Asysyariah
Asysyariah

adab jual beli

4 tahun yang lalu
baca 23 menit
Adab Jual Beli

Secara garis besar, penghasilan itu ada pada tiga kelompok: industri, pertanian atau peternakan, dan perdagangan. (Faidhul Qadir, 1/547)

Pembahasan kami kali ini lebih terfokus pada perdagangan. Sebab, dengan perdagangan seseorang akan lebih banyak berinteraksi dengan orang lain yang majemuk. Itu berarti seseorang perlu lebih berhati-hati. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun telah banyak memberikan bimbingannya dalam masalah ini.

Adapun perdagangan sendiri pada dasarnya hukumnya mubah menurut Al-Qur’an, hadits, ijmak, dan qiyas.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Dua orang yang bertransaksi jual-beli itu punya hak khiyar (memilih) selama belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan menerangkan (apa adanya), keduanya akan diberi berkah dalam jual-belinya. Namun, apabila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat), akan dihilangkan keberkahan jual-beli atas keduanya.” (Shahih, HR. al-Bukhari dan Abu Dawud)

Baca juga:

Berfikih Sebelum Berdagang

Para ulama juga bersepakat bahwa hukum jual-beli secara global adalah mubah. Qiyas juga mendukungnya karena kebutuhan manusia menuntut adanya jual-beli. Manusia senantiasa membutuhkan sesuatu yang ada di tangan orang lain, baik berupa uang atau barang. Sementara itu, seseorang tidak akan mengeluarkannya kecuali apabila ada tukar gantinya. Agar tujuan tersebut tercapai, dibolehkan berjual beli. (Lihat kitab al-Mulakhkhash al-Fiqhi)

Jadilah Pedagang yang Bertakwa

Dari Rifa’ah radhiallahu anhu,

أَنَّهُ خَرَجَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْبَقِيعِ وَالنَّاسُ يَتَبَايَعُونَ فَنَادَى: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ. فَاسْتَجَابُوا لَهُ وَرَفَعُوا إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ، وَقَالَ: إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ

Dia keluar bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menuju Baqi’, sementara orang-orang sedang berjual-beli. Beliau shallallahu alaihi wa sallam berseru, “Wahai para pedagang!” Mereka pun menyambut seruan beliau dan mengarahkan pandangan mereka kepada beliau. Beliau berkata, “Sesungguhnya para pedagang pada hari kiamat nanti akan dibangkitkan sebagai orang-orang yang jahat, kecuali orang yang bertakwa, berbuat baik, dan jujur.” (HR. Ibnu Hibban, 11/277 no. 4910. Lihat juga Shahih al-Jami’ Shaghir no. 1594)

Adab dalam Mencari Rezeki

Agama Islam yang lengkap dan ajarannya yang indah telah mengatur pemeluknya untuk beradab dalam segala hal, termasuk dalam melakukan transaksi jual-beli, pinjam-meminjam, atau bentuk muamalah yang lain.

Agar usaha seorang muslim diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan terjaga dari tindak menzalimi diri sendiri ataupun orang lain, hendaklah transaksi yang dilakukan memenuhi empat perkara:

  1. Sah menurut agama

  2. Mengandung keadilan

  3. Mengandung kebaikan

  4. Sayang terhadap agamanya

Oleh karena itu, kami akan memberikan sedikit perincian atas empat hal tersebut agar seorang muslim berada di atas pengetahuan tentang agamanya.

 

SAH MENURUT AGAMA

Sebuah akad/transaksi dalam jual-beli menjadi sah apabila memenuhi syarat-syarat pada tiga rukunnya. Tiga rukun itu adalah pelaksana akad, barang yang diperjualbelikan, dan ijab kabul dalam akad jual-beli.

Rukun Pertama: Pelaksana Akad

Dipersyaratkan pada pelaksana akad beberapa hal:

a. Saling ridha antara keduanya.

Jadi, jual-beli tidak sah apabila salah satunya melangsungkan akad jual-beli karena dipaksa. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَنَّهُ خَرَجَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْبَقِيعِ وَالنَّاسُ يَتَبَايَعُونَ فَنَادَى: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ. فَاسْتَجَابُوا لَهُ وَرَفَعُوا إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ، وَقَالَ: إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (an-Nisa: 29)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

“Hanyalah jual-beli itu (sah) apabila saling ridha di antara kalian.” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi)

Berbeda halnya apabila pemaksaan itu dengan cara dan alasan yang benar, jual-beli tetap sah. Misalnya, apabila pemerintah/hakim memaksa seseorang untuk menjual hartanya untuk membayar utangnya. Itu adalah bentuk pemaksaan yang benar.

b. Disyaratkan pada dua belah pihak, pelaksana akad adalah orang yang secara syariat boleh untuk ber-tasharruf (bertransaksi).

Kriterianya ialah orang yang merdeka bukan budak, mukalaf (dalam hal sini bermakna balig dan berakal), dan rasyid, yakni mampu membelanjakan harta dengan benar.

Oleh karena itu, tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayyiz (kecuali pada barang yang sepele), safih (lawan dari rasyid), orang gila, atau seorang budak yang tanpa seizin tuannya.

c. Pelaksana akad harus seseorang yang memiliki barang yang diperjualbelikan, atau sebagai wakilnya.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Hakim bin Hizam radhiallahu anhu,

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Jangan kamu menjual sesuatu yang bukan milikmu.”

Al-Wazir mengatakan, “Para ulama bersepakat bahwa seseorang tidak boleh menjual barang yang tidak dikuasai dan bukan miliknya. Apabila dia melangsungkan penjualan dan orang pun membelinya, transaksi tersebut batal dan tidak sah.”

Rukun Kedua: Barang yang Diperjualbelikan atau Uang/Alat Tukarnya.

Dipersyaratkan padanya tiga hal:

a Sesuatu yang dibolehkan untuk dimanfaatkan secara mutlak menurut syariat.

Maka dari itu, tidak sah jual-beli sesuatu yang diharamkan untuk dimanfaatkan. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْمَيْتَةِ والْخَمْرِ وَالْأَصْنَامِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan jual-beli bangkai, khamar (minuman keras), dan berhala.” (Muttafaqun alaihi)

Dalam hadits yang lain,

وَإِنَّ اللهَ إذا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ

“Sesungguhnya, apabila Allah mengharamkan suatu makanan terhadap suatu kaum, Allah mengharamkan juga harganya.” (HR. Abu Dawud no. 3488, dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Di antara yang diharamkan untuk diperjualbelikan adalah khamar atau minuman keras, bangkai, babi, patung, anjing, darah, air mani pejantan, dan segala yang haram. Demikian secara global. Adapun perinciannya dibahas dalam bab hukum jual-beli.

b. Barang atau uang/alat tukarnya adalah sesuatu yang berada dalam kekuasaan pelaksana akad.

Apabila tidak demikian, hal itu serupa dengan sesuatu yang tidak ada wujudnya. Atas dasar itu, tidak sah jual-beli unta yang lari, burung di udara, atau yang semakna dengan itu.

c. Barang atau uang/alat tukar adalah sesuatu yang diketahui kadarnya oleh kedua belah pihak.

Sebab, ketidaktahuan adalah bagian dari gharar (ketidakpastian) dan itu dilarang dalam agama. Oleh sebab itu, tidak boleh jual-beli sesuatu yang tidak dapat dilihat atau sudah dilihat tetapi belum dapat diketahui benar.

Rukun Ketiga: Ijab Kabul dalam Akad/Transaksi Jual-Beli

Ijab adalah lafaz yang diucapkan penjual, misalnya dengan mengatakan, “Saya jual barang ini.”

Kabul adalah lafaz yang diucapkan pembeli, misalnya dengan mengatakan, “Saya beli barang ini.”

Namun, terkadang ijab kabul ini bisa dilakukan dengan perbuatan, yaitu pedagang memberikan barang dan pembeli memberikan uang, walaupun tanpa berbicara. Bisa jadi juga, ijab kabul dilakukan dengan ucapan dan perbuatan sekaligus.

Dengan demikian, seorang muslim harus menghindari segala bentuk transaksi yang melanggar aturan agama. Sebab, segala yang menyalahi agama adalah tertolak. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas ajaran kami, amalan itu tertolak.” (Shahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Baca juga:

Perkara Baru dalam Sorotan Syariat

Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan, di antara bentuk amalan yang tertolak dalam bidang jual-beli adalah semua akad/transaksi yang terlarang dalam syariat, baik karena barangnya tidak boleh diperjualbelikan, syaratnya tidak terpenuhi, terjadi kezaliman (kerugian) bagi pihak pelaksana transaksi dan pada barang yang ditransaksikan, atau akan menyibukkan dari zikrullah yang wajib saat waktunya terbatas (semacam saat khotbah Jumat, pent.).

Beliau menerangkan bahwa pendapat yang rajih (kuat) dalam hal hukum akad-akad tersebut ialah bilamana larangannya terkait dengan hak Allah subhanahu wa ta’ala, transaksi tersebut tidak sah. Artinya, tidak menyebabkan berpindahnya kepemilikan. Yang dimaksud dengan hak Allah subhanahu wa ta’ala ialah larangan tersebut tidak gugur dengan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi.

Apabila larangan tersebut terkait dengan hak orang tertentu, yaitu larangan akan gugur dengan kerelaannya, keabsahan akadnya tergantung pada kerelaannya. Kalau dia rela, akadnya sah dan berakibat berpindahnya kepemilikan. Jika dia tidak rela, akad menjadi batal.

Contoh ketentuan di atas, untuk bagian yang pertama adalah transaksi riba. Allah subhanahu wa ta’ala telah melarangnya dengan begitu keras. Karena itu, transaksi riba tidak menyebabkan berpindahnya kepemilikan dan syariat memerintahkan untuk dikembalikan.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri telah memerintahkan seseorang yang menukarkan satu sha’ (2,76 kg) kurma dengan dua sha’ kurma untuk mengembalikannya, walaupun mereka saling ridha (karena ini termasuk transaksi riba fadhl).

Baca juga:

Agar Tidak Terjerat Riba

Contoh lainnya, menjual khamar (minuman keras), bangkai, babi, patung, anjing dan seluruh yang dilarang untuk diperjualbelikan, yang tidak boleh saling rela antara kedua belah pihak.

Contoh untuk bagian kedua adalah membelanjakan harta orang lain tanpa seizin pemiliknya. Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi semacam ini tidak batal sepenuhnya, tetapi tergantung pada izin pemilik. Jika pemiliknya mengizinkan, transaksinya sah. Jika tidak, transaksinya tidak sah.

Contohnya ialah jual-beli mudallas (penipuan), seperti:

  • transaksi yang disebut al-musharrat (membiarkan unta untuk tidak diperah susunya sehingga tampak gemuk dan susunya banyak, lalu dijual),
  • jual-beli najsy (penawaran barang dari sebagian pihak tetapi tidak berniat untuk membelinya, tetapi untuk menipu pembeli lain),
  • talaqqir rukban (mencegat orang perdesaan yang tidak tahu harga, lalu membeli barang mereka sebelum sampai pasar).

Hukum yang benar terhadap contoh-contoh di atas ialah bahwa keabsahan transaksi tersebut tergantung pada izin atau kerelaan mereka yang terzalimi atau dirugikan.

Sebab, terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa dalam peristiwa al-musharrat bahwa beliau memberikan khiyar (hak memilih antara membatalkan dan meneruskan) kepada pembeli hewan tersebut. Beliau shallallahu alaihi wa sallam juga memberikan hak khiyar kepada para pedagang yang dari pelosok tersebut apabila mereka telah sampai ke pasar (dan mengetahui harga pasar). Ini semua menunjukkan bahwa transaksi dalam jenis ini tidak batal begitu saja. (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam syarah hadits no. 5)

 

MENGANDUNG KEADILAN

Muamalah yang dia lakukan hendaklah mengandung keadilan dan jauh dari kezaliman. Yang kami maksud dengan kezaliman adalah perbuatan yang menyebabkan orang lain merugi atau tersakiti, baik terkait dengan masyarakat umum maupun terkait hanya mengenai pihak tertentu. Demikian dijelaskan dalam kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin.

Di Antara Bentuk Muamalah yang Mengandung Kezaliman

  1. Ihtikar

Ihtikar dalam bahasa kita berarti menimbun. Yang kami maksud dengan menimbun di sini adalah bentuk yang khusus, yaitu menahan sesuatu yang menyebabkan masyarakat rugi atau celaka, dengan tujuan menaikkan harga. (Mu’jam Lughatil Fuqaha’ karya Qal’aji hlm. 46)

Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan beberapa syarat ihtikar yang diharamkan:

  • Ia membeli barang yang dia tahan tersebut dari daerah setempat, bukan dari luar daerah.
  • Barang tersebut adalah makanan pokok. Namun, pendapat yang lebih kuat ialah tidak dipersyaratkan harus berupa makanan pokok. Bahkan, segala sesuatu yang ditimbun kemudian menyebabkan kesusahan masyarakat umum, hal itu tidak boleh. Misalnya, menimbun BBM.
  • Dengan pembelian tersebut, manusia menjadi susah terkait barang tersebut. Jadi, syarat diharamkannya adalah bahwa saat itu barang tersebut sedang dibutuhkan oleh orang-orang. (Syarhul Buyu’ 59 dengan diringkas)

Dari Ma’mar dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,

لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ

“Tidaklah melakukan ihtikar (penimbunan barang) kecuali orang yang berdosa.” (Shahih, HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Hibban dari sahabat Ma’mar radhiallahu anhu)

  1. Ghisy

Ghisy berarti menipu atau curang. Kata ini tentu bermakna sangat umum sehingga meliputi segala bentuk penipuan atau kecurangan dalam akad jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai, atau muamalah lainnya.

Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu berikut.

أَنَّ رَسُولَ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيْهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا، فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَالَ: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ؛ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melewati tumpukan makanan (yang dijual). Beliau memasukkan tangannya ke dalamnya dan mendapati tangan beliau basah. Beliau mengatakan, “Ada apa ini, wahai pemilik makanan?”

“Terkena hujan, wahai Rasulullah,” jawabnya.

Beliau mengatakan, “Tidakkah engkau letakkan di bagian atas makanan itu supaya orang melihatnya? Orang yang menipu bukan dari golongan kami.” (Shahih, HR. Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ath-Thabarani)

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ

“Barang siapa berbuat curang kepada kami, dia bukan dari golongan kami, dan makar serta penipuan itu di neraka.” (Hasan shahih, HR. ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam ash-Shaghir dengan sanad yang bagus; dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya. Lihat Shahih at-Targhib, 2/159 no. 1768)

  1. Tathfiif

Tathfiif berarti mengurangi hak orang lain dalam hal takaran atau timbangan. Perbuatan ini telah dilarang keras oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur’an. Di antaranya dalam firman-Nya,

وَيۡلٌ لِّلۡمُطَفِّفِينَ ١ ٱلَّذِينَ إِذَا ٱكۡتَالُواْ عَلَى ٱلنَّاسِ يَسۡتَوۡفُونَ ٢ وَإِذَا كَالُوهُمۡ أَو وَّزَنُوهُمۡ يُخۡسِرُونَ ٣ أَلَا يَظُنُّ أُوْلَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبۡعُوثُونَ ٤ لِيَوۡمٍ عَظِيمٍ ٥ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦

“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?” (al-Muthaffifin: 1—6)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan,

“Yang dimaksud dengan tathfiif di sini adalah merugikan timbangan. Bisa dengan melebihkan timbangan ketika seseorang meminta pelunasan dari orang lain, atau dengan mengurangi timbangannya ketika sedang melunasi mereka.

Oleh karena itu, Allah menafsirkan al-muthaffifin—yang Dia ancam dengan kerugian dan kebinasaan—ialah golongan yang ketika orang lain menimbang untuk mereka, mereka meminta dipenuhi timbangannya. Artinya, mereka mengambil hak mereka sepenuhnya, bahkan melebihinya. Akan tetapi, ketika mereka menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.

Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan untuk memenuhi timbangan dan takaran. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ إِذَا كِلۡتُمۡ وَزِنُواْ بِٱلۡقِسۡطَاسِ ٱلۡمُسۡتَقِيمِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا

“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (al-Isra: 35)

Baca juga:

Berbuat Curang dalam Menakar dan Menimbang

وَأَوۡفُواْ ٱلۡكَيۡلَ وَٱلۡمِيزَانَ بِٱلۡقِسۡطِۖ لَا نُكَلِّفُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۖ

“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya.” (al-An’am: 152)

وَأَقِيمُواْ ٱلۡوَزۡنَ بِٱلۡقِسۡطِ وَلَا تُخۡسِرُواْ ٱلۡمِيزَانَ

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (ar-Rahman: 9)

Allah subhanahu wa ta’ala telah membinasakan kaum Syu’aib dan menghancurkan mereka ketika mereka mengurangi takaran atau timbangan manusia. Selanjutnya, Allah berfirman mengancam mereka yang berbuat demikian,

أَلَا يَظُنُّ أُوْلَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبۡعُوثُونَ

“Tidakkah mereka yakin bahwa mereka bakal dibangkitkan pada hari yang agung?”

Maknanya, tidakkah mereka merasa takut untuk bangkit di hadapan Dzat Yang Maha Mengetahui rahasia dan isi kalbu, pada hari yang sangat mengerikan, sangat menakutkan, dan sangat menyusahkan? Barang siapa merugi, dia akan dimasukkan ke dalam neraka.

Firman-Nya,

يَوۡمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

“Di hari manusia bangkit menghadap Rabb semesta alam.”

Maknanya, saat mereka bangkit dalam keadaan tak beralas kaki, telanjang, dan belum dikhitan. Dalam situasi yang sempit lagi susah bagi seorang yang berdosa, ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala menyelimuti mereka. Sebuah keadaan yang segala kemampuan dan pancaindra tak mampu menghadapinya.

Imam Malik rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hari saat orang-orang menghadap Rabb sekalian alam, sampai-sampai seseorang tenggelam dalam keringatnya hingga pertengahan telinganya.”[1] (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim)

Baca juga:

Kisah Nabi Syu’aib

As-Sa’di rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya,

“Allah subhanahu wa ta’ala mengancam mereka yang mengurangi timbangan dan heran terhadap keadaan mereka serta tetapnya mereka dalam keadaan ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَلَا يَظُنُّ أُوْلَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبۡعُوثُونَ ٤ لِيَوۡمٍ عَظِيمٍ ٥ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦

“Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam?”

Berarti, yang membuat mereka berani untuk melakukan ini adalah mereka tidak beriman dengan hari akhir. Sebab, seandainya mereka beriman dengannya dan tahu benar bahwa mereka akan dibangkitkan di hadapan-Nya, serta Allah subhanahu wa ta’ala akan menghitung amal mereka sedikit atau banyak, tentu mereka akan berhenti melakukannya dan bertobat.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)

Baca juga:

Hisab, Pasti Terjadi

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, ia berkata,

لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ كَانُوا مِنْ أَخْبَثِ النَّاسِ كَيْلًا، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَيۡلٌ لِّلۡمُطَفِّفِينَ} فَأَحْسَنُوا الْكَيْلَ بَعْدَ ذَلِكَ

“Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang ke Madinah dalam keadaan mereka adalah orang-orang yang paling jahat dalam timbangan. Allah lalu menurunkan ayat (artinya), ‘Celakalah orang-orang yang mengurangi sukatan (takaran).’ Mereka pun memperbaiki penimbangan mereka setelah itu.” (Hasan, HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, dan al-Baihaqi. Lihat Shahih at-Targhib, 2/157 no. 1760)

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, ia berkata,

أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ياَ مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ، خَمْسُ خِصَالٍ إِذَا ابْتُلِيْتُمْ بِهِنَّ -وَأَعُوذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ- …وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمُؤْنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ…

 

Rasulullah menghadap kami lalu mengatakan, “Wahai orang-orang Muhajirin, ada lima perkara yang apabila kalian tertimpa dengannya—dan aku berlindung kepada Allah untuk kalian tertimpa dengannya—…” Lalu beliau mengatakan, “… dan tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka tertimpa oleh paceklik, kesusahan (dalam memenuhi) kebutuhan, dan kejahatan penguasa….” (Shahih Lighairihi, HR. Ibnu Majah dan ini lafaz beliau; al-Bazzar, dan al-Baihaqi. Lihat Shahih at-Targhib, 2/157 no. 1761)

  1. Najsy

Najsy adalah menaikkan harga barang oleh orang yang tidak hendak membelinya, dengan cara menawarnya dengan harga yang tinggi, dengan tujuan menguntungkan penjual, mencelakakan pembeli, atau hanya main-main.

Ibnu Abi Aufa rahimahullah mengatakan, “Orang yang melakukan najsy adalah pemakan riba dan pengkhianat.”

Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Ulama bersepakat bahwa pelakunya bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala apabila tahu larangan tersebut.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)

Baca juga:

Menerima Pemberian dari Hasil Riba

Larangan yang dimaksud adalah sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ، وَلاَ يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، وَلاَ تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang orang kota menjualkan barang milik orang pelosok, janganlah kalian saling melakukan najsy, janganlah seseorang menjual atas penjualan saudaranya, jangan pula melamar atas lamaran saudaranya, dan jangan pula seorang wanita meminta (suaminya) untuk menceraikan madunya demi memenuhi bejananya.” (Shahih, HR. al-Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi)

Apabila terjadi najsy, apakah jual-beli tersebut sah?

Jumhur ulama berpendapat bahwa bilamana terjadi penipuan yang tidak wajar, pembeli punya hak khiyar/memilih. Akan tetapi, apabila penipuannya tidak begitu besar, pembeli tidak punya hak khiyar. Oleh karena itu, pembeli semestinya juga berhati-hati dan mencari informasi terlebih dahulu. (Lihat kitab Syarhul Buyu’ hlm. 49)

  1. Memaksa pihak lain

Jangan sampai berlangsung akad jual-beli antara penjual dan pembeli kecuali keduanya saling ridha. Ini merupakan syarat sahnya jual-beli. Islam mengharuskan demikian karena Islam hendak menghindarkan tindak kezaliman pada manusia. Jadi, tidak halal seseorang mengambil harta orang lain yang keluar tanpa kerelaannya.

Dalam hadits disebutkan,

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya.” (Shahih, HR. Abu Dawud. Lihat Shahih al-Jami’ no. 7662)

Tentang keharusan saling ridha ini, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمۡۚ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (an-Nisa: 29)

Dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَفْتَرِقَنَّ اثْنَانِ إِلاَّ عَنْ تَرَاضٍ

“Janganlah sekali-kali keduanya (yakni penjual dan pembeli) berpisah kecuali saling ridha.” (Hasan shahih, HR. Abu Dawud, lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 3458)

Dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

“Jual-beli itu hanyalah jika saling ridha.” (Shahih, HR. Ibnu Majah, lihat Shahih al-Jami’ no. 2323)

  1. Menyembunyikan aib

Seorang muslim diharuskan untuk berkata dan berbuat jujur dalam segala perbuatannya, termasuk tentunya dalam jual-beli. Jika ia jujur, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan berkah dalam transaksi mereka. Sebaliknya, apabila tidak, keberkahan itu akan dicabut oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Disebutkan dalam hadits dari Hakim bin Hizam radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا—أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا—فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا في بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Penjual dan pembeli itu punya hak khiyar (memilih antara membatalkan atau tidak) selama mereka belum berpisah—atau: hingga keduanya berpisah. Apabila keduanya jujur dan menerangkan, jual-beli mereka akan diberkahi. Namun, apabila keduanya menyembunyikan serta berdusta, akan dicabut keberkahan jual-beli mereka.” (Shahih, HR. al-Bukhari dan Abu Dawud)

Baca juga:

Kejujuran dalam Jual Beli

Ulama telah bersepakat tentang haramnya menyembunyikan aib dan bahwa pelakunya berdosa. Adapun aib yang dimaksud adalah semua aib atau cacat yang terdapat pada barang/produk yang dijual dan terhitung mengurangi barang tersebut atau mengurangi harganya dengan kadar kekurangan yang menghilangkan tujuan (pembelian). Dengan demikian, barang tersebut boleh dikembalikan apabila biasanya barang sejenis tidak memiliki aib/cacat semacam itu. (lihat Syarhul Buyu’ hlm. 98, 99)

Oleh karena itu, para ulama menetapkan adanya khiyar aib, yakni hak khiyar yang disebabkan adanya cacat, walaupun cacat tersebut baru diketahui setelah sekian waktu. (lihat Syarhul Buyu’ hlm. 102)

  1. Gharar

Gharar adalah sesuatu yang tersembunyi atau belum diketahui akhirnya, apakah akan menguntungkan atau akan merugikan.

Jual-beli yang mengandung unsur gharar semacam ini dilarang. Para ulama sepakat tentang dilarangnya hal itu. Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu,

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah melarang jual-beli hashat[2] dan melarang jual-beli gharar.” (Shahih, HR. Muslim)

Di antara gambaran jual-beli gharar, seseorang menjual hewannya yang lari, menjual barang yang tertutup dan belum diketahui isinya, menjual hewan yang masih dalam kandungan kecuali apabila bersama induknya, atau apa saja yang memiliki kriteria di atas.

Berbeda halnya apabila unsur gharar itu sangat sedikit dan sudah dimaklumi, semacam menyewa kamar mandi: ukuran air yang dipakai tidak sama antara satu pemakai dengan yang lain. (lihat Syarhul Buyu’ hlm. 24)

Termasuk gharar ialah menjual ikan yang masih dalam kolam, sementara kolamnya dalam dan besar sehingga sulit diketahui ikan yang berada di dalamnya. Oleh karena itu, ulama hanya membolehkannya apabila terpenuhi tiga syarat:

  • Ikan itu benar-benar milik si penjual
  • Air kolam tidak dalam sehingga dapat dilihat dan perkiraan jumlah ikan diketahui.
  • Memungkinkan untuk diambil.
  1. Menahan gaji pegawai

Apabila pekerja telah melakukan pekerjaannya, gaji merupakan haknya yang harus dipenuhi. Majikan tidak boleh menahan gaji pekerja/karyawannya.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

قَالَ اللهُ تَعَالَى: ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Tiga golongan manusia, yang Aku menjadi lawannya pada hari kiamat:

  • seseorang yang bersumpah (kepada orang lain) dengan nama Allah lalu mengkhianatinya,
  • seseorang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya, dan
  • seseorang yang menyewa pekerja lalu pekerja itu menunaikan pekerjaannya, tetapi dia tidak memberikan gajinya.” (Shahih, al-Bukhari)
  1. Menjual pada penjualan sesama muslim

Begitu pula membeli pada pembelian sesama muslim. Jadi, larangan tersebut mencakup penjualan dan pembelian.

Gambarannya adalah seseorang datang kepada dua orang yang sedang melangsungkan akad jual-beli. Jual-beli telah terjadi, tetapi keduanya masih dalam tempo khiyar majelis[3]. Keduanya belum berpisah sehingga keduanya masih punya hak pembatalan karena masih dalam satu majelis.

Kemudian orang ketiga ini mengatakan kepada pembeli, “Batalkan saja jual-belinya. Saya akan memberimu barang yang sama dengan harga yang lebih murah” atau “harga yang sama dengan barang yang lebih bagus.”

Atau dia mengatakan kepada penjual, “Batalkan saja penjualannya. Nanti saya akan membelinya darimu dengan harga yang lebih mahal.”

Dilarang pula menawar pada penawaran saudaranya. Gambarannya sama dengan di atas, hanya belum terjadi jual-beli antara kedua belah pihak. Kedua belah pihak sudah melakukan tawar-menawar dan sudah sama-sama cocok. Lalu datanglah pihak ketiga dan mengatakan semacam ucapan di atas.

Hal ini dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sebab, selain merugikan, hal ini juga akan menyebabkan pertikaian. Disebutkan dalam hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ

“Janganlah seseorang dari kalian menjual/membeli atas penjualan/pembelian saudaranya.” (Shahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ

“Janganlah seorang muslim menawar pada penawaran saudaranya.” (Shahih, HR. Muslim)

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Ikuti kelanjutan pembahasannya di sini.


Catatan Kaki

[1] Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad.

[2] Hashat berarti kerikil. Di antara contoh jual-beli hashat adalah pembeli melemparkan sebuah kerikil ke sekumpulan baju. Baju manapun yang terkena, itulah yang dibeli dengan harga yang telah disepakati.

[3] Adapun setelah khiyar majelis, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.

Ditulis oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc.

 

Sumber Tulisan:
Adab Jual Beli