Mengajak manusia kepada agama Allah subhanahu wa ta’ala (berdakwah) adalah sebaik-baik amalan. Orang yang menjalankannya merupakan manusia pilihan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah tatkala membaca ayat ini berkata, “Ini adalah kekasih Allah subhanahu wa ta’ala. Ini merupakan wali Allah subhanahu wa ta’ala. Ini adalah orang yang dipilih oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan penduduk bumi yang dicintai-Nya….” (Fathul Majid 1/183)
Bahkan, berdakwah adalah tugas mulia yang diemban oleh para nabi dan para pengikutnya. Dakwah juga harus ada terlebih dahulu sebelum jihad/ memerangi musuh di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti inilah dahulu keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum memerangi orang-orang kafir. Beliau mengajak mereka terlebih dahulu untuk masuk ke dalam agama yang mulia ini. Dengan ini pula, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada para komandan pasukan sebelum berperang dengan musuh. Siapa yang mau menerima ajakan Islam, dia disambut dengan baik. Sebaliknya, siapa yang menolak, ia diperangi.
Apabila ajakan kebaikan ini mendapat sambutan yang baik, sungguh amat besar pahala yang akan diraih oleh orang yang mengemban ajakan mulia ini. Satu orang saja mendapat petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala melalui Anda, itu lebih baik bagi Anda daripada mendapatkan unta merah, kendaraan orang Arab yang paling berharga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, demi Allah, apabila Allah memberi hidayah/petunjuk kepada seseorang melalui kamu, itu lebih baik bagimu daripada kamu mendapat unta merah.” ( HR. al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’d as-Sa’idi radhiallahu ‘anhu)
Kalau satu orang saja yang mendapat petunjuk melalui dirimu engkau mendapat keutamaan sebesar ini, lantas bagaimana jika yang mendapat petunjuk itu banyak?!
Seorang mukmin yang telah mendapat petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala tentu menginginkan agar orang lain juga mendapat petunjuk. Sebab, keimanan seseorang tidak dianggap sempurna sampai dia mencintai untuk saudaranya kebaikan yang ia cintai bagi dirinya.
Karena cintanya yang tulus kepada saudaranya seiman secara khusus dan belas kasihannya kepada seluruh manusia, ia berusaha sekuat tenaga untuk menunjuki dan membimbing manusia.
Akan tetapi, agar ajakannya mendapat sambutan positif, hendaknya dia mengerti faktor-faktor diterimanya dakwah. Setelah ketentuan dari Allah subhanahu wa ta’ala, ada beberapa faktor yang sangat menentukan keberhasilan suatu dakwah, yaitu baiknya akhlak dan budi pekerti pelaku dakwah.
Ketika kita membicarakan akhlak yang mulia, tentu tidak terbatas pada hubungan seorang dengan orang lain saja. Akan tetapi, termasuk di dalamnya ialah hubungan yang baik antara seorang hamba dan Penciptanya. Bahkan, hal ini tergolong yang paling pokok dan paling penting.
Akhlak Seorang Dai terhadap Sang Pencipta
Orang yang tulus berdakwah, kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya yang manis benar-benar bersumber dari hati kecil yang terdalam.
Terpampang di hadapannya kemungkaran dan penyakit kronis di tengah-tengah masyarakat sehingga hatinya tergerak untuk mengobati mereka. Ia tidak rela apabila masyarakatnya menjadi korban kejahatan setan dari bangsa jin dan manusia. Ia senantiasa memikirkan nasib umatnya agar bisa keluar dari kubangan kesesatan.
Saat masyarakat menghadapi situasi yang rumit, dai yang tulus ikut mengawal dan mencarikan solusi. Pokoknya, ia bertekad untuk menyuguhkan yang terbaik bagi masyarakat.
Dia pun tidak pantang menyerah kala mendapati rintangan dan tidak mudah mendoakan kejelekan kepada yang membangkang.
Keikhlasan dalam berdakwah adalah modal utama disambutnya sebuah ajakan. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Wahai orang yang menyeru kepada Allah subhanahu wa ta’ala, janganlah engkau bersedih ketika ucapanmu ditolak atau tidak mendapatkan sambutan pada kali yang pertama. Sebab, engkau sudah menunaikan apa yang menjadi kewajibanmu. Ketahuilah, jika engkau mengucapkan yang benar dengan mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala (ikhlas), tentu ucapan itu ada pengaruhnya. Walaupun (awalnya) mendapatkan penolakan langsung di hadapanmu, pasti (nantinya) akan ada pengaruhnya.” (Syarah Arba’in an-Nawawiyah hlm. 154)
Sebab, orang yang mengingat-ingat Allah subhanahu wa ta’ala akan diingat oleh-Nyal. Dia tidak mau menjadi seperti lilin, bisa menyinari orang tetapi dirinya sendiri leleh. Dia sangat takut dengan ancaman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (ash-Shaf: 2—3)
Dai yang sukses akan menghiasi dirinya dengan amal kesalehan. Tidak cukup dengan mengerjakan hal-hal yang wajib saja, bahkan amalan-amalan yang sunnah juga dia lakukan. Demikian pula, di samping meninggalkan yang haram, dia menjauhi yang makruh. Ucapannya selaras dengan perbuatan.
Orang yang seperti ini berhak mendapatkan kecintaan yang khusus dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman sebagaimana dalam hadits qudsi,
“Barang siapa memusuhi kekasih-Ku, Aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku sukai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya….” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Apabila seseorang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dia akan diterima di muka bumi ini. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya),
“Sesungguhnya apabila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, ‘Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai fulan (seseorang), cintailah dia!’
Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru (para malaikat) yang ada di langit, ‘Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai fulan, cintailah dia!’
Penduduk langit pun kemudian mencintainya. Dia pun diterima oleh penduduk bumi.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Sebab, manusia akan menaruh hormat kepada seseorang dan merasa tenteram dengannya sebatas tenteramnya hati orang tersebut dalam mengingat Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagian salaf berkata, “Orang yang matanya merasa sejuk dengan Allah subhanahu wa ta’ala, semua mata akan merasa sejak dengannya.” (al-Wabilush Shayyib karya Ibnul Qayyim rahimahullah)
Tiga hal di atas adalah sebagian akhlak yang semestinya dimiliki oleh seorang dai.
Manakala ajakannya belum mendapat sambutan, sudah seyogianya dia berintrospeksi diri. Bisa jadi, karena keikhlasan yang masih kurang dan pengamalannya terhadap agama yang masih belum terlihat. Lebih-lebih apabila praktik kehidupan seorang dai bertolak belakang dengan apa yang ia dakwahkan. Hal ini sangat sulit diterima.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Nabi Syu’aib ‘alaihissalam,
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah subhanahu wa ta’ala. Hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Hud: 88)
Seorang dai yang berhasil, di samping baik hubungannya dengan Allah subhanahu wa ta’ala, dia juga baik akhlaknya terhadap sesama manusia. Dia tahu mulianya tugas yang sedang dia emban sehingga dia berusaha mencontoh akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari sejarah kehidupan Nabi yang ia gali, ia dapatkan bahwa kemuliaan akhlak beliau adalah faktor dominan untuk diterimanya ajakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Indahnya kepribadian beliau baik terhadap kawan maupun lawan telah diabadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an.
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Berikut di antara akhlak seorang dai yang insya Allah akan mendapatkan penerimaan di tengah-tengah masyarakat.
Sebab, kesombongan dan keangkuhan adalah sikap yang sangat tidak disukai oleh manusia, terlebih menurut kacamata agama.
Apabila sikap rendah hati telah menjadi akhlak yang menghiasi seseorang, akan terlihat darinya indahnya tingkah laku dan santunnya tutur kata. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159)
Sikap rendah hati inilah di antara hal yang mendorong pemiliknya untuk menyayangi manusia. Pada gilirannya, nanti manusia pun menaruh hormat kepadanya.
Hal ini mencakup dermawan dengan harta, waktu, dan tenaganya, serta apa saja yang ia mampu untuk diberikan demi kebaikan masyarakatnya. Ini termasuk sifat yang menonjol pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimintai sesuatu dari harta kemudian beliau tidak memberi.
Kedermawan dai menjadi faktor yang mendorong manusia untuk menyambut ajakannya. Sebab, pada dasarnya manusia itu diberi tabiat mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.
Hal ini mencakup kejujuran dalam menyampaikan berita, dalam bertutur kata, dan menepati janji yang telah diikrarkannya, serta menjaga tali perjanjian yang diikat antara dia dan orang lain. Seorang dai yang biasa berdusta akan mendapatkan hukuman sosial. Ia tidak dipercaya lagi ucapan dan beritanya, meskipun berkata jujur.
Sebab, kelemahlembutan tidaklah diletakkan pada sesuatu kecuali menjadikan sesuatu itu indah. Sebaliknya, apabila kelemahlembutan itu hilang dari sesuatu, sesuatu itu akan jelek.
Kelembutan dalam tutur kata berpengaruh luar biasa untuk diterimanya suatu ajakan. Ia mengajak dengan tutur kata yang menyebabkan manusia merasa dihormati, diiringi dengan muka yang manis dan murah senyum.
Hal ini tidak bisa dianggap remeh. Sebab, kenyataannya senyuman mempunyai daya tarik tersendiri, bahkan bisa melelehkan keangkuhan lawan. Di samping itu, senyuman merupakan amalan yang mendatangkan pahala dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Orang yang sudah jatuh kewibawaannya di tengah masyarakatnya karena cacat moral, tidak akan dihormati oleh manusia.
Secara umum, masyarakat kita tidak terlalu memandang sedalam apa ilmu seseorang. Mereka lebih cenderung memandang sisi kepribadian dari dai tersebut. Ini membuktikan bahwa akhlak yang mulia adalah faktor utama agar dakwah bisa diterima.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.