Asysyariah
Asysyariah

al-wala’ wal bara’ dan kelembutan islam

13 tahun yang lalu
baca 7 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf)

Sebagian orang mempunyai anggapan bahwa jika akidah al-wala’ wal bara’ diterapkan dan ditegakkan akan menggugurkan prinsip Islam yang lain, yaitu berbuat baik, toleransi, dan penuh kelembutan. Akibatnya, anggapan ini mendorong mereka untuk menggugurkan akidah al-wala’ wal bara’ serta cenderung berlebihan dalam menerapkan prinsip Islam lainnya, seperti kasih sayang tanpa batas, toleransi tanpa batas, dan kelembutan tanpa batas.
Padahal tidak ada pertentangan antara akidah al-wala’ wal bara’ dengan prinsip Islam yang menjunjung tinggi sikap toleransi, kasih sayang, dan kelembutan. Keduanya adalah bagian dari agama Allah l (Islam). Islam adalah agama yang berlandaskan keadilan dan pertengahan antara sikap berlebihan (ghuluw) dan sikap meremehkan serta menganggap enteng. Allah l berfirman:
”Dan tiadalah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (al-Anbiya: 107)
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (al-Baqarah: 143)
Kata الْوَسَطُ (pertengahan) dalam ayat ini ditafsirkan oleh Nabi n dengan “keadilan”, sebagaimana dalam hadits riwayat Ahmad (no. 11068, 11271, 11283, dan 11558).
Berkenaan dengan ayat ini pula, Ibnu Jarir t dalam Tafsir-nya mengemukakan, “Sesungguhnya Allah l menyifati mereka sebagai ahlul wasath semata-mata karena sikap pertengahannya dalam agama. Mereka bukanlah orang-orang yang berlebihan (ghuluw) seperti kaum Nasrani yang bersikap ghuluw terhadap pendeta-pendetanya (rahib) dan terhadap Isa. Mereka bukan pula orang-orang yang bersikap meremehkan dan cenderung menganggap enteng, seperti kaum Yahudi yang bersikap seperti itu sehingga berani mengubah kitab Allah l, membunuh para nabi, mendustakan dan kufur terhadap Allah l. Semua ini menunjukkan bahwa yang paling disukai oleh Allah l dalam setiap urusan adalah yang tengah-tengah.” (Tafsir ath-Thabari dalam Maktabah Syamilah)
Allah l berfirman:
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (al-Hajj: 78)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (al-Baqarah: 185)
Rasulullah n bersabda:
إِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
“Sesungguhnya aku diutus membawa agama yang lurus lagi mudah.” (HR. Ahmad no. 24855 dari ‘Aisyah x, dikuatkan oleh riwayat lain dari sahabat Ibnu Abbas c. Hadits ini diriwayatkan juga oleh al-Imam al-Bukhari t secara mu’allaq dalam Shahih-nya “Kitabul Iman, Bab Agama Itu Mudah”)
Bukti tidak adanya pertentangan antara al-wala’ wal bara’ dan kelembutan dienul Islam adalah sebagai berikut.
1. Islam tidak memaksa seorang kafir pun untuk masuk Islam.
Allah l berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 256)
Oleh karena itu, di masa pemerintahan Islam yang silam, rakyat yang hidup di bawah pemerintahannya tetap terlindungi darahnya, meski mereka tetap memilih agamanya yang selain Islam.
Adapun yang diperangi bukan semata-mata karena memilih agama selain Islam. Mereka diperangi karena permusuhan dan penentangan mereka terhadap Islam.
2. Islam memberikan kebebasan kepada orang-orang kafir dzimmi untuk bertempat tinggal dan berpindah ke tempat mana pun dari belahan negeri Islam, selain tanah suci dan jazirah Arab.

3. Islam menjaga perjanjian yang ditetapkan dengan orang-orang kafir, selama mereka tetap menjaganya.
Allah l berfirman:
”Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (at-Taubah: 4)

4. Islam melindungi darah kafir dzimmi dan mu’ahad (yang terikat perjanjian) jika mereka menunaikannya dengan baik.
Nabi n bersabda, “Siapa pun yang memberikan jaminan perlindungan kepada jiwa seseorang, tetapi kemudian ia membunuhnya, aku berlepas diri darinya, walaupun (kenyataannya) yang dibunuh itu seorang kafir.” (HR. Ahmad no. 21946, 21947, 21948 dan Ibnu Majah no. 2688, dll)
Ibnu Hazm t menyatakan, “(Ulama) telah bersepakat bahwa darah kafir dzimmi yang tidak menggugurkan dzimmah (jaminannya) adalah haram (untuk ditumpahkan).” (Maratib al-Ijma’, no. 138)

5. Islam tidak mengabaikan penunaian hak terhadap kerabat meskipun berbeda agama.
Allah l berfirman:
”Dan jika keduanya (ibu-bapak) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)
Diriwayatkan dari Asma’ bintu Abi Bakr c, ia berkata, “Ibuku datang menemuiku sedangkan dia seorang musyrik. Aku segera meminta fatwa kepada Rasulullah n, ’Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku dalam keadaan ingin menyambung tali silaturahim. Apakah aku harus menerimanya?’ Rasulullah n menjawab, ’Ya, terima dan sambung tali silaturahim dengan ibumu’.” (HR. al-Bukhari no. 2620, 3183, 5978, 5979 dan Muslim no. 1003)
Dari sahabat Ibnu Abbas c, ia berkata:
مَرِضَ أَبُو طَالِبٍ فَجَعَلَ النَّبِيُّ يَعُودُهُ
“Suatu ketika Abu Thalib paman Nabi sakit, lalu Nabi n menjenguknya.” (HR. Ahmad no. 2008, 3419, at-Tirmidzi no. 3232, Ibnu Hibban no. 6686, al-Hakim 2/432, dan beliau mensahihkannya)

6. Islam memandang bahwa berbuat baik dan bersikap adil adalah hak bagi siapa pun yang tidak memerangi kaum muslimin.
Allah l berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Mumtahanah: 8—9)
Sikap adil wajib ditegakkan kepada setiap orang, sekalipun terhadap orang yang kita harus membencinya, dengan cara yang benar, seperti kalangan orang-orang kafir yang memusuhi dan memerangi kita. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Maidah: 8)
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-Baqarah: 190)
Untuk itulah, Nabi n mewanti-wanti kita agar berhati-hati dari doa orang yang dizalimi walaupun seorang kafir. Beliau n bersabda:
اتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا فَإِنَّهُ لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ
“Berhati-hatilah kalian dari doa orang yang dizalimi, walaupun ia seorang kafir, karena tidak ada penghalang di balik doanya. (HR. Ahmad no. 12549. Hadits ini mempunyai penguat dari riwayat lain, lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 767. Ibnu Hajar t juga memberikan komentar terhadap hadits ini dalam Fathul Bari 1/535)
Nyata jelas hubungan antara al-wala’ wal bara’ dan perbuatan baik dalam Islam. Hal ini tentu semakin mengukuhkan bahwa agama ini tegak di atas keadilan dan memerintahkan untuk menegakkan keadilan terhadap musuh sekalipun.
Maka dari itu, Islamlah satu-satunya agama yang pantas dianut oleh seluruh manusia, dijadikan tempat bernaung, dan solusi dari segala masalah di bumi Allah l dan antara hamba-hamba Allah l.
Wallahu a’lam.