Adab dalam pandangan Islam bukanlah perkara remeh. Adab justru menjadi salah satu inti ajaran Islam. Sedemikian penting perkara ini hingga para ulama salaf sampai menyusun kitab khusus yang membahas tentang adab dalam Islam.
Di tengah padang sahara yang membakar, bergolak kehidupan masyarakat jahiliah yang tidak mengenal kebaikan kecuali apa yang diwariskan oleh nenek moyang. Penyimpangan dari agama Nabi Ibrahim alaihis salam (mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ibadah) tercermin pada banyaknya berhala yang disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala. Setiap kabilah memiliki berhala yang mereka yakini mampu mendatangkan manfaat dan menolak marabahaya. Bahkan, kesucian Ka’bah pun telah tercemari dengan berdirinya sekian ratus berhala yang diagung-agungkan di sekitarnya.
Dari sisi tatanan kehidupan bermasyarakat, mereka telah mencapai titik terparah. Tidak ada pemimpin yang menyatukan mereka sehingga masing-masing ingin berkuasa dan menindas yang lainnya. Berlaku bagi mereka undang-undang jahiliah, “Siapa yang kuat dia yang menang.” Kejahatan moral dan penyimpangan kesusilaan merupakan pemandangan yang mewarnai kehidupan sehari-hari.
Demikian gambaran kondisi bangsa Arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala dengan rahmat-Nya mengutus Muhammad shallallahu alaihi wa sallam untuk mengeluarkan mereka dari gelapnya kekufuran dan kebodohan kepada cahaya iman dan ilmu.
Baca juga: Kondisi Masyarakat Sebelum diutusnya Rasulullah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ رَسُولًا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبۡلُ لَفِي ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (al-Jumu’ah: 2)
Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam dengan syariat yang sempurna. Syariat tersebut menjamin kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak bagi orang yang berpegang teguh dengannya. Syariat yang beliau shallallahu alaihi wa sallam bawa bersifat universal. Segala aspek kehidupan manusia telah diatur dalam Islam dengan begitu rapinya.
Di antara yang terpenting yang dibawa oleh Islam adalah memperbaiki kondisi batin manusia dan membimbing mereka kepada keteguhan hati di atas agama. Demikian pula memunculkan kontrol keimanan yang mendorong kepada kebaikan dan mencegah dari kejahatan.
Sebagai misal adalah diwajibkannya shalat, zakat, puasa, dan haji. Selain dikerjakan sebagai bentuk ketundukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala demi meraih surga-Nya, amal-amal tersebut juga mengandung manfaat yang banyak. Shalat misalnya. Apabila dikerjakan dengan ikhlas dan benar, shalat akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar.
Baca juga: Di Bawah Naungan Keindahan & Kesempurnaan Syariat Allah
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (al-Ankabut: 45)
Zakat sebagai bentuk memerangi hawa nafsu dari sikap bakhil dan menyantuni orang fakir serta yang membutuhkan. Puasa akan melatih kesabaran dan menumbuhkan kepekaan sosial serta jiwa suka berderma. Haji sebagai bentuk pengorbanan dengan harta dan tenaga.
Jadi, jelas bahwa perintah-perintah agama dilakukan bukan sekadar rutinitas yang hampa dari makna. Bahkan, di dalamnya terkandung berbagai maksud dan tujuan. Di antaranya adalah membentuk kepribadian yang memiliki adab yang mulia dan budi pekerti yang luhur.
Adab adalah menggunakan sesuatu yang terpuji berupa ucapan dan perbuatan atau yang terkenal dengan sebutan al-akhlaq al-karimah. Dalam Islam, masalah adab dan akhlak mendapat perhatian serius yang tidak didapatkan pada tatanan mana pun. Sebab, syariat Islam adalah kumpulan dari akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ini semua tidak bisa dipisah-pisahkan.
Manakala seseorang mengesampingkan salah satu dari perkara tersebut, misalnya akhlak, akan terjadi ketimpangan dalam perkara dunia dan akhiratnya. Satu sama lainnya ada keterkaitan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِفَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik terhadap tetangganya.” (HR. Muslim, “Bab Al-Hatstsu ‘ala Ikramil Jar wadh Dhaif”)
Baca juga: Meraih Ridha Allah dan Cinta-Nya dalam Hidup Bertetangga
Di sini terlihat jelas bagaimana kaitan antara akidah dan akhlak yang baik. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menafikan keimanan orang yang tidak menjaga amanah dan janjinya. Beliau bersabda,
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak menjaga amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menjaga janjinya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, dinilai sahih oleh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’ no. 7179)
Baca juga: Kisah Sebatang Kayu, Amanah yang Nyaris Punah
Bahkan, suatu ibadah menjadi tidak ada nilainya manakala adab dan akhlak tidak dijaga. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta, Allah tidak butuh dengan (amalan) meninggalkan makan dan minumnya (puasa, -red.).” (HR. al-Bukhari no. 1903)
Maknanya, puasanya tidak dianggap.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan bahwa adab memiliki pengaruh yang besar untuk mendatangkan kecintaan dari manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَبِمَا رَحۡمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)
Baca juga: Memaafkan Kesalahan dan Mengubur Dendam
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan,
“Akhlak yang baik dari seorang pemuka (tokoh) agama menjadikan manusia tertarik masuk ke dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala dan menjadikan mereka senang dengan agama-Nya. Di samping itu, pelakunya akan mendapat pujian dan pahala yang khusus. (Sebaliknya) akhlak yang jelek dari seorang tokoh agama menyebabkan orang lari dari agama dan membencinya. Di samping itu, pelakunya mendapat celaan dan hukuman yang khusus.
Inilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau seorang yang maksum (terjaga dari kesalahan). Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan kepadanya apa yang Dia firmankan (pada ayat ini).
Bagaimana halnya dengan yang selain beliau? Bukankah hal yang paling harus dan perkara terpenting adalah seseorang meniru akhlak beliau yang mulia, bergaul dengan manusia sesuai dengan contoh yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam lakukan, berupa sifat lemah lembut, akhlak yang baik dan menjadikan hati manusia suka? Ini dalam rangka melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan menarik para hamba ke dalam agama-Nya.” (Taisir al-Karimir ar-Rahman hlm. 154)
Baca juga: Meneladani Akhlak Nabi
Pembahasan adab sangat luas cakupannya. Adab tidak terbatas pada masalah pergaulan terhadap manusia. Bahkan, pembahasan adab mencakup:
Adab terhadap Allah subhanahu wa ta’ala diwujudkan dengan seseorang memercayai berita-Nya, menjalankan perintah-Nya, dan menjauhi larangan-Nya, serta bersabar atas takdir-Nya. Di dalam dirinya tertanam sikap cinta, berharap, dan takut hanya kepada-Nya. Segala ucapan dan perbuatannya mencerminkan pengagungan dan penghormatan kepada-Nya.
Namun, adab terhadap Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan terealisasi dengan baik kecuali dengan mengenal nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala dan sifat-sifat-Nya yang mulia. Demikian pula dengan mengenal syariat-Nya, hal-hal yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dan yang dibenci-Nya. Yang tak kalah penting, adanya kesiapan jiwa untuk menerima kebenaran secara total. Ini adalah pokok dari adab. Manakala hal ini tidak ada pada diri seseorang, tidak ada kebaikan pada dirinya.
Baca juga: Berani Mengakui Kesalahan dan Kembali Kepada Kebenaran
Adab terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam direalisasikan dengan berserah diri terhadap keputusannya, tunduk kepada perintahnya, dan memercayai beritanya tanpa mempertentangkannya dengan apa pun—baik pendapat manusia, keragu-raguan, kias (analogi) yang batil, maupun dengan menyimpangkan ucapannya dari maksud yang sesungguhnya.
Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Termasuk adab terhadap beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah tidak mendahului keputusannya dan tidak mengangkat suara di sisinya lebih dari suaranya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَرۡفَعُوٓاْ أَصۡوَٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِيِّ وَلَا تَجۡهَرُواْ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedang kamu tidak menyadari.” (al-Hujurat: 2)
Jika mengangkat suara lebih tinggi dari suara Nabi shallallahu alaihi wa sallam bisa menjadikan batal amal kebaikan seseorang, bagaimana kiranya orang yang menentang sabda beliau dengan akal semata atau dengan pendapat manusia?!
Baca juga: Mengagungkan Sunnah, Buah Nyata Akidah yang Benar
Hal ini diwujudkan dengan bermuamalah (bergaul) bersama manusia dengan perbedaan status mereka sesuai kedudukannya. Terhadap orang tua, ada adab yang khusus. Bersama orang alim dan penguasa, ada adab yang patut untuk mereka. Dengan tamu, ada adab yang tidak sama dengan keluarga sendiri. Demikian seterusnya.
Misalnya, adab ketika safar, bermajelis, makan dan minum.
Walhasil, beradabnya seorang adalah pertanda kebahagiaan dan kesuksesannya. Lihatlah, bagaimana seseorang dilepaskan dari marabahaya karena baik adabnya terhadap orang tua, setelah sebelumnya terkurung dalam gua yang tertutup pintunya oleh batu besar. (lihat Shahih al-Bukhari no. 5974)
Baca juga: Kisah Orang-Orang yang Terkurung di Dalam Gua
Namun, sebaliknya, seorang ahli ibadah dari bani Israil yang bernama Juraij tatkala kurang adab terhadap ibunya, dia mendapat doa kejelekan dari ibunya. Juraij mendapat musibah dengan dituduh berbuat zina sehingga dia ditangkap dan diarak dengan tangan terikat. Bahkan, tempat ibadahnya pun dihancurkan. (Lihat pembagian adab dan penjelasannya dalam kitab Madarijus Salikin karya Ibnul Qayyim rahimahullah, 2/375-392 cet. Maktabah As-Sunnah)
Salafush shalih umat ini, yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat radhiallahu anhum, tabiin, dan yang mengikuti mereka, sangat memperhatikan adab. Sebab, adab adalah bagian dari syariat yang dengannya terwujud kemaslahatan dunia dan akhirat. Orang yang mencermati kehidupan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu anhum akan mendapatkan para sosok yang sempurna akhlak dan adabnya.
Baca juga: Mengapa Harus Manhaj Salaf?
Sesungguhnya lembaran sejarah keemasan kita yang masih terlipat semestinya kita buka dan kita pahami untuk diambil petunjuk darinya. Umat Islam seyogianya bersyukur bahwa para pendahulu mereka telah melewati kehidupan dunia ini dengan menyuguhkan yang terbaik bagi umat manusia.
Orang-orang yang terbimbing dengan wahyu Ilahi tidaklah mengambil adab dan akhlak kecuali yang paling mulia. Mereka pun tidak mengambil dari akidah dan ibadah kecuali yang terbersih. Inilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sosok teladan yang berbuat baik dan adil tidak hanya kepada para sahabatnya. Bahkan, terhadap musuh sekalipun, beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak mengesampingkan adab.
Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam hendak berhijrah ke Madinah, beliau memerintah sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu untuk tidur di rumah beliau dan mengembalikan amanat/titipan orang-orang Quraisy. Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidaklah mengambil sedikit pun harta titipan orang-orang kafir tersebut walaupun sekadar sebagai bekal untuk sampai di Madinah. Padahal beliau sangat membutuhkannya. Apalagi merekalah yang menyebabkan beliau terusir dari Makkah.
Mahabenar Allah ketika berfirman memuji Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)
Baca juga: Akhlak Seorang Dai
Karena pentingnya masalah adab, para ulama yang membukukan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam memuat dalam kitab-kitab mereka riwayat-riwayat yang berkaitan dengan adab dan akhlak.
Imam al-Bukhari rahimahullah, misalnya, di dalam Shahih-nya memuat lebih dari 250 hadits tentang adab. Bahkan, beliau menulis kitab khusus tentang adab yang diberi judul al-Adab al-Mufrad. Hanya saja, kitab ini tidak disyaratkan semua haditsnya sahih sehingga ada yang dhaif (lemah).
Imam Abu Dawud rahimahullah, murid al-Bukhari rahimahullah, juga memuat sekitar 500 hadits tentang adab dalam Sunan-nya.
Demikian pula Ibnu Hibban rahimahullah memuat lebih dari 670 hadits adab dalam Shahih-nya.
Kitab-kitab adab secara khusus sendiri banyak sekali. Kita dapatkan kitab:
Ulama memiliki andil yang besar dalam menjaga hadits-hadits tentang adab dan menyebarkannya. Di tengah-tengah keterpurukan moralitas umat, sudah semestinya kita kenalkan kepada mereka kitab-kitab tersebut. Semoga mereka mau kembali ke jalan yang benar dan krisis moral bisa dihindarkan.
Adab-adab Islami memiliki keistimewaan yang besar, di antaranya:
Syariat Islam telah mengatur segala sisi kehidupan kaum muslimin, dari yang terkecil hingga yang terbesar; baik sebagai pribadi, di dalam keluarga, ataupun di tengah masyarakat. Selain itu, kewajiban untuk berhias diri dengan adab Islam juga meliputi seluruh muslimin, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan.
Misalnya, mengucapkan salam, berjabat tangan, jujur, dan yang lainnya, termasuk adab-adab Islam yang tidak berubah dengan pergeseran waktu dan tempat.
Adab-adab Islam mendidik seorang muslim untuk memiliki kepekaan dan perhatian terhadap masyarakat sekitarnya dan manusia secara umum. Di dalam pergaulan seseorang dilarang untuk bersikap egois dan tak acuh.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ
“Bukan seorang mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 82)
Baca juga: Adab Diri pada Lisan, Tetangga, dan Tamu
Tidak cukup seseorang hanya menahan dirinya tidak mengganggu orang, sampai ia berbuat baik kepada orang lain. Bahkan, dia berbuat baik kepada yang berbuat jelek kepadanya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Sambunglah orang yang memutuskan (hubungan) denganmu, berbuat baiklah kepada orang yang berbuat jelek kepadamu, dan ucapkanlah yang hak (benar) walau mengenai dirimu.” (HR. Ibnu an-Najjar, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 3769)
Seorang muslim konsisten dan memegang teguh adab-adab tersebut semata-mata ingin mencari ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan dalam rangka menyambut perintah-Nya.
Dia tidaklah menunaikan adab-adab itu karena peraturan manusia atau undang-undang yang dibuat oleh mereka yang menyelisihi Al-Qur’an dan hadits.
Baca juga: Mari Perbagus Akhlak Kita
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menjelaskan tentang orang-orang yang baik,
وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينًا وَيَتِيمَا وَأَسِيرًا ٨ إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءً وَلَا شُكُورًا ٩
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih’.” (al-Insan: 8—9)
Wallahu a’lam bish-shawab.