari kalangan kaum muslimin dan selain mereka. Hal ini karena orang yang tidak punya dosa, seperti para nabi, terkadang juga tertimpa musibah. Dalam hadits Nabi n:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya.” (HR. al-Imam al-Hakim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan yang lain)
Jadi, musibah yang menimpa mereka adalah untuk mengangkat derajat atau untuk hikmah lain yang tidak kita ketahui.
Anak-anak dan orang gila tidak masuk dalam pembicaraan ayat ini, karena ayat ini ditujukan bagi orang-orang yang mukallaf (dibebani hukum syariat). Anggaplah mereka termasuk dalam ayat ini, tetapi mereka bukanlah termasuk para pelaku dosa, sehingga musibah yang menimpa mereka memiliki hikmah tersendiri yang tidak diketahui, bukan karena dosa.
Ada yang berpendapat, musibah yang menimpa anak-anak adalah untuk mengangkat derajat mereka dan derajat kedua orang tuanya, atau orang yang memberi kasih sayang kepada mereka dengan kesabaran yang indah.
Musibah terkadang juga menjadi hukuman atas suatu dosa dan balasan atasnya, yang kelak di hari kiamat ia tidak akan disiksa.
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata dalam Tafsir-nya, “Dalam ayat ini, Allah l menyatakan bahwasanya musibah apa pun yang menimpa hamba (manusia) baik pada badan, harta, maupun anak-anak mereka terhadap apa saja yang mereka senangi yang mana hal itu merupakan perkara yang sangat mereka cintai, kecuali karena perbuatan tangan mereka sendiri berupa kesalahan/dosa dan yang Allah l maafkan darinya (kesalahan dan dosa) lebih banyak, karena Allah l tidak menganiaya hamba (manusia). Akan tetapi, mereka lah yang menganiaya diri mereka sendiri.” Allah l berfirman:
“(Dan) kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi ini suatu makhluk yang melata pun (manusia)” (Fathir: 45).
Diakhirkannya hukuman oleh Allah l itu tidak berarti mereka dibiarkan (tidak diazab kelak di hari kiamat). Tidak pula berarti bahwa Allah l tidak mampu mengazabnya.
Di Antara Kisah Umat Terdahulu
Barang siapa yang membaca Al-Qur’an akan mendapati bahwa ia memuat janji dan ancaman (al-wa’du wal wa’id), penyemangat dan pemberi rasa takut (at-targhib wa tarhib), nasihat dan peringatan (mau’izhah wa tadzkir), kisah keadaan umat yang telah lalu beserta berbagai bencana dan azab yang menimpa mereka. Semua itu bertujuan memperingatkan manusia tentang amal dan perbuatan mereka, supaya manusia menjauhi jalan yang mereka tempuh. Dengan demikian, manusia selamat dari sebab-sebab yang mengakibatkan kebinasaan dan kehancuran.
Al-Qur’an menyebutkan berbagai macam musibah, bencana, azab, dan sebab terjadinya. Di antara ayat yang paling rinci menyebutkan tentang gempa, baik dari sisi sebab kejadian, kekuatan, akibat yang ditimbulkan, maupun arah munculnya adalah firman Allah l:
”Sesungguhnya orang-orang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.” (an-Nahl: 26)
Di antara keajaiban surat an-Nahl adalah penyebutan gempa bumi secara detil. Manusia diancam dengan terjadinya gempa, jika mereka mengadakan makar yang jahat. Padahal, an-Nahl merupakan surat yang paling banyak menyebutan nikmat-nikmat Allah l baik yang bersifat maknawi maupun hissi (fisik), berikut rincian manfaatnya. Sampai-sampai, seorang ulama tabi’in yang mulia, Qatadah bin Di’amah as-Sadusi t menamai dengan “Suratun Ni’am” (surat yang menyebutkan banyak kenikmatan) karena banyaknya ayat yang menyebutkan tentang kenikmatan.
Di antara nikmat yang bersifat maknawi dalam surat ini adalah wahyu, Al-Qur’an, adz-dzikr, tauhid, agama yang lurus, penjagaan dari setan, dan yang lainnya. Adapun nikmat yang bersifat hissi (yang tampak) antara lain penciptaan, rezeki, pendengaran, penglihatan, hati, makanan, minuman, pakaian, tunggangan, tempat tinggal, pernikahan, hewan ternak, matahari, rembulan, bintang, lautan, dan yang lain.
Karena itu, tidakkah manusia membayangkan bahwa surat yang dipenuhi dengan penyebutan nikmat Allah l ini, enam ayat menyebutkan lafadz nikmat. Setelah penyebutannya, Allah l berfirman:
“(Dan) jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.” (an-Nahl: 18)
Kemudian Allah l menutup penyebutan berbagai nikmat-Nya ini dengan perintah untuk mensyukurinya. Allah l berfirman:
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan oleh Allah kepadamu, dan syukurilah nikmat Allah, jika hanya kepada-Nya kamu beribadah.” (an-Nahl: 114)
Allah l kemudian menyebutkan sosok seseorang yang dapat mensyukuri nikmat Allah l, yaitu Nabi Ibrahim q supaya menjadi contoh teladan bagi yang lain. Allah l berfirman:
”(Lagi) yang mensyukuri nikmat nikmat Allah.” (an-Nahl: 121)
Di dalam surat ini pula Allah l menyebutkan golongan lain yang kehidupannya berlawanan. Mereka tidak mau mensyukuri nikmat Allah l. Mereka disebutkan dalam tiga ayat, yaitu firman Allah l:
“Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 71)
“Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 72)
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang kafir.” (an-Nahl: 83)
Setelah itu, Allah l memberi contoh suatu negeri yang penduduknya tidak mau mensyukuri nikmat. Allah l berfirman:
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah merasakan atas mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (an-Nahl: 112)
Faedah yang dapat kita ambil dari pemaparan surat ini antara lain bahayanya mengkufuri nikmat Allah l dan bahayanya melakukan sesuatu yang menjadi penyebab turunnya hukuman, siksaan, dan azab, yang kesalahan dan dosa merupakan sebab terjadinya gempa.
Pada surat ini, Allah l mengaitkan terjadinya gempa dengan makar jahat yang dilakukan manusia. Makar jahat adalah melakukan tipu muslihat. Termasuk dalam hal ini adalah melakukan tipu muslihat terhadap syariat, yaitu upaya untuk meruntuhkan syariat, atau menghalalkan yang haram, atau memalingkan dalil-dalil Al-Qur’an dengan menafsirkan dan memaknai menurut selera manusia.
Pelajaran yang Bisa Diambil
a. Segala bentuk musibah yang menimpa manusia sebabnya adalah dosa.
b. Musibah itu bersifat umum, baik yang bersifat hissi maupun maknawi, yang berat maupun yang ringan, seperti tertusuk duri, pusing, dan yang semisalnya.
c. Allah l memaafkan sebagian besar kesalahan manusia, dan tidak menyiksa atas semua kesalahan mereka.
d. Banyak kesalahan yang dimaafkan tidak berarti jaminan keselamatan atas hukuman/siksaan di hari kemudian. Bisa jadi, itu sebuah penundaan.
Firman Allah l:
“Dan kalau Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi ini satu pun makhluk yang melata (manusia), akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu. Apabila datang ajal mereka, sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)
e. Allah Maha Pengampun, memaafkan banyak kesalahan dan dosa, akan tetapi siksaan-Nya sangat keras dan seringnya merata. Allah l berfirman:
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (al-Anfal: 25)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber:
– al-Maktabah asy-Syamilah
– Tafsir as-Sa’di
– Risalah al-‘Uqubat ar-Rabbaniyyah