(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
Lafadz-lafadz Adzan dan Iqamat
Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli t berkata: “Riwayat yang paling shahih (tentang lafadz-lafadz adzan yang dimimpikan oleh Abdullah bin Zaid z, pen.) adalah riwayat Muhammad bin Ishaq, yang mendengarkan dari Muhammad bin Ibrahim ibnul Harits At-Taimi, dari Muhammad bin Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi, yang mendengarkan dari ayahnya, Abdullah bin Zaid, karena Muhammad telah mendengarkan langsung dari bapaknya yakni Abdullah.”
Riwayat ini dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad t (3/43), Ashabus Sunan kecuali An-Nasa’i t, dan selainnya. At-Tirmidzi t menukilkan penshahihan Al-Imam Al-Bukhari t terhadap riwayat ini di dalam Al-Ilal. Dishahihkan pula oleh Ibnu Khuzaimah t, beliau menyatakan hadits ini shahih dan pasti dari sisi penukilan, para perawinya bukan orang-orang yang melakukan tadlis (penyebutan secara samar) dalam periwayatannya. (Ats-Tsamar, 1/115)
Dalam hadits tersebut, Abdullah bin Zaid z berkata: Ketika Rasulullah n memerintahkan untuk menggunakan lonceng sebagai tanda bagi orang-orang untuk berkumpul guna mengerjakan shalat berjamaah, ada seseorang mengelilingiku dengan membawa lonceng di tangannya dalam keadaan aku tidur saat itu. Aku berkata, “Wahai hamba Allah, apakah engkau menjual lonceng?”
“Apa yang hendak kau perbuat dengan lonceng?” tanyanya.
“Kami ingin memanggil orang-orang berkumpul untuk shalat dengan membunyikan lonceng,” jawabku.
“Maukah aku tunjukkan kepadamu apa yang lebih baik daripada itu?” tanyanya.
Aku katakan, “Tentu aku mau.”
Orang itu berkata, ”Engkau mengatakan:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.
Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Marilah mengerjakan shalat. Marilah mengerjakan shalat.
Marilah (menuju) kepada kemenangan. Marilah (menuju) kepada kemenangan.
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah.1
Kemudian ia mundur dariku ke tempat yang tidak seberapa jauh, setelahnya ia berkata, ”Jika engkau iqamat untuk shalat, engkau katakan:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Di pagi harinya, aku menemui Rasulullah n untuk mengabarkan mimpiku. Beliau bersabda:
إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللهُ، فَقُمْ مَعَ بِلاَلٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ، فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ
“Mimpimu itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Bangkitlah engkau bersama Bilal, sampaikanlah kepadanya apa yang kau dapatkan dalam mimpimu agar dia mengumandangkan adzan tersebut, karena dia lebih lantang suaranya darimu.”
Aku bangkit bersama Bilal. Mulailah kusampaikan padanya adzan yang kudengar, lalu ia mengumandangkannya. Umar ibnul Khaththab z mendengar adzan tersebut dari rumahnya. Ia pun keluar dengan menyeret rida’ (selendang)nya, seraya berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, wahai Rasulullah! Sungguh aku telah bermimpi persis seperti apa yang dimimpikan Abdullah bin Zaid.”
“Hanya milik Allah-lah segala pujian,” jawab beliau3.
Dari hadits di atas, kita ketahui bahwa lafadz adzan itu digandakan4 sedangkan iqamat diganjilkan, kecuali lafadz:
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ.
Yang lebih menguatkan hal ini adalah hadits Anas bin Malik z, ia berkata:
أُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَأَنْ يُوْتِرَ الْإِقَامَةَ إِلاَّ الْإِقاَمَةَ
“Bilal diperintah untuk menggandakan lafadz adzan dan mengganjilkan iqamat kecuali lafadz iqamat5.” (HR. Al-Bukhari no. 605 dan Muslim no. 836)
Disyariatkannya Tarji’ dalam Adzan Abu Mahdzurah
Rasulullah n juga pernah mengajarkan lafadz yang sedikit berbeda yang dikenal di kalangan ahli fiqih dengan sebutan adzan Abu Mahdzurah z. Lafadznya sebagai berikut:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam kitab Shahihnya no. 840.
Di awal lafadz adzan ini, kita lihat ucapan takbir hanya dua kali, tidak empat kali sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid z yang telah lewat. Namun yang rajih (kuat) dalam hal ini adalah lafadz takbir diucapkan empat kali:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
dengan beberapa alasan yang menguatkan:
1. Hadits ini diriwayatkan pula oleh selain Al-Imam Muslim t dengan empat kali takbir di awalnya. Yang paling jelas adalah riwayat An-Nasa’i t dalam Sunannya (no. 631) dari jalur syaikhnya, Ishaq bin Ibrahim, semisal riwayat Muslim. Dan Ishaq bin Ibrahim ini merupakan salah satu syaikh Al-Imam Muslim dalam hadits ini juga6.
2. Abu Dawud t7 dan selainnya meriwayatkan hadits ini dari jalur Hammam dari Amir Al-Ahwal, dari Makhul, dari Abu Mahdzurah z yang menyebutkan lafadz adzan yang diajarkan Rasulullah n kepadanya ada 19 kalimat8, sedangkan iqamat ada 17 kalimat. Lafadz adzan sebagaimana berikut ini:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
Adapun lafadz iqamat:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله
أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ.
3. Al-Qadhi Iyadh t berkata ketika mensyarah hadits di atas, “Dalam sebagian jalur-jalur riwayat Al-Farisi, disebutkan adzan itu dengan empat kali takbir (di awal).” (Al-Ikmal, 2/244)
Dengan tiga perkara di atas menjadi jelaslah bahwa riwayat yang menyebutkan dua kali takbir di awal adzan teranggap marjuh (lemah), sehingga yang rajih dari hadits Abu Mahdzurah z adalah empat kali takbir di awal. Ibnul Qaththan t berkata, “Yang shahih dalam hal ini adalah takbir diucapkan sebanyak empat kali. Dengan demikian sesuai bila dikatakan adzan itu sembilan belas kalimat, di mana hal ini telah diikat dengan hadits itu sendiri.” Beliau juga menyatakan, telah datang dalam sebagian riwayat Al-Imam Muslim t dengan penyebutan takbir empat kali. Sehingga inilah yang sepantasnya dalam Ash-Shahih.
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata menguatkan perkara ini, “Sungguh Abu Nu’aim telah meriwayatkan dalam Al-Mustakhraj, demikian pula Al-Baihaqi, dari jalan Ishaq bin Ibrahim, dari Mu’adz bin Hisyam dengan sanadnya. Disebutkan dalam hadits tersebut pernyataan empat kali takbir. Al-Baihaqi menyatakan setelah membawakan hadits tersebut, “Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dari jalan Ishaq. Demikian juga oleh Abu ‘Awanah dalam Mustakhrajnya dari jalan Ali ibnul Madini, dari Mu’adz.” (At-Talkhis, 1/323).
Akan tetapi, adzan dengan dua kali takbir tersebut telah didukung beberapa syawahid (pendukung) yang menunjukkan ada asalnya dalam As-Sunnah9. Wallahu a’lam.
Dari hadits Abu Mahdzurah di atas kita dapat mengambil tiga faedah:
1. Tarji’ disyariatkan dalam adzan, yaitu muadzin mengucapkan syahadatain untuk pertama kali dengan suara rendah yang hanya didengar oleh orang-orang di sekitarnya. Setelah itu ia mengulangi lagi syahadatain tersebut dengan suara yang keras/lantang. Tarji’ ini hanya dalam adzan, tidak ada dalam iqamat. Pensyariatan tarji’ ini merupakan mazhab Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan jumhur ulama. (Al-Minhaj, 4/303. Subulus Salam 2/48,49)
2. Selain mengganjilkan lafadz iqamat, dibolehkan pula mentatsniyahnya, yaitu mengucapkan lafadz-lafadznya sebanyak dua kali. Ini merupakan keragaman iqamat shalat, sehingga kedua-duanya bisa diamalkan karena keduanya merupakan Sunnah Nabi n, di mana beliau yang mentaqrir (menetapkan kebenaran) mimpi Abdullah bin Zaid z yang di dalamnya terdapat lafadz iqamat secara ganjil kecuali قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ, قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ . Beliau n pula yang mengajarkan lafadz adzan berikut iqamat kepada Abu Mahdzurah z serta memerintahkannya untuk mengumandangkan adzan di Makkah.
3. Beragamnya lafadz adzan. Ada yang 19 kalimat sebagaimana hadits Abu Mahdzurah dengan tarji’ dan empat takbir yang awal yang diriwayatkan oleh Al-Jama’ah. Ada yang 17 kalimat sebagaimana hadits Abu Mahdzurah dengan tarji’ dan dua takbir di awalnya dalam riwayat Al-Imam Muslim. Ada yang 15 kalimat sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid ibnu ‘Abdi Rabbihi. Ini menunjukkan adanya tanawwu’at (berbagai macam lafadz) dalam adzan, sehingga boleh diamalkan salah satu di antaranya. Al-Imam Ahmad dan Ishaq memandang bolehnya tarji’ dan tidak. Kedua hal itu merupakan sunnah. (Al-Majmu’, 3/102)
Wajib Urutan dalam Melafadzkan Adzan
Ibnu Qudamah t berkata, “Tidak sah adzan kecuali dengan berurutan. Karena bila tidak berurutan lafadznya niscaya tujuan yang hendak dicapai dengan adzan tidak akan diperoleh, yaitu sebagai pemberitahuan. Juga, bila tidak berurutan niscaya tidak akan diketahui bahwa itu adalah adzan. Di samping pula adzan memang disyariatkan dengan berurutan, dan Nabi n mengajari Abu Mahdzurah secara berurutan.” (Al-Mughni, kitabush Shalah, fashl La Yashihhul Adzan illa Murattaban)
Ibnu Hazm t berkata, “Tidak boleh terbalik dalam melafadzkan adzan ataupun iqamat. Tidak boleh mengedepankan kalimat yang semestinya diakhirkan. Siapa yang melakukan hal ini berarti ia tidak melakukan adzan dan iqamat, berarti pula ia shalat tanpa adzan dan tanpa iqamat.”
Ibnu Hazm t juga menyebutkan bahwa Rasulullah n mengajarkan adzan dan iqamat secara berurutan, kalimat yang pertama kemudian yang berikutnya. Beliau n memerintahkan kepada orang yang beliau ajarkan untuk mengucapkan seperti apa yang beliau sampaikan. Setelah mengucapkan lafadz yang awal, baru yang berikutnya, demikian sampai keduanya selesai. Bila demikian keadaannya, maka tidak halal bagi seorang pun menyelisihi perkara Nabi n dalam mengedepankan apa yang beliau akhirkan dan mengakhirkan apa yang beliau kedepankan.” (Al-Muhalla, 2/194,195) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(insya Allah, bersambung)
1 Ini merupakan adzan orang-orang Kufah, dan merupakan pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, dan Ahmad dalam satu riwayat sebagaimana hikayat Al-Khiraqi. (Al-Majmu’ 3/102)
2 Artinya: Telah tegak shalat, telah tegak shalat.
3 Hadits ini hasan sebagaimana dalam Al-Irwa’ no. 246.
4 Kecuali takbir yang awal sejumlah empat kali dan tahlil di akhir adzan hanya sekali.
5 Yaitu lafadz: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
6 Syaikhnya yang lain adalah Abu Ghassan Al-Misma’i Malik bin Abdil Wahid.
7 Dalam Sunannya no. 502
8 Adzan ini merupakan adzan penduduk Makkah. Al-Imam Asy-Syafi’i t berpendapat demikian sebagaimana kata At-Tirmidzi t dalam Sunannya (1/124). Pendapat ini yang dipilih Ibnu Hazm t (Al-Muhalla 2/185).
9 Penduduk Madinah menggunakan adzan dengan dua kali takbir di awal, yang merupakan pendapat Al-Imam Malik t dalam Al-Mudawwanah (1/57), berdalilkan hadits Abu Mahdzurah z yang menyebutkan dua kali takbir di awal.