Asysyariah
Asysyariah

adakah bid’ah hasanah?

13 tahun yang lalu
baca 11 menit
Adakah Bid’ah Hasanah?

Banyak alasan yang dipakai orang-orang untuk ‘melegalkan’ perbuatan bid’ah. Salah satunya, tidak semua bid’ah itu jelek. Menurut mereka, bid’ah ada pula yang baik (hasanah). Mereka pun memiliki “dalil” untuk mendukung pendapatnya tersebut. Bagaimana kita menyikapinya?

Di antara sebab-sebab tersebarnya bid’ah di negeri kaum muslimin adalah adanya keyakinan pada kebanyakan kaum muslimin bahwa di dalam kebid’ahan ini ada yang boleh diterima dengan apa yang dinamakan bid’ah hasanah. Pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa bid’ah itu ada dua: hasanah (baik) dan sayyiah (jelek).

Berikut ini kami paparkan apa yang diterangkan oleh asy-Syaikh as-Suhaibani dalam kitab al-Luma’ “Bantahan terhadap Syubhat Pendapat yang Menyatakan Adanya Bid’ah Hasanah”.

Syubhat Pertama

Pemahaman mereka yang salah terhadap hadits:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْر أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barang siapa membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Dan barang siapa yang membuat satu sunnah yang buruk di dalam Islam, dia mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (Sahih, HR. Muslim no. 1017)

Bantahan

Pertama: Sesungguhnya makna dari مَنْ سَنَّ (barang siapa yang membuat satu sunnah) adalah menetapkan suatu amalan yang sifatnya tanfidz (pelaksanaan), bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum). Maka yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang ada tuntunannya dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Makna ini ditunjukkan pula oleh sebab keluarnya (asbabul wurud) hadits tersebut, yaitu berkenaan dengan sedekah yang disyariatkan.

 

Kedua: Rasul yang mengatakan,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

“Barang siapa yang membuat satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.”

adalah juga yang mengatakan,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلاَة

“Semua bid’ah itu adalah sesat.”

Tidak mungkin muncul dari Ash-Shadiqul Mashduq (Rasul yang benar dan dibenarkan) shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain. Tidak mungkin pula perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam saling bertentangan.

Dengan alasan ini, maka tidak boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.

 

Ketiga: Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan مَنْ سَنَّ (barang siapa membuat sunnah) bukan mengatakan مَنِ ابْتَدَعَ (barang siapa yang membuat bid’ah). Juga mengatakan فِي الْإِسْلاَمِ (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam.

Beliau juga mengatakan حَسَنَةً (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang hasanah (baik).

Tidak ada persamaan antara As-Sunnah dan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.

Keempat: Tidak satu pun kita dapatkan keterangan yang dinukil dari as-salafus shalih menyatakan bahwa mereka menafsirkan “sunnah hasanah” itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh manusia.

pohon-kabut

Syubhat Kedua

Pemahaman mereka yang salah terhadap perkataan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu ,“Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih berjamaah).”

Bantahan

  1. Anggaplah kita terima dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan bahwa bid’ah itu ada yang baik. Namun sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu pedoman; kita tidak boleh mempertentangkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapat siapa pun juga (selain beliau). Tidak dibenarkan kita membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakr, meskipun dia adalah orang terbaik di umat ini sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dengan perkataan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu, ataupun yang lainnya.

Firman Allah ‘azza wa jalla:

رُّسُلٗا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ

“(Kami mengutus mereka) sebagai rasul-rasul pemberi berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para rasul itu.” (an-Nisa’: 165)

Sehingga tidak tersisa lagi bagi manusia satu alasan pun untuk membantah Allah subhanahu wa ta’ala dengan telah diutusnya para rasul ini. Merekalah yang telah menjelaskan urusan agama mereka serta apa yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Merekalah hujjah Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kita manusia, bukan selain mereka.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ١

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Hujurat: 1)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah (secara ringkas) mengatakan, “Ayat ini mengajarkan kepada kita bagaimana beradab terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita berjalan (berbuat dan beramal) mengikuti perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan mendahului Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segenap urusan. Inilah tanda-tanda kebahagiaan dunia dan akhirat.”

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Hampir-hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku katakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian… demikian’, (tapi) kalian mengatakan, ‘Kata Abu Bakr dan ‘Umar begini… begini…’.”

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan, “Tidak ada (hak) berpendapat bagi siapa pun dengan (adanya) sunnah yang telah ditetapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat (pemikiran) seseorang.”

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Barang siapa yang menolak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.”

  1. Bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan kalimat ini tatkala beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat tarawih berjamaah. Padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah suatu bid’ah. Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau. Besoknya, jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya (ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Namun beliau tidak keluar. Pada pagi harinya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ

“Aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama kalian) kecuali kekhawatiran (kalau-kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas kalian.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1129)

Secara tegas beliau menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Maka tatkala ‘Umar radhiallahu ‘anhu melihat alasan ini (kekhawatiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) sudah tidak ada lagi, beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar radhiallahu ‘anhu ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.

Jadi jelas bahwa bid’ah yang dimaksudkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu adalah bid’ah dalam pengertian secara bahasa, bukan menurut istilah syariat. Dan jelas pula tidak mungkin ‘Umar berani melanggar atau menentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah menyatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.

Syubhat Ketiga

Pemahaman yang salah tentang atsar dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu:

مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ

“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka dia adalah baik di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad, 1/379)

Bantahan

– Atsar (ucapan) ini tidak sahih jika di-rafa’-kan (disandarkan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ini adalah ucapan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu semata.
Diriwayatkan juga dari Anas radhiallahu ‘anhu tetapi sanadnya gugur. Yang sahih adalah mauquf (hanya sampai) kepada Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.

الْ pada kata الْمُسْلِمُونَ menunjukkan kepada sesuatu yang sudah diketahui. Tentunya yang dimaksud dengan kata al-muslimun di sini adalah para sahabat. Dan tidak ada satu pun riwayat yang dinukil dari mereka yang menyatakan adanya bid’ah yang hasanah.

– Kalaulah dianggap bahwa ini menunjukkan keumuman (maksudnya seluruh kaum muslimin), maka artinya adalah ijma’. Sedangkan ijma’ adalah hujjah. Maka sanggupkah mereka menunjukkan adanya satu perbuatan bid’ah yang disepakati berdasarkan ijma’ kaum muslimin bahwa perbuatan itu adalah bid’ah hasanah? Tentunya ini adalah perkara yang mustahil.

– Bagaimana mereka berani berdalil dengan ucapan beliau radhiallahu ‘anhu seperti ini, padahal beliau sendiri adalah orang yang paling keras kebenciannya terhadap bid’ah, yang beliau radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan,

اتَّبِعُوا وَلاَ تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيْتُمْ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Ikutilah! Dan jangan berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupkan. Dan sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat.” (Sahih, riwayat ad-Darimi 1/69)

gambar-siluet-dua-pohon-bachground-sunrise

Secara ringkas, semua keterangan di atas menunjukkan betapa buruknya bid’ah. Kami simpulkan dalam beberapa hal berikut.

Cukuplah segala akibat buruk yang dialami pelaku bid’ah itu sebagai kejelekan di dunia dan akhirat, yakni:

  1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang membuat-buat sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka semua itu tertolak.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

  1. Terhalangnya taubat mereka selama masih terus melakukan kebid’ahan itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ

Allah menghalangi taubat setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 1620 dan as-Sunnah Ibnu Abi Ashim hlm. 21)

  1. Pelaku bid’ah akan mendapat laknat karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ أَوْ آوَى مُحْدَِثاً فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

“Barang siapa yang berbuat bid’ah, atau melindungi kebid’ahan, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)

Akhirnya, wahai kaum muslimin, hendaklah kita menjauhi segala kebid’ahan ini setelah mengetahui betapa besar bahayanya. Selain kita menjauhi bid’ah itu sendiri, juga kita diperintah untuk menjauhi para pelakunya apalagi juru-juru dakwah yang mengajak kepada pemikiran-pemikiran bid’ah ini.

Seandainya ada yang mengatakan, “Bukankah mereka orang yang baik dan apa yang mereka sampaikan itu adalah baik juga?”

Hendaklah kita ingat firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلَوۡ عَلِمَ ٱللَّهُ فِيهِمۡ خَيۡرٗا لَّأَسۡمَعَهُمۡۖ وَلَوۡ أَسۡمَعَهُمۡ لَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعۡرِضُونَ ٢٣

“Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri.” (al-Anfal: 23)

Perlu pula kita ketahui bahwa bid’ah itu lebih berbahaya daripada kemaksiatan. Seseorang yang bermaksiat dia akan merasa takut dan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri setelah berbuat. Sedangkan pelaku bid’ah, semakin tenggelam dalam kebid’ahannya dia akan semakin merasa yakin bahwa dia di atas kebenaran. Satu lagi, bid’ah itu adalah pos (pengantar) kepada kekufuran.

Wallahu a’lam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala tetap membimbing kita mendapatkan hidayah dan taufik-Nya serta menyelamatkan diri dan keluarga kita dari bid’ah ini.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits

 


Sumber Bacaan:

  1. al-Qaulul Mufid (2), asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
  2. al-Qaulul Mufid, asy-Syaukani
  3. al-I’tisham (1), asy-Syathibi
  4. al-Luma’, as-Sahibani
  5. al-Bid’ah wa Atsaruhas Sayyi’, Salim al-Hilali
  6. al-Bid’ah wa Atsaruha, ‘Ali al-Faqihi
  7. Riyadhul Jannah, asy-Syaikh Muqbil
  8. Taisir al-Karimir Rahman, as-Sa’di.